Oleh: H. E. Bates
Pada usianya yang ke-95 tahun, Pamanku Silas punya waktu untuk mencoba berbagai hal. Pada suatu waktu ia menjadi penggali kubur.
Halaman gereja Solbrook menghampar luas di sisi luar desa, tepatnya pada sebuah bukit kecil yang lapang di lembah sungai.
Di sanalah dengan pakaiannya yang kumal Pamanku Silas menggali kira-kira satu kuburan tiap bulannya.
Ia bekerja sepanjang hari menggali tanah lempung cokelat-kebiruan tanpa bersua siapapun. Tak ada yang menemaninya selain burung-burung yang mencungkili cacing dari permukaan bumi yang telah dikuliti. Dengan penampilannya yang jauh dari menawan lagi ganjil, ia tampak seperti patung yang habis menggelinding jatuh dari atap gereja mungil itu, pria kecil yang seakan sudah berusia sangat tua dan akan terus hidup dengan menggali kuburan orang lain selama-selamanya.
Pada suatu hari yang panas namun nyaman di bulan Mei, ia sedang menggali kuburan di sisi selatan halaman gereja. Rerumputan telah merimbun tinggi. Bunga-bunga keemasan tumbuh berpencar di sela-sela nisan.
Menjelang tengah hari, ia hampir tenggelam dalam liang yang digalinya. Pun ia telah selesai memperbaiki papan penyangga kuburan tersebut. Musim semi itu hawanya sangat kering dan dingin. Namun dalam naungan dinding liang dan di bawah teriknya mentari, rasanya seperti sedang musim panas. Maka sungguh tepat Silas duduk di dasar liang dan membuka bekalnya. Ia melahap roti dan daging lalu menggelontornya dengan teh dingin yang selalu dibawanya dalam botol bir. Sehabis makan, ia mulai merasa mengantuk. Akhirnya ia pun tidur di dasar liang tersebut. Mulutnya yang basah dan jorok menganga tanpa sengaja. Botol-birnya dipegang sebelah tangan, bersandar pada lututnya.
Ia telah tidur selama sekitar seperempat jam atau dua puluh menit ketika terbangun dan melihat ada orang berdiri di sisi lubang kuburan, memandang rendah padanya. Seorang wanita, atau begitulah kelihatannya.
Silas begitu kaget dan heran hingga tak berkata sedikitpun. Wanita itu tampak sangat marah karena suatu hal. Ujung payungnya yang besar menghunjam tanah dalam-dalam. Wanita itu amat pucat dan kurus. Wajahnya pun buruk. Tampaknya ia mengenakan sepatu bot yang sangat besar. Dari balik gaunnya yang hitam dan tebal, Silas melihat sebatang kaki yang cokelat dan jenjang, kira-kira seukuran balon udara.
Ia tidak sempat mengamati lebih jauh. Wanita itu tahu-tahu menyerangnya, mengacung-acungkan payungnya dan berseru, menudingnya pemalas dan kurang memiliki rasa hormat.
Kepalanya digeleng-gelengkan sementara kakinya dientakkan. Sembari menjulurkan lehernya ke bawah, akhirnya wanita itu bertanya mengapa Silas minum-minum di bawah sana, di tanah keramat, tempat yang seharusnya disucikan bagi yang telah berpulang.
Dengan bibir, mata, dan hidung yang merah semerah-merahnya, sulit bagi Pamanku Silas supaya tak terlihat seperti pelaut yang mabuk. Padahal yang diminumnya selagi bekerja hanyalah teh dingin. Memang ada tambahan wiski, namun pada dasarnya itu teh dingin.
Silas membiarkan wanita itu terus berbicara selama hampir lima menit, barulah ia mengangkat topinya dan berkata, “Selamat siang, Bu. Bunga-bunganya indah, ya?
“Tidak pantas berkelakuan seperti itu di tanah yang suci,” ujar wanita itu, “kau juga mabuk!”
“Tidak, Bu,” kata Silas, “seandainya saja benar begitu.”
“Bir!” seru wanita itu. “Tidak bisakah kau tinggalkan bir itu selagi berada di sini?”
Silas mengacungkan botol bir tersebut. “Bu,”ucapnya, “minuman dalam botol itu tidak akan membahayakan apapun, tidak juga dirimu.”
“Minuman itu bertanggung jawab atas hancurnya ribuan rumah di seluruh penjuru Inggris!”
“Teh dingin.”
Wanita itu menjerit marah dan mengentakkan kaki. “Teh dingin!”
“Ya, Bu, teh dingin.” Silas melepaskan tutupnya lalu mengulurkan botol itu. “Cobalah, Bu. Coba saja kalau Anda tidak percaya.”
“Terima kasih, tapi saya tidak mau minum langsung dari botol itu.”
“Baiklah. Saya ada cangkir.” Silas mencari di dalam keranjang bekal dan menemukan cangkir dari logam. Ia mengisinya dengan teh lalu memberikannya pada wanita itu. “Cobalah, Bu. Coba saja. Teh ini tidak akan membuat Anda sakit.”
“Baiklah!” kata wanita itu. Tangannya menjangkau cangkir tersebut. Ia lalu menyentuhkan bibirnya yang tipis pada bibir cangkir. “Rasanya memang seperti teh.”
“Cuma teh biasa, Bu,” kata Silas. ”Baru diseduh pagi ini. Anda belum meminumnya. Minumlah yang nikmat.”
Wanita itu pun meminum betul-betul, merasainya dengan seluruh penjuru mulut.
“Segar, kan?”
“Ya, sangat menyegarkan.”
“Habiskan saja. Tambahlah sedikit lagi. Sepertinya Anda baru berjalan jauh?”
“Ya, sepertinya begitu. Saya berjalan terus dari Bedford. Ternyata jauh juga, ya. Apalagi saya sudah tidak begitu muda lagi.”
“Oh. Muda? Kelihatannya Anda masih berusia dua puluh tahun.” Silas mengambil mantel lalu membentangkannya pada tanah di samping liang kuburan. “Duduklah dan istirahat dulu, sambil melihat-lihat bunga.”
Silas heran karena wanita itu mau juga duduk, bahkan menambah teh dan berkata, “Sepertinya saya copot saja topi saya, ya.” Ia pun melepaskan topinya dan meletakkannya pada lutut.
“Muda?” Silas berkata lagi. “Bu, Anda ini masih hijau. Tunggu sampai Anda setua saya, barulah Anda bilang begitu. Saya bahkan masih ingat Perang Krimea[1]!”
“Sungguh? Hidup Anda mestilah menarik dan memuaskan sekali, ya.”
“Begitulah, Bu.”
Untuk pertama kalinya, wanita itu tersenyum tipis. “Maaf tadi saya berbicara seperti itu pada Anda. Saya tidak suka kalau ada yang minum-minum di tempat seperti ini.”
“Tidak apa, Bu. Sudah bertahun-tahun ini saya tidak meminum minuman keras setetespun, tidak seperti dulu. Saya tidak selalu jadi orang yang baik.”
Silas tua menyodorkan botol pada wanita itu dan berkata, “Tambah lagi, Bu.” Wanita itu pun menurunkan cangkir dan mengisinya lagi.
“Terima kasih,” ucapnya. Kini sikapnya terasa sangat menyenangkan, dilunakkan secangkir teh, aroma bebungaan, dan usapan mentari pada kepalanya yang terbuka. Semakin tampak kelembutannya sebagai seorang wanita.
“Tapi sekarang ini Anda orang yang lebih baik?” tanya wanita itu.
“Begitulah, Bu.” Silas menggelengkan kepalanya pelan, seakan tengah mengalami derita yang senyatanya. “Sekarang ini saya orang yang lebih baik.”
“Sulit, ya, berhenti minum-minum?”
“Sulit, Bu? Ya, begitulah. Sulit sekali.” Ia mengangkat sedikit topinya.
“Seberapa sulit?”
Silas kembali duduk di tempatnya semula, di dasar liang. “Saya lahir pada masa paceklik. Masa yang sulit, Bu, sangat sulit. Makanan dan airnya buruk. Sangat buruk. Belum lagi penyakit. Yang layak ditelan hanya bir, Bu. Semuanya minum bir. Bayi juga diberi bir.[2] Delapan puluh tahun lebih saya berusaha melawannya.”
“Dan sekarang Anda sudah mengatasinya?”
“Begitulah, Bu,” kata Pamanku Silas, yang selama delapan puluh tahun itu telah minum-minum semakin banyak, saking banyaknya hingga takkan mampu lagi menggerakkan kincir air.
“Saya telah mengatasinya.” Ia mengangkat botol birnya. “Sekarang teh dingin saja. Tambah lagi, Bu, tehnya?”
“Anda baik sekali.”
Silas pun menuangkan secangkir lagi. Wanita itu meminumnya dilatari cahaya mentari, tampak semakin pengasih saja.
“Tidak mengherankan,” begitu yang dikatakan Silas padaku setelahnya. “Yang kami minum saat itu teh musim dingin. Ada juga teh musim panas yang wiskinya sedikit, sedangkan teh musim dingin wiskinya banyak sekali. Sampai hari itu cuacanya dingin, jadi Paman belum mengganti tehnya.”
Mereka duduk-duduk sampai sekitar satu setengah jam, sambil mengudap teh dingin. Selama itu tak ada sedikitpun yang terlewatkan oleh wanita itu mengenai kehidupan Pamanku Silas. Ceritanya bukan hanya tentang bagaimana ia berhenti meminum bir dan berbicara kotor, tapi juga bermain wanita, bertaruh pacuan kuda, berbual, berbohong, dan apapun yang dapat ditinggalkan seorang manusia.
Akhirnya ia memanjat keluar dari liang tersebut dan menyalami wanita itu. Pastilah wanita itu meyakininya sebagai orang yang amat religius dan bersih.
Wanita itu pun pergi dengan angkuh sebagaimana sewaktu munculnya, kalau saja wajahnya tak semerah itu. Itulah kali terakhir Silas melihatnya. Sungguhpun begitu, di kereta pukul 2.45 dari Solbrook, ada seorang wanita dengan satu tangan memegang payung besar sementara tangan lainnya mengenggam seikat bunga. Dalam ruang yang sesak dan panas itu, tercium aroma yang lebih kuat daripada teh dingin. Wanita tu tampak agak bersemangat, dan berbicara banyak sekali.
“Dia orang yang baik,” ceritanya pada orang-orang. “Orang yang baik.”[]
Diterjemahkan dari cerpen H. E. Bates, “Silas the Good” (1939) yang telah disederhanakan oleh G. C. Thornley, M. A., Ph. D. dalam Longman’s Simplified English Series: British and American Short Stories (1969)