Gema “Horison” dan Angkatan dalam Antologi “80 Sajak Puncak dalam Sejarah Sastra Indonesia”

Oleh: Cep Subhan KM

 

Foto Cep Subhan KM di Kopi Paste

Sebuah antologi yang merangkum karya dari banyak penulis bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah sastra Indonesia. Beberapa yang bisa disebut misalnya Gema Tanah Air HB Jassin yang memuat karya-karya Angkatan ’45, terbit pertama kali pada tahun 1948, Laut Biru Langit Biru Ajip Rosidi yang memuat karya-karya sastrawan dalam rentang tahun 1966-1976, terbit pertama kali tahun 1977, Tiga Menguak Takdir yang merupakan antologi puisi Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani, terbit pertama kali tahun 1950, dan Nafas Gunung, antologi puisi 7 penyair dari Jawa Barat yang cetakan pertamanya terbit pada tahun 2004.

Apa sebenarnya yang menarik dari sebuah antologi semacam itu sampai kemunculannya terus berulang sampai sekarang? Dasarnya mungkin bisa ditarik ke konsep yang diajukan oleh kritikus Rene Wellek dan Austin Warren mengenai tiga hal penting dalam studi sastra: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra (1956: 39). Dalam hal Gema Tanah Air misalnya, antologi itu sangat berguna sebagai bagian dari sejarah sastra, khususnya sebagai bagian dari periodisasi sastra Angkatan ’45. Orang yang ingin melakukan kritik terhadap berbagai karya sastra angkatan ’45 akan sangat mudah merujuk antologi tersebut. Jika pun misalnya orang ingin menggunakan sumber primer, maka dalam antologi itu bisa ditemukan rujukan ihwal sumber yang dimaksud. Selanjutnya ketika melakukan kritik sastra akademis, bukankah orang akan membutuhkan teori sastra?

Secara berturut-turut, pada tahun 2013 dan 2014 ada dua antologi karya dari banyak penulis yang disusun oleh Korrie Layun Rampan. Antologi susunannya yang terbit pada tahun 2013 diberi judul Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern[1], sedangkan antologi selanjutnya yang terbit pada tahun 2014 berjudul 80 Sajak Puncak dalam Sejarah Sastra Indonesia. Kedua antologi itu diterbitkan oleh penerbit Narasi, Yogyakarta.

Korrie Layun Rampan sendiri bukanlah orang baru dalam dunia sastra Indonesia. Sebagai sastrawan ataupun sebagai seorang penyusun antologi dia sangat produktif: hal tersebut dapat ditengarai misalnya dari Riwayat Hidup pengarang sepanjang 5 halaman pada antologi 80 Sajak Puncak dalam Sejarah Sastra Indonesia dan sepanjang 4 halaman pada Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern. Namanya juga tercatat dalam Antologi Laut Biru Langit Biru dengan catatan penting bahwa dia merupakan pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ pada tahun 1976 (Rosidi, 2013: 792). Satu karyanya yang paling fenomenal dalam bidang antologi adalah antologi Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia yang terbit pada tahun 2000[2] dengan ketebalan hampir sama dengan Gema Tanah Air dan Laut Biru Langit Biru.

Sementara Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern memuat karya sastra Indonesia dengan membaginya ke dalam lima ragam: puisi, cerpen, esai, naskah drama, dan fragmen novel, maka antologi 80 Sajak Puncak dalam Sejarah Sastra Indonesia khusus memuat 80 sajak dari 80 penyair sebagaimana tersua dalam judulnya.

Sajak Puncak: Beberapa Pertanyaan Awal

Apa yang menarik untuk disorot pertama kali dari antologi sajak ini adalah judul yang diketengahkan[3]. Istilah Sajak Puncak tentu saja menyaran pada “sajak terbaik”[4]. Dengan kata lain, proses pemilihan sajak itu secara logika akan seperti ini: sang penyusun, dengan alasan dan tolok ukur apapun, akan memilih penyair yang namanya akan dicantumkan dalam antologi, kemudian dengan alasan dan tolok ukur apapun, dia memilih sajak terbaik karya penyair tersebut.

Tentu saja bisa ada metode lain seperti ini: sang penyusun memilih sajak (-sajak) terbaik dari sebuah angkatan, kemudian dia memuatnya dalam antologi ini. Maka akan pembaca temukan di dalam antologi ini sajak-sajak Chairil Anwar, Asrul Sani, Dodong Djiwapradja, dan Toto Sudarto Bachtiar sebagai wakil dari sajak-sajak terbaik Angkatan ’45 misalnya, tapi tak akan kita temukan sajak-sajak Rivai Apin: sajak-sajaknya mungkin menurut penyusun tak masuk kategori sajak puncak Angkatan ’45.

Meskipun demikian, cara yang manapun yang diambil, menentukan yang mana yang merupakan sajak terbaik dari seorang penyair ataupun dari sebuah masa merupakan sesuatu yang musti dibuktikan terlebih dahulu dengan telaah yang serius. Dengan kata lain, apa yang penting diungkapkan lebih dulu sebelum mencantumkan istilah “sajak puncak” adalah tolok ukur yang digunakan untuk menentukan “puncak” itu sendiri. Hal tersebut penting demi mencegah terciptanya istilah “sajak puncak” yang asal. Tentu saja hal tersebut akan menyangkut pula pertanggungjawaban penyusun sebagai orang yang menyeleksi dan mengategorikan sajak-sajak dimaksud sebagai “sajak puncak”.

Sayangnya tak ada penjelasan mengenai tolok ukur ini dalam “sepatah kata” ataupun “pengantar” yang disajikan di awal antologi. Sepatah kata dari pengarang menjelaskan inilah sajak-sajak puncak yang telah dihasilkan oleh delapan puluh penyair Indonesia modern. Sementara itu dalam pendahuluan disajikan biografi sepintas penyair-penyair yang namanya termaktub dalam antologi.

Maka tak ada pertanggungjawaban mengenai kenapa sajak Chairil Anwar yang dipilih sebagai sajak puncak merupakan sajaknya yang berjudul Diponegoro alih-alih sajaknya yang berjudul Aku (versi Deru Campur Debu) atau Semangat (versi Kerikil Tajam) atau sajaknya yang sering sekali dikutip Goenawan Mohamad dalam tulisan-tulisannya: Senja di Pelabuhan Kecil. Tanpa kejelasan tolok ukur maka pembaca akan banyak bertanya-tanya dalam kasus Diponegoro yang menjadi sajak puncak ini misalnya mungkin saja ada pembaca yang bertanya: apakah ini ada hubungannya dengan puisi tersebut yang dikutip dalam buku Takdir karangan Peter Carey yang terjemahan Indonesianya terbit lebih dulu pada tahun yang sama?

Selanjutnya jika misalnya sajak-sajak itu dipilih berdasarkan puncak dalam angkatan, maka pertanyaan yang akan muncul adalah pertanyaan semacam kenapa sajak-sajak Chairil dan Asrul Sani bisa masuk sementara sajak-sajak Rivai Apin tidak? Masalah puncak adalah masalah yang rentan, terkadang subjektif, untuk mengurangi subjektifitas itulah maka sebuah tolok ukur patut diketengahkan[5].

Memang bisa juga penyusun antologi 80 Sajak Puncak dalam Sejarah Sastra Indonesia ini menentukan tolok ukurnya berdasarkan momen, tapi kalau demikian kenapa misalnya sajak penyair Jeihan yang merupakan penggagas revolusi puisi setelah Sutardji Calzoum Bachri tidak bisa ditemukan dalam antologi ini sementara sajak Sutardji bisa? Revolusi yang dia gagas itu kemudian menjadi satu momen yang penting dalam sejarah sastra Indonesia yaitu momen ketika Puisi Mbeling bermunculan. Sayangnya bahkan sajak Remy Sylado yang mempopulerkan gerakan mbeling itu sendiri tidak tercatat dalam antologi. Ada memang sajak Yudhistira ANM Massardi, salah satu penyair mbeling, yang dimasukkan, akan tetapi sajak Yudhistira sendiri yang dimasukkan di sana tidak bisa dikategorikan sebagai sajak mbeling, padahal dalam pengantar antologi ini Korrie sendiri memberikan penjelasan mengenai Yudhistira sebagai “bersajak menggunakan unsur iseng dan perlawanan terhadap kemapanan. Unsur-unsur absurditas banyak digunakan penyair ini dalam dalam ide-ide keseharian yang dilandasi oleh abstraksi kejadian-kejadian tertentu” (Rampan, 2014: xvii). Penjelasan demikian akan lebih mengena jika yang dicantumkan di dalamnya adalah sajak “Biarin” yang sebagaimana sajak “Hari ini Senen Ketiga” yang dimuat dalam antologi ini, keduanya dimuat dalam antologi Laut Biru Langit Biru.

Selanjutnya pertanyaan-pertanyaan awal yang pantas diajukan pada antologi sajak puncak ini bertambah pula dengan kejanggalan pada segi sampul muka buku. Orang yang tidak akrab dengan sastra Amerika pun akan tahu bahwa buku-buku yang dicantumkan dalam sampul muka antologi ini bukanlah bagian dari khazanah sastra Indonesia: bahkan dalam sampul itu bisa dibaca judul buku yang dipajang sebagai North American Indians[6]. Bukankah sebagai sumbangsih untuk sastra Indonesia maka buku ini bisa dimulai dengan pengenalan berbagai sampul buku sastra Indonesia seperti dapat ditemukan misalnya pada cover buku Teori Pengkajian Fiksi-nya Burhan Nurgiyantoro versi baru?

Tentu saja pemaknaan atas sajak-sajak yang ada dalam antologi 80 Sajak Puncak dalam Sejarah Sastra Indonesia ini sebagai sajak puncak juga membawa konsekuensi bahwa sajak-sajak karya 80 penyair yang sama tapi tidak termuat dalam buku ini bukanlah sajak puncak mereka. Bagaimana lantas penyusun mempertanggungjawabkan bahwa sajak puncak Chairil Anwar adalah Diponegoro, sajak puncak Sapardi adalah Marsinah, sajak puncak Wiji Thukul adalah Comberan misalnya?

Sumber-sumber Sajak: Gema Horison?

Dalam mekanisme penyusunan antologi ini tampaknya Korrie menggunakan metode yang sama dengan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia: selalu mencoba mencantumkan sumber primer. Dari 80 sajak yang dicantumkan tampak bahwa sajak-sajak tersebut diambil dari majalah Horison dalam rentang waktu tahun 1967-2008 sebanyak 34 judul, 2 sajak dari majalah Horison tanpa mencantumkan tahun, 25 sajak dari buku yang terbit dalam rentang tahun 1969-2006 termasuk dua buku karangan Korrie sendiri dan satu buku tanpa tahun terbit, 4 sajak tanpa pencantuman sumber, 3 sajak dari manuskrip Korrie sendiri. Salah satu sajak yang bersumber dari manuskrip adalah sajak Zeffry J. Alkatiri yang bersumber dari manuskrip buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia Buku II yang bertarikh 2001. Sisa sajak yang ada bersumber dari majalah selain Horison dan dari koran Media Indonesia dan Kompas.

Sayangnya dari rincian di atas tampak adanya ketidaktelitian yang muncul sampai-sampai bisa ditemukan kasus sajak tanpa sumber, majalah Horison yang tidak disebutkan edisi tahun berapa, ataupun buku tanpa tahun terbit. Hal tersebut tentunya akan menjadi “nila setitik yang merusak susu sebelanga” sebab sebuah antologi yang mengusung judul yang berat seperti “sajak puncak” tentunya harus memancing kepercayaan pembaca mengenai kepuncakan itu sendiri, salah satunya dengan memberikan referensi yang jelas dan akurat mengenai sumber karya.

Selanjutnya apa yang mungkin bisa diperdebatkan adalah ini: sumber terbanyak sajak-sajak tersebut adalah dari majalah Horison, apakah “pernah dimuat di majalah Horison” memang menjadi satu tolok ukur yang digunakan oleh penyusun dalam menentukan “puncak”? Taruhlah misalnya kenapa sajak Nur Wahida Idris yang dimuat di antologi ini adalah Penari bukan sajak yang lain yang bisa ditemukan dalam antologi puisinya Mata Air Akar Pohon (terbit 2008) misalnya sajak Ode untuk Datuk Abbas atau Mata Air Akar Pohon itu sendiri yang lebih sesuai dengan gambaran Korrie dalam biografi singkat Nur Wahida Idris sebagai penyair dengan latar belakang tradisi keagamaan Hindu dan Islam? Apakah karena sajak yang awal pernah dimuat di Horison semata?[7]

Ketika dibandingkan dengan buku Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern, maka kecenderungan menampilkan Horison ke permukaan juga semakin kelihatan. Lihat misalnya puisi Chairil Anwar yang ditampilkan dalam antologi tersebut adalah Senja di Pelabuhan Kecil dengan sumber tertulis adalah majalah Horison. Merujuk pada buku Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, maka sumber sajak Senja di Pelabuhan Kecil itu ada dua yaitu dari buku Deru Campur Debu dan Tiga Menguak Takdir. Jika memang tidak ada niatan untuk menampilkan Horison sebagai sumber kepuncakan, kenapa Korrie harus memilih Horison edisi tahun 1966 sementara dua buku itu sendiri yang dijadikan sumber primer oleh Jassin untuk sajak Senja di Pelabuhan Kecil masih bisa didapatkan dengan mudah zaman sekarang dan dari segi historisitas jelas lebih primer daripada majalah Horison No.4 Tahun I, Oktober 1966?[8]

Posisi Horison sebagai majalah sastra terkemuka di Indonesia dan bahkan di luar negeri memang sesuatu yang pernah pantas meskipun hal tersebut telah mulai digugat pula dengan kemunculan gerakan puisi mbeling pada pada tahun 1972. Posisi Horison demikian misalnya sempat disinggung oleh Katrin Bandel dalam tulisannya yang pertama kali dimuat dalam majalah Horison tahun 2006 dan kemudian diikutkan dalam antologi esainya Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas. Dalam tulisannya Katrin kemudian juga menyatakan beberapa kekurangan majalah Horison sampai saat ketika tulisan itu dibuat: “jalan di tempat”, format yang ketinggalan zaman, dan pilihan tulisan yang sering tidak begitu menarik (Katrin, 2013: 8).

Poin yang terakhir ini bisa dijadikan patokan sebagai kemungkinan pula bahwa karya yang pernah masuk majalah Horison tak lantas bisa dijadikan patokan sebagai “sajak puncak”. Untuk memperkuat poin itu dan juga memperpanjang daftar kemunduran majalah Horison bisa dikemukakan misalnya lembar Kakilangit-nya yang memuat pembahasan satu sastrawan sebanyak dua kali dalam penerbitan yang berbeda dengan bahasan yang sama kecuali pada pengantar.

Sebagai contoh misalnya Horison edisi November 2000 memuat Kakilangit yang membahas Kirdjomulyo, pembahasan yang sama dapat ditemukan pada Kakilangit Horison edisi Juni 2014. Kemudian Horison edisi Juni 2001 memuat Kakilangit yang membahas Trisno Sumardjo, pembahasan yang sama dapat ditemukan pada Kakilangit Horison edisi November 2011. Selanjutnya Horison edisi Juli 2001 memuat Kakilangit yang membahas Iwan Simatupang, pembahasan yang sama bisa ditemukan dalam Kakilangit Nopember 2009.

Pemuatan secara berulang sastrawan tertentu dalam Kakilangit dalam rentang masa yang tak terlalu lama normalnya harus didahului dengan penjabaran alasan, misalnya keistimewaan sastrawan yang bersangkutan, hal mana demikian tidak bisa ditemukan dalam pengantar majalah yang bersangkutan. Dengan demikian mau tidak mau akan muncul pertanyaan: kenapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah dewan redaksi kehabisan sastrawan yang bisa dibahas? Bukankah jika merujuk pada Leksikon Susastra Indonesia susunan Korrie Layun Rampan (salah satu tokoh yang namanya merupakan pembahas tokoh sastra dalam Kakilangit khususnya pada 3 kasus di atas) maka akan ditemukan sangat banyak nama sastrawan Indonesia yang tidak menutup kemungkinan nama mereka banyak yang belum dikneal oleh para siswa ataupun para pembaca Horison secara umum?

Tentu akan lebih masuk akal pula misalnya jika pembahasan disajikan dalam sajian tulisan yang berbeda: ada banyak sisi yang berbeda yang bisa dibahas dari seorang sastrawan untuk tidak menampilkan kisah yang “itu-itu saja”. Dalam kasus majalah Horison ini tulisan yang disodorkan pun sama. Dan penyusun beberapa tulisan di dalamnya adalah tokoh yang sama dengan penyusun antologi 80 Sajak Puncak dalam Sejarah Sastra Indonesia ini yaitu Korrie Layun Rampan. Maka tampak adanya benang merah yang bisa menjadi alasan mengapa sajak-sajak yang dimuat dalam antologi ini merupakan sajak-sajak yang pernah dimuat dalam majalah Horison.

Melawat Angka 80

Pertanyaan yang mungkin sedikit terlupakan adalah pilihan mengenai angka 80 sebagai bagian dari judul dan kerangka penyusunan antologi ini. Memang dalam pengantarnya Korrie mengatakan bahwa semula yang dipilih adalah 150 nama dengan 150 sajak, kemudian dalam perjalanan waktu menjadi 100. Kemudian ditapis ulang menjadi 80. Alasan seleksi terakhir ini adalah “ketebalan naskah” sementara “buku semacam ini sangat penting karena sangat dibutuhkan untuk bahan apresiasi”.

Di sinilah kejanggalan itu ditemukan. Tebal buku ini adalah 190 halaman. Taruhlah jika sajak yang dimuat sebanyak 100 sajak dan per sajak sepanjang 2 halaman, maka tambahannya akan menjadi 20×2 halaman sama dengan 40 halaman. Total halaman akan menjadi 230 halaman. Benarkah ketebalan 230 halaman merupakan ketebalan yang terlalu tebal? Bandingkan dengan buku Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern yang jumlah halamannya mencapai 312 halaman. Dengan kata lain, bahkan jika pun 150 sajak dimuat seluruhnya, ketebalannya tak akan jauh berbeda dengan ketebalan Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern.

Dalam pengantarnya Korrie juga memberikan penjelasan bahwa sajak-sajak puncak ini dihasilkan selama delapan puluh tahun perjalanan sastra Indonesia yang dia tunjukkan dengan rentang tahun 1908-2011. Tentu saja jika angka tersebut dijadikan patokan, maka yang akan muncul seharusnya bukanlah angka 80 melainkan 103 tahun atau bisa dikatakan dalam wujud yang lebih sederhana: “sekurang-kurangnya seratus tahun/satu abad”.

Taruhlah misalnya Korrie menghitung itu dari tanggal lahir Amir Hamzah, penyair paling awal yang karyanya dicantumkan dalam buku ini, maka tahun yang tertera harusnya tahun 1911, sampai tahun 2011 maka angka yang didapat adalah 90 tahun. Selain itu tentu saja tak masuk akal dengan memulai sejarah sastra Indonesia dengan merunut pada angka tahun lahir penyair pertama. Sementara itu menghubungkan angka tersebut dengan Chairil juga merupakan hal yang semakin jauh. Oleh karena itu lebih masuk akal jika masa 80 tahun ini diambil Korrie dari masa kemunculan Amir Hamzah pada tahun 1930-an. Dengan kata lain, rentang 1930-an sampai 2011 maka jadilah angka “80-an”.

Tahun 1908 sebagaimana dikatakan Korrie dalam pengantarnya adalah tahun berdirinya Budi Utomo. Dengan kata lain di sini Korrie sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Rachmat Djoko Pradopo (2011: 6) bahwa karena nasionalitas Indonesia secara resmi diakui lahir pada tanggal 20 Mei 1908 (lahirnya Budi Utomo), maka mestilah lahirnya sastra Indonesia tanggal 20 Mei tersebut. Meskipun demikian, Pradopo juga meneruskan bahwa “penentuan lahirnya sastra” juga harus berdasarkan adanya karya sastra secara konkret, yang bersifat nasional. Oleh karena itu, Pradopo kemudian berkesimpulan bahwa lahirnya sastra Indonesia adalah tahun 1920 (2011: 6) meskipun dia juga menambahkan bahwa hal tersebut bukanlah ihwal yang mutlak.

Dalam hal ini pun tampaknya Korrie sepakat. Dia misalnya mengatakan dalam pendahuluannya bahwa pada tahun 1920 sajak-sajak Muhammad Yamin sudah disiarkan oleh majalah Jong Sumatra. Meskipun demikian tampaknya Korrie menganggap bahwa sajak yang bisa dianggap sebagai “puncak” tidaklah dimulai dari periode itu melainkan dari periode 1930-an dengan Amir Hamzah.

Alasan yang dikemukakan Korrie bisa dilihat dalam pendahuluannya. Dia menyebutkan bahwa sajak-sajak Muhammad Yamin dan kawan-kawan (Rustam Effendi, Mohammad Hatta, Sanusi Pane, dll) merupakan jenis sajak bertendens.

Puisi merupakan alat perjuangan, karena melakukan perjuangan frontal bersenjata hampir-hampir tidak mungkin; sementara perjuangan politik pun membutuhkan waktu panjang. Sementara puisi dapat ditulis dengan cepat, meskipun hasilnya sangat jauh dari harapan! (Rampan, 2014: vi).

Selanjutnya Korrie menyatakan alasan kenapa Amir Hamzah bisa tercatat menuliskan sajak puncak yaitu karena sajak-sajak Amir Hamzah bukan hanya merevolusikan bahasa lama menjadi bahasa baru, tetapi di tangannya puisi juga mementingkan pikiran bukan amanat. Hal mana kemudian semakin tampak pada Chairil Anwar[9].

Di sini pernyataan Korrie untuk sementara tampaknya masuk akal, akan tetapi marilah kita bedah satu persatu. Pertama, Korrie mempermasalahkan puisi bertendens, puisi yang lebih mementingkan amanat daripada kepuisiannya. Tidakkah puisi-puisi Wiji Thukul kebanyakan merupakan puisi bertendens yang lebih mengutamakan amanat daripada bentuk puisi itu sendiri? Jika kemudian Korrie beralasan bahwa puisi bertendens Yamin dkk hasilnya sangat jauh dari harapan, apakah puisi-puisi bertendens karangan Wiji Thukul bisa dikatakan hasilnya sesuai dengan harapan, misalnya dalam gerakan sosial politik? Butuh telaah yang dalam sebelum seseorang bisa mengatakan berhasil atau tidaknya sebuah puisi bertendens.

Kedua, ada kedekatan makna tentang puisi bertendens sebagai puisi yang mementingkan amanat dengan apa yang dibahas oleh Abdul Wachid B.S (2005: 70) mengenai kategorisasi puisi ala Goenawan Mohamad yang terbagi antara puisi ide dan puisi suasana. Puisi bertendens ini mirip dengan puisi ide: puisi yang menyatakan ide alih-alih menampilkan ide sebagaimana dilakukan oleh puisi suasana. Abdul Wachid B.S (2005: 73) juga menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada puisi yang murni, meskipun itu puisi suasana, dari menyatakan ide. Pada akhirnya hal demikian merupakan pilihan: “ada masanya seseorang untuk berterus-terang melalui pernyataan” dan ada pula saatnya melalui “tampilan-tampilan yang mengisyaratkan”.

Ketika menciptakan puisi bertendens ataupun tidak merupakan satu bentuk pilihan, maka pantaskah hal tersebut dijadikan salah satu tolok ukur untuk menyatakan “puncak”? Sudahkah Korrie sendiri melakukan telaah dengan teliti menjamin bahwa tak ada satu pun misalnya puisi-puisi Rustam Effendi yang tidak bertendens?

Antologi ini memakai judul “sajak puncak”. Dari sudut pandang manapun maka penentuan tersebut tentunya bersangkutan dengan masalah kualitas. Mengutip Agus R. Sardjono (2001: 251), masalah “Angkatan merupakan urusan sejarah sastra, sementara kualitas merupakan urusan kritik sastra”. Oleh karena itu, seandainya memang antologi ini berurusan dengan masalah “kualitas”, seharusnya tak ada pembahasan apapun dengan masalah angkatan.

Memang ada kemungkinan pembahasan masalah “angkatan” dan “kualitas” ini disajikan dalam satu tempat, hanya saja hal tersebut harus diimbangi dengan penjelasan yang memadai. Cara termudah tentu saja memberikan analisis yang memadai tentang “kualitas” karya yang dihimpun, seterusnya dari sana akan bisa diberikan analisis lanjutan mengenai terobosan-terobosan baru yang mengukuhkan hadirnya satu angkatan.

Penjelasan semacam itulah yang tidak bisa ditemukan dalam buku antologi ini. Dengan kata lain, alasan yang dikemukakan mengenai pemilihan 80 sajak dalam buku ini sebagai sajak puncak dalam sastra Indonesia bukanlah sesuatu yang pas secara logika: ia hanya menyinggung masalah ketebalan yang tentunya tak memberi legitimasi apapun mengenai penggunaan istilah “sajak puncak”.

Pada akhirnya apa yang ingin ditekankan oleh tulisan ini adalah bahwa sastra Indonesia memang masih membutuhkan banyak antologi, baik sebagai dokumentasi sejarah ataupun sebagai bahan apresiasi. Akan tetapi antologi yang kita butuhkan adalah antologi yang disusun dengan penuh kehati-hatian untuk memilih judul dan sumber dan juga perlunya ketelitian dalam menuliskan hal-hal tersebut. Proses pembuatan, tolok ukur, seleksi karya, dan pemilihan sastrawan tentu saja bisa diceritakan dalam pengantar. Karya yang dipilih juga mustinya bisa dikaitkan dengan ulasan tentang penulis yang dicantumkan. Tanpa semua itu, sebuah antologi hanya akan menjadi antologi yang gamang, sebagaimana demikianlah halnya dengan antologi “80 sajak puncak” ini.[]

Catatan Kaki:

 [1] Ada yang menarik mengenai buku ini. Seorang penyair, Budhi Setyawan, yang sajaknya dimuat dalam antologi ini mengungkapkan bahwa dia tidak mengetahui puisinya dimasukkan ke dalam antologi ini kecuali setelah antologi ini terbit. Selain itu ada perbedaan layout pada puisinya yang dimuat dalam majalah Horison dengan puisi yang sama yang dimuat dalam antologi ini. Hal tersebut bisa mengindikasikan bahwa berbeda dengan penyusun antologi yang lain yaitu HB Jassin dan Ajip Rosidi, Korrie kemungkinan tidak menghubungi tokoh yang karyanya hendak dimuat dalam antologinya. Selain itu adanya perbedaan layout bisa mengindikasikan kurangnya ketelitian dalam penggarapan. Mengenai ungkapan Budhi Setyawan sendiri bisa dibaca selengkapnya di http://budhisetyawan.wordpress.com/2013/12/16/puisi-budhi-setyawan-di-buku-antologi-apresiasi-sastra-indonesia-modern/.

[2] Antologi ini sendiri sebagaimana dikisahkan oleh Korrie dalam pengantarnya direncanakan terbit sebanyak dua jilid. Meskipun demikian, entah ada hambatan apa yang jelas ketika tulisan ini ditulis yang sudah sampai ke pembaca barulah jilid pertama padahal Korrie sendiri mengatakan bahwa rentang waktu keduanya diharapkan tidak berbeda terlalu lama. Ada juga informasi dari perbincangan di internet yang mengatakan bahwa antologi ini hendak dicetak dalam 3 jilid meskipun tentu saja data ini patut dipertanyakan lebih lanjut mengingat seandainya dilihat bahwa jumlah sastrawan yang dimuat dalam jilid pertama dikatakan merupakan separuh dari keseluruhan nama sastrawan yang sudah dikumpulkan, tampaknya jumlah yang pasti mengenai antologi ini adalah sebanyak 2 jilid. Tentu saja jika antologi itu jadi diterbitkan sebanyak dua jilid, bisa dipastikan bahwa keseluruhan antologi tersebut lebih tebal baik dari Gema Tanah Air ataupun Laut Biru Langit Biru.

[3] Mengenai judul, Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern juga bisa dikatakan memiliki kejanggalan. Memang ada penjelasan dalam pengantar dari penyusun mengenai pengertian “apresiasi” yang secara tersirat bisa membuat pembaca berkesimpulan bahwa apresiasi adalah penghargaan karya dan hal tersebut diawali dengan membaca karya yang bisa ditemukan dalam antologi ini, akan tetapi makna “apresiasi” itu sendiri jelas lebih merujuk pada “penghargaan karya”, bukan pada “karya” itu sendiri. Ada beda tentu saja antara karya yang diapresiasi dengan laku apresiasi itu sendiri. Dengan kata lain, ada kemungkinan pembaca yang salah mengira bahwa judul buku ini menyaran pada kumpulan pembedahan karya sastra alih-alih kumpulan materi telaah sastra sebagaimana bisa ditemukan pada kenyataannya.

[4] Lihat misalnya arti leksem “puncak” dalam KBBI edisi keempat yang berjumlah tiga: (1) bagian yang paling atas (tt gunung, menara, pohon, dsb) (2) titik sudut segitiga yang berhadapan dengan garis dasar (3) kias: yang tertinggi; teratas; tingkatan (harta, keadaan, dsb) yang tertinggi atau tersangat (Pusat Bahasa, 2014: 1116). Yang manapun makna yang diambil maka kata “puncak” menyaran pada “sesuatu yang ada di peringkat paling atas”.

[5] Dalam tulisan ini penulis menjauhi sebisa mungkin bahasan mengenai pemilihan tokoh yang masuk ke dalam antologi untuk menjaga kesesuaian tulisan dengan judul antologi tersebut yang mengacu pada sajak alih-alih pada penciptanya. Dengan demikian, penulis menghindari mempertanyakan mengenai mengapa penyair a masuk sementara penyair b tidak. Meski memang disadari pula oleh penulis adanya kejanggalan mengenai pilihan penyair ketika dibandingkan antara dua antologi ini. Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern memuat 35 penyair yang dikatakan sendiri oleh Korrie dalam pengantarnya sebagai penyair yang sudah melegenda dalam tataran puisi Indonesia modern. Dari 35 penyair legendaris itu ternyata ada 12 nama yang tidak masuk ke dalam buku antologi 80 Sajak Puncak dalam Sejarah Sastra Indonesia. Maka dasar pemilihan penyair dalam antologi 80 Sajak Puncak dalam Sejarah Sastra Indonesia dengan sendirinya membingungkan. Jika penyair dalam Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern adalah penyair yang melegenda, maka kenapa mereka tidak masuk dalam antologi 80 Sajak Puncak dalam Sejarah Sastra Indonesia?

[6] Gaya sampul muka yang sama bisa ditemukan juga pada buku Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern.

[7] Pertanyaan yang sama bisa disusulkan terhadap pemilihan sajak Yudhistira dalam antologi ini yang memang merupakan salah satu sajak yang bersumber dari Majalah Horison. Sedikit pertanyaan lain bisa pula ditambahkan: apakah pemilihan Yudhistira sebagai salah satu sastrawan yang dimasukkan karyanya di dalam antologi ini sementara Remy Sylado tidak disebabkan karya Yudhistira pernah dimuat di Horison sementara Remy Sylado sebagaimana dikatakan dalam “sekapur sirih” antologi puisinya Puisi Mbeling (Sylado, 2004: xvi) merupakan “sastrawan yang tidak pernah mengirimkan karyanya ke majalah Horison”?

[8] Deru Campur Debu pertama terbit tahun 1949, tahun 2010 buku ini mencapai cetakan kedelapan oleh Dian Rakyat, sementara Tiga Menguak Takdir pertama kali terbit tahun 1950, tahun 2013 buku itu sudah mencapai cetakan keempat oleh Balai Pustaka.

[9] Ada satu tulisan Korrie yang lain yang juga sesuai dengan ulasannya ini. Tulisan itu berjudul Sajak-sajak Kontekstual Mohammad Hatta, dimuat dalam Suara Karya edisi 31 Mei 1985 dan kemudian termuat pula dalam antologi Perdebatan Sastra Kontekstual susunan Ariel Heryanto halaman 285-290. Tulisan itu membahas 3 sajak Mohammad Hatta dan berkesimpulan bahwa Mohammad Hatta menulis sajaknya dalam bentuk simbolik. Kemudian barulah setelah perjalanan panjang Chairil Anwar menyatakan dengan puisi tanpa tedeng aling-aling. Menarik melihat bahwa puisi Chairil yang dijadikan contoh dalam tulisan ini adalah puisi Diponegoro.

Referensi

Bandel, Katrin. 2013. Sastra Nasionalisme Pacakolonialisme. Jogjakarta: Pustaha Hariara.

B.S. Abdul Wachid. 2005. Membaca Makna: Dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.

Carey, Peter. 2014. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Penj. Th. Bambang Murtianto dan P.M. Laksono. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Heryanto, Ariel (peny.). 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali Pers.

Idris, Nur Wahida. 2008. Mata Air Akar Pohon. Yogyakarta: [sic]

Jassin, H. B. 1985. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung Agung.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2011. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pusat Bahasa. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Keempat. Jakarta: Gramedia.

Rampan, Korrie Layun. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

___________________. 2000a. Leksikon Susastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

___________________. 2013. Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Narasi.

___________________. 2014. 80 Sajak Puncak dalam Sejarah Sastra Indonesia. Yogyakarta: Narasi.

Rosidi, Ajip (peny.). 2013. Laut Biru Langit Biru. Bandung: Pustaka Jaya.

Sarjono, Agus R. 2001. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Sylado, Remy. 2004. Puisi Mbeling. Jakarta: KPG.

Wellek, Rene, dan Austin Warren. 1956. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World, Inc.

Tag

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Halo! Jika Anda ingin belanja buku atau ingin menanyakan sesuatu tentang penerbitan dan percetakan, silakan klik! Terimakasih.

Chat kami melalui WhatsApp