New Historisisme Greenblatt: Identifikasi dan Relevansi dalam Kritik Sastra [Bagian 1]

Moh. Fathoni

Pasca 2000-an kesusastraan kita mengalami overproduksi terutama setelah adanya dorongan semangat keterbukaan publik daripada masa-masa sebelumnya. Fenomena tersebut lebih-lebih tampak dalam produksi karya sastra sejarah. Dalam acara Borobudur Writers dan Cultural Festival, 29-31 Oktober 2012, sedikitnya melibatkan 30 pengarang dengan lebih dari 45 novel yang mengangkat tokoh dan peristiwa sejarah. Kecenderungan overproduksi teks sastra sejarah tersebut pada satu sisi berpotensi negatif terhadap adanya kekacauan, di sisi lain berefek positif terhadap perkembangan dan keragaman dalam kesusastraan kita. Kekacauan tersebut diantaranya karena adanya pergeseran paradigma dalam melihat teks sastra baik secara ontologis dan epistemologis maupun implikasinya pada metodologi pengkajian teks sastra sejarah. Adanya pergeseran tersebut disebabkan adanya perbedaan konvensi lama dan baru dalam melihat teks sastra sejarah. Asumsi-asumsi yang muncul pada pergeseran ini yakni mempertanyakan objektivitas sejarah dan fungsi sastra.

Dalam kajian interdisipliner yang mencoba mendiskusikan antardisiplin keilmuan diperlukan untuk menyikapi pergeseran tersebut, sebagai perhatiannya terhadap perkembangan, keragaman, dan persoalan tersebut. Dalam hal ini teori dan kritik sastra bukan tidak mungkin diperlukan rumusan metode dan paradigma baru. Tawaran pendekatan interdisipliner dalam sastra jelas diperlukan dalam kondisi yang demikian. Tulisan ini akan dikhususkan pada identifikasi new historisisme dan relevansinya dalam kesusastraan Indonesia yang mengalami pergeseran paradigma dalam melihat teks sastra sejarah. Untuk kepentingan identifikasi tersebut tulisan membatasi ruang lingkup kajian, yakni hanya sekitar pada persoalan terhadap novel sejarah yang representatif dengan fenomena di atas.

Identifikasi Paradigma Sastra dan Sejarah

Setidaknya belakangan ini terdapat beberapa persoalan yang mengarah pada paradigma sastra dan kaitannya dengan sejarah. Persoalan tersebut terlihat dari beberapa perdebatan yang mengarah pada gugatan terhadap teks sastra (novel) sejarah. Gugatan tersebut diantaranya dapat dilihat dari beberapa kasus berikut.

Aguk Irawan NM dalam “Novelisasi Sejarah, antara Sastra dan Pelecehan Sejarah” (NU Online, 25/11/1012) menyatakan bahwa novel Wali Songo karya Damar Shasangka belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Beberapa tokoh dalam novel tersebut menurut Aguk, misalnya seperti tokoh Sunan Giri menitahkan pembakaran lontar-lontar agama Budha, dan tokoh Nyo Lay Wa, seorang muslim China, ditahbiskan menjadi raja Majapahit, tidak sesuai dengan kenyataan sejarah. Pernyataan tersebut Aguk bersandarkan pada pandangan M.H. Abrams dalam The Mirror and the Lamp untuk kemudian mengatakan bahwa perlu adanya etika dalam karya sastra sejarah. Dengan kata lain, Aguk ingin menekankan fungsi kritik sastra pada persoalan subjektivitas pengarang teks sastra dan historiografi yang objektif.

Pada kasus yang lain, perdebatan Akmal Nasery Basral dengan Priyanto Oemar di Republika mengenai sosok Ahmad Dahlan dan kehidupannya di dalam karya sastra menarik pula untuk dicermati. Ahmad Dahlan adalah sosok sejarah. Sedangkan novel yang mengangkat kehidupannya yakni diantaranya Jejak Sang Pencerah yang ditulis oleh Didik L Hariri dan novel Tonggak Sang Pencerah oleh Yazid R Passandre.

Basral dalam “Perlunya Keluwesan Menakar Novel Sejarah” (Republika, 26/9/2010) menanggapi tulisan Oemar “Keluwesan Sang Pencerah” (Republika, 5/9/2010). Menurut Basral, tulisan Oemar mengarah pada akurasi atau verifikasi peristiwa-peristiwa (fakta) historis dalam karya sastra. Padahal menurutnya, novel Sang Pencerah adalah teks sastra yang tidak bisa disejajarkan dengan teks non-sastra. Oleh karena itu, menurut Basral pembandingan yang dilakukan Oemar tersebut tidak tepat. Di sini, Basral menyandarkan pendapatnya pada subjektivitas pada teks sastra, sebaliknya Oemar pada objektivitas sejarah. Selain itu, keberatan Basral juga didasarkan pada pandangan bahwa ukuran keindahan estetika dan secara fungsional antara karya sastra (novel) dengan non-sastra (buku sejarah) berbeda. Artinya, meskipun keduanya berasal dari bahan yang sama (masa lampau atau sejarah), tetapi keduanya tidak sama dan tidak dapat disamakan dalam penilaian atau pembandingan. Dengan demikian, keduanya mengacu pada pembedaan antara teks sastra yang subjektif dan non-sastra (sejarah) yang objektif. Sastra dan sejarah adalah dua disiplin yang terpisah dan tidak dapat dipertemukan.

Dalam konvensi sastra tradisional, novel sejarah dipahami sebagai teks sastra yang di dalamnya memuat peristiwa dan kehidupan tokoh sejarah. Sedangkan sejarah, dalam pandangan ini, dimaksudkan sebagai masa lampau yang ditulis oleh sejarawan yang memiliki kemampuan tertentu dalam menulis sejarah. Dengan demikian, kebenaran mengenai masa lampau dapat ditemukan dan bersifat objektif dan pasti di dalam sejarah. Sementara teks sastra yang ditulis bukan dengan standar ilmiah hanya menjumput sejarah untuk dijadikan sebagai background dari narasinya.

Namun, pandangan yang terakhir ini belakangan terlihat diragukan dan secara luas kebenaran sejarah tampak dipertanyakan: benarkah kenyataan masa lampau dapat diketahui secara lengkap, dan benarkah masa lampau yang ditulis dalam sejarah yang sampai pada masa kini benar-benar bersih dari subjektivitas penulisnya dan kepentingan tertentu. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mengemuka kembali terutama setelah berakhirnya dominasi otoritas orde baru. Lebih-lebih tampak ketika dipersoalkannya kebenaran peristiwa sejarah Gerakan 30 September (G 30 S). Kaitannya dalam sastra mengenai hal ini, diantaranya, tulisan Adi Wicaksono dan disertasi Y. Yapi Taum (UGM, 2012) cukup memberikan gambaran mengenai perbedaan perspektif ideologis karya sastra pada masa tersebut, bahwa sejarah yang ditulis tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan. Dengan demikian, objektivitas sejarah diragukan kebenarannya.

Tidak hanya itu, objektivitas sejarah pada peristiwa dan tokoh sejarah lainnya bersifat ‘mungkin’ dalam sastra. Dalam teks sastra sejarah Wali Songo, Ahmad Dahlan atau tokoh sejarah lainnya memiliki kemungkinan berbeda dengan penulisan sejarah (historiografi). Dan kemungkinan tersebut sangat besar terjadi, terutama di dalam karya sastra. Hal yang demikian ini mengemuka dalam acara Borobudur Writers dan Cultural Festival 2012 yang juga mengangkat persoalan tokoh dan peristiwa sejarah dalam sastra, terutama polemik yang melibatkan Langit Kresna Hariadi dan Aan Merdeka Permana. Hariadi pernah menulis novel yang kontroversial mengenai Majapahit, begitu pula Permana yang mengangkat sosok Gajah Mada dalam novel Perang Bubat.

Dalam tulisan “Novel Sejarah Sunda Mencari Jejak yang Tidak Pasti” yang disampaikan pada acara itu, Permana menegaskan bahwa fiksi sejarah berhadapan dengan kondisi politik dan ekonomi ketika akan diterbitkan. Menurutnya, novel Senja Jatuh di Pajajaran sulit terbit karena ditolak oleh penerbit-penerbit masa Orde Baru, sebab cerita di dalamnya cenderung sensitif dengan kekuasaan. Demikian pula novel Perang Bubat yang dianggap berbeda dengan pengetahuan sejarah mengenai penggambaran tokoh Gajah Mada.

Selain persoalan politik, Permana juga menyatakan bahwa kepentingan penerbit memiliki peran penting. Penerbit yang mempunyai kepentingan ekonomi (kapital) tentu tidak akan menerima naskah (novel) yang tidak mengandung unsur nasional atau yang diketahui khalayak, popular dan tidak bersifat lokal yang hanya diketahui oleh masyarakat daerah tertentu. Hal ini menurut Permana menyulitkan terbitnya novel-novel sejarah lokal. Maka, bukan tidak mungkin karya sastra yang diterbitkan tidak berorientasi lokal yang tentu saja posisinya tidak berbeda dengan nasional.

Apa yang menjadi persoalan Permana ini kemudian dilakukan Hariadi yang sebelumnya menulis novel tentang Majapahit. Hariadi menerbitkan sendiri beberapa novelnya. Demikian pula dengan novelis lainnya memilih menerbitkan karyanya sendiri, seperti Armaya yang menulis novel Tirtaganda tentang sejarah Blambangan.

Novel Hariadi Menak Jinggo misalnya, mengangkat persoalan silang sengkarutnya transisi Majapahit masa Hayam Wuruk yang melingkupi kehidupan sosok Bhre Wirabumi, dari keturunan Blambangan. Beberapa sosok dari keturunan Majapahit tidak ingin kursi kekuasaan Majapahit dilanjutkan oleh selain keturunannya langsung. Dalam kondisi perebutan kekuasaan itulah keturunan Blambangan dicitrakan negatif. Barangkali melalui novel ini Hariadi ingin mewacanakan kembali sosok masa lampau dari keturunan Blambangan yang dicitrakan negatif sampai kini, dan bahwa citra demikian tidak dapat dilepaskan dari persoalan politik yang melingkupi pada masanya. Hal ini pula yang tampak dalam novel Permana Perang Bubat yang mengangkat sosok Gajah Mada dan orang-orang Blambangan dalam novel Armaya Tirtaganda.

Pencitraan demikian mengacu pada rekonstruksi dan representasi masa lampau (sejarah) yang dituliskan di dalam teks sastra. Melalui novel Tirtaganda, Armaya mencoba merekonstruksi peristiwa dan tokoh Blambangan pada masa lampau. Novel ini diterbitkan kembali ketika ramaii perdebatan mengenai penetapan hari jadi Banyuwangi antara pemerintah, budayawan, sejarawan. Kasus terakhir ini mengandaikan bahwa sastra mencoba memasuki peran dalam persoalan yang berkaitan dengan masa lampau pada masa kekinian. Demikian pula dengan Hariadi dengan Menak Jinggo yang merekonstruksi cintra Bhre Wirabumi baik dalam pandangan Majapahit maupun Blambangan, yang sampai pada hari ini masih dicitrakan negatif. Permana melalui Perang Bubat mencoba merekonstruksi representasi Gajah Mada khususnya pada peristiwa Bubat yang sampai pada hari ini berpengaruh pada hubungan Sunda dengan Jawa.

Dengan demikian, teks sastra baik yang ditulis oleh Permana, Armaya maupun Hariadi di atas menunjukkan bahwa, 1) perbedaan jarak waktu antara peristiwa masa lampau dengan penulisan novel yakni pada masa kini; 2) adanya pewacanaan kembali masa lampau pada masa kini. Maka, terdapat perbedaan cara pandang antara masa lampau dan masa kini, khususnya yang dilakukan oleh pengarang. Sebagaimana dijelas di atas, bahwa dalam diskursus historiografi dan sastra persoalan kebenaran sejarah atau objektivitas dipertanyakan kembali baik posisi, fungsi, maupun legitimasinya, yang dengan demikian dalam analisis dan interpretasi sastra masa lampau dipandang sebagai jalinan diskursus yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam hal inilah new historisisme Greenblatt mendapat relevansinya. (Bersambung)

Lanjut ke bagian 2

Tag

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Halo! Jika Anda ingin belanja buku atau ingin menanyakan sesuatu tentang penerbitan dan percetakan, silakan klik! Terimakasih.

Chat kami melalui WhatsApp