New Historisisme Greenblatt: Identifikasi dan Relevansi dalam Kritik Sastra [Bagian 2-Habis]

Moh. Fathoni

New Historisisme Stephen Greenblatt

Selama tahun 1940-1960an, new kritisisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada masa itu buku Theory of Literature (1942) Rene Wellek dan Austin Warren seperti menjadi kitab suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada memperhatikan relasi dengan pembaca, pengarang, dan persoalan historisitasnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an muncul pendekatan alternatif pada interpretasi tekstual yang melawan dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisisme atau formalisme mengasumsikan bahwa teks bersifat ahistoris dan terisolir dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi old historisisme.

New historisisme diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak belakang dan menentang pandangan old historisisme. New historisisme tegas menyatakan bahwa semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah yang dituliskan tidak terhindarkan dari pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang, pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah tidak pernah mampu menyediakan kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh mengenai peristiwa atau pandangan dunia suatu masyarakat pada masa lampau. Dengan mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa sejarah merupakan suatu diskursus; cara pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi, politik, agama, dan lainnya, merupakan suatu diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan.

Dengan demikian sejarah sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini oleh new historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat tidak dilibatkan. Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis.

Demikian pula dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan dengan kepercayaan, kebiasaan, moral, seni, dan hukum yang dianut oleh masyarakat. Karena istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak mempunyai arti apa-apa. Budaya hanya secara samar menunjuk pada ragam dari ‘kemampuan dan kebiasaan’ (capabilities and habits) yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Greenblatt meredefinisi konsep budaya dalam suatu konstruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam perilaku dan praktiknya dikondisikan, dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan (fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidakleluasaan dan mobilitas (constraint and mobility) (1995: 478).

Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling berjejalin. Bahkan seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 185). Subjektivitas (individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi.

Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa, maka pengalaman subjek pun dapat dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks hanyalah representasi dari dunia yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh karena itu sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di dalam suatu relasi yang saling pengaruh-mempengaruhi dengan yang lain, dengan diskursus yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan lainnya atau dengan fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya saling berhubungan kelindan satu sama lain.

Lebih lanjut menurut Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis. Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari interpretasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6).

Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang maupun pembaca) mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik (kekuasaan). Pembacaan yang menekankan kesadaran-diri (atau keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca mata dan konstruksi kultural masa kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu keseluruhan yang kompleks (Greenblatt, 1995: 480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang didasarkan pada kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Greenblatt, 1995: 478). Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan Greenbatt dalam konsep self-fashioning.

Meskipun budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan diri. Terbukti budaya memiliki kemampuan bertahan dan melakukan improvisasi sehingga mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat persoalan ini berangkat dari diskursus dan relasi kekuasaan Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang menganggap bahwa budaya sebagai suatu teks.

Dalam relasi diskursus (Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya. Maka, dalam praktik pembacaan suatu teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis yang ditunjukkan di dalam karya, dan elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain, praktik analisis tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu teks, peristiwa sosial, tradisi yang dianut, atau suatu tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—Greenblatt menyebutnya dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu masa tertentu. Greenblatt mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter ‘pengetahuan’ suatu periode historis, bukan pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana kekuasaan yang dapat mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu waktu tertentu.

Dalam kajiannya baik secara teoretis dan praktik, Greenblatt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan representasi pada dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah sebagai sebuah teks (Brannigan, 1998: 9), sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz. Hal ini merupakan desakan atas relasi kekuasaan dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus spesifikasi atau kekhususan sejarah (locality).

Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka, tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara kemudian Greenblatt sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean Negotiation, dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan ‘puitika kultural’ dalam buku Shakespearean Negotiation ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya.

Gagasan ‘puitika kultural’ dipertahankan dalam buku The Historicism (Veeser, ed., 1989) dimana dalam buku kumpulan tulisan ini Greenblatt menulis “Toward a Poetics of Culture”. Kemudian Greenblatt menulis “Renaissance Cultural Poetics” yang dikumpulkan dalam buku Learning to Curse (1990). Meskipun demikian, sebenarnya Greenblatt telah menggunakan istilah ‘puitika kultural’ di dalam buku Renaissance Self-Fashioning, dimana dia mengklaim bahwa tujuan yang tepat dari praktik kritis itu adalah ‘a poetics of culture’ (1980: 5). Selain itu, Greenblatt juga sebenarnya menggunakan istilah ‘puitika kultural’ pada tulisan dimana dia mendeklarasikan istilah new historisisme, yakni di dalam pengantar Jurnal Genre yang berhubungan dengan bentuk-bentuk kekuasaan. Di situ Greenblatt menganggap bahwa studi atas genre merupakan suatu eksplorasi dari puitika budaya (Brannigan, 1998: 84).

Namun, secara akademik Greenblatt memulai istilah puitika kultural pada tahun 1987, yakni dalam tulisan pengantar di dalam tulisan “The New Historicism: Studies in Cultural Poetics”. Lebih lanjut, dalam tulisan “Invisible Bullets” (1981) sebagai bentuk revisi dari Shakespearean Negotiations dan tulisan “Murdering Peasants” dalam jurnal Representasion edisi tahun 1983.

Penggunaan puitika kultural oleh Greenblatt bukan sekedar label. Jika new historisisme lebih penolakan terhadap new kritisisme pada pandangan mengenai teks sastra otonom dan terisolasi dari konteks historisnya dan tradisi old historisisme, puitika kultural lebih spesifik pada sebagai praktik kritis yang “menolak asumsi-asumsi yang membedakan antara foreground sastra dan background politis antara produksi artistik dengan produksi sosial jenis lainnya” (Greenblatt, 1982: 6). Hal ini oleh Montrose dianggap sebagai keberhasilan Greenblatt dalam arus gerakan new historisisme yang cenderung ekletik dan empiris terhadap asumsi dan objektivitas teori. Hasilnya, mungkin, adalah ‘pengerasan’ (hardening) new historisisme ke dalam puitika kultural (Brannigan, 1998: 86). Sedangkan oleh Greenblatt sendiri mengakui bahwa puitika kultural cenderung lebih mengarah pada analisis tekstual (Bressler, 2002: 182). Dengan demikian, menurut Brannigan (1998: 84-85) dapat dikatakan bahwa puitika kultural adalah bagian dalam lingkup new historisisme.

Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki diskursus. Semua diskursus diperlukan dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpretasi juga mesti memasukkan pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodologis untuk membedakan makna di setiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau metode atau kritik yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler, 2002: 189). Tidak ada hierarki dan diperlukannya relasi dengan diskursus lain, maka dalam praktiknya puitika kultural sebagaimana new historisisme tidak membatasi perbedaan antara sastra, sejarah, budaya, politik, sains, dan disiplin lainnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi batas-batas yang jelas yang diperlukan dalam praktik analisis.

Teks dalam pandangan puitika kultural, seperti dijelaskan di atas kaitannya dengan bahasa dan diskursus merupakan produk kultural, dimana makna teks berada pada sistem budaya yang jalin-menjalin antara diskursus satu dengan diskursus yang lain. Untuk itu diperlukan strategi penguraian, yakni dengan memperhatikan tiga hal: 1) kehidupan pengarang; 2) norma dan nilai sosial yang ditemukan di dalam teks; dan 3) refleksi atau intensi dari situasi historis di dalam teks sebagai petunjuk dalam praktik analisis. Sejak pengarang menulis, sebenarnya teks, tindakan dan keyakinannya merefleksikan perhatian pengarang (sebagai individu) dan masyarakat (dimana pengarang berada), dan itu merupakan elemen-elemen yang dikandung oleh teks itu sendiri. Sedangkan standar nilai dan perilaku sebagaimana yang direfleksikan dalam aturan-aturan kepantasan (dalam pergaulan) masyarakat juga mesti diinvestigasi, sebab hal tersbut merupakan kode perilaku yang secara terus-menerus berperan membentuk dan dibentuk oleh teks. Begitu pula dengan teks juga mesti dilihat sebagai karya estetis yang mengacu pada kode-kode sosial perilaku tersebut (Bressler, 2002: 189).

Dengan demikian, dalam memahami signifikasi teks dan merealisasikan struktur sosial yang kompleks, ketiga area perhatian tersebut mesti diinvestigasi. Jika salah satu area diabaikan, maka akan berisiko kembali pada old historisisme dan pemahaman terhadap teks bukan sebagai suatu produksi sosial. Dengan menerapkan prinsip dan metode puitika kultural akan menunjukkan bahwa tidak hanya satu suara tapi beberapa suara lain yang terdengar dalam interpretasi teks dan budaya, suara kita sendiri, suara orang lain, suara dari masa lampau, masa kini, dan suara-suara yang mungkin pada masa mendatang (Bressler, 2002: 189-190).

Puitika kultural dipandang sebagai pengkajian secara lebih spesifik dari praktik-praktik kultural dan pengkajian tekstual ke dalam relasi-relasi yang cukup luas (Greenblatt, 1988: 5). Praktik kultural yang dikaji lebih menekankan yang partikular dan lokal, daripada yang general dan universal. Dengan demikian, pengkajian puitika kultural: 1) mengidentifikasi praktik-praktik kultural dengan ‘lebih dekat’, 2) memeriksa bagaimana praktik kultural secara spesifik terbentuk, 3) salah satu dari poin 1) dan 2) itu mengimplikasikan bahwa formasi dari praktik kultural merupakan suatu upaya (praktik) bersama dan bukan karya seorang individu, dan 4) berusaha mencari relasi antara praktik kultural satu dengan praktik lainnya (Brannigan, 1998: 87). Prinsip-prinsip kerja puitika kultural ini jelas terlihat sesuai dengan yang dipraktikkan Greenblatt dalam Marvelous Possessions (1991) yang merupakan hasil kuliahnya yang disampaikan pada 1988.

Dalam buku Marvelous Possessions (1991) Greenblatt menunjukkan praktik kultural kekuasaan simbolik dalam dunia baru (New World) yang muncul pada narasi penjelajahan orang-orang Eropa pada periode awal modern. Greenblatt berpendapat bahwa narasi penjelajahan (narrative travel) yang dibentuk secara kolektif merupakan representasi publik dan representasi itu perlu pembentukan secara kolektif. Kemudian Greenblatt menghubungkan praktik kultural, historis, dan diskursus, dari suatu teks naratif yang memuat adanya narasi penjelajahan sebagai representasi orang-orang Eropa (secara historis) dan adanya pembentukan praktik kultural dari berbagai ragam bentuk representasi (secara tekstual) dimana diskursus kolonial beroperasi, suatu relasi kekuasaan yang mengandung subversi dan demistifikasi New World. Secara tidak langsung, buku ini juga menjadi contoh praktik kritis—yang dipengaruhi oleh marxisme, seluruh bentuk kultural dan ideologi tidak hanya menempel pada praktik-praktik material dan institusional, tetapi juga representasi dalam kondisi ekonomi-empiris menjadi penting sebagai suatu perlawanan atau perjuangan kelas sebagaimana yang dianut oleh marxisme—bahwa ‘mereka tidak dapat merepresentasikan dirinya, mereka mesti direpresentasikan’, juga diikuti pula oleh Gramsci, Althusser, Williams dan Lukacs: subjek (proletar) tidak memiliki kehendak bebas dalam memilih, subjektivitas individual telah dikonstruksi melalui aparatus ideologis (Althusser), dan bahwa kekuasaan beroperasi di dalam masyarakat menurut logika hegemonik yang merasuk ke dalam kode dan konvensi sosial dan kultural masyarakat (Williams).

Sejak memperkenalkan kajian new historisisme (1980) atau puitika kultural (1988), Greenblatt memperkaya kajiannya dengan konsep subjektivitas (self-fashioning), ‘mobilitas kultural’, ‘anekdot’, ‘resonansi dan wonder’, ‘energi sosial’, dan lainnya. Dengan konsep-konsep tersebut puitika kultural berusaha menemukan jalan keluar dari keraguan atau aporia mengenai sifat-dasar realitas dan interpretasi teks. Hal ini yang membedakannya dengan teori poststrukturalis lainnya, khususnya dekonstruksi. New historisisme tidak meniadakan bahwa beberapa faktor keterpengaruhan dan penulisan, produksi, dan publikasi teks, new historisisme berusaha melampaui keraguan itu daripada menyatakan bahwa teks memiliki banyak kemungkinan makna (Bressler, 2002: 183).

Konsep self-fashioning (pembentukan-diri atau lebih tepatnya penyesuaian-diri) diperkenalkan Greenblatt pada buku Renasissance Self-Fashioning. Greenblatt merujuk pada konsep artefak kultural Geertz, bahwa manusia membutuhkan simbol-simbol kultural untuk menciptakan dirinya. Dalam praktik analisisnya, New historisisme memeriksa ‘bagaimana suatu periode atau budaya tertentu menciptakan (fashions) dirinya, dan menghasilkan dirinya sendiri. Dengan demikian, fokus perhatian new historisisme adalah bukan pada ‘apakah pembentukan-diri (self-fashioning) itu salah atau benar’, tetapi pada ‘bagaimana dan mengapa seseorang atau masyarakat membentuk (fashions) diri mereka sendiri’. Oleh karena itu, dalam praktik interpretasi new historisisme juga menggunakan analisis thick description Geertz, dengan asumsi demistifikasi otonomi teks sastra, dan menempatkan sastra dalam sirkulasi dengan teks-teks lainnya (Brannigan, 1998: 33-34, 80). Dalam praktik ini new historisisme berfungsi pada penguraian narasi-narasi yang tersembunyi, terabaikan, yang kecil dan tidak diperhatikan atau termajinalkan, kemudian memahami dan mengungkap bagaimana dan mengapa narasi tersebut demikian pada masa kini.

Dalam konsep ini Greenblatt tampak juga dipengaruhi oleh padangan sistem self-regulating (pengaturan-diri) Foucauldian, terutama pada representasi yang berhubungan dengan dominasi dan kondisi diskursif yang mempengaruhi dan menentukan pembentukan-diri. Dalam Renaissance Self-Fashioning, Greenblatt menunjukkan bahwa “pada abad ke-16 tampak meningkatnya kesadaran-diri mengenai pembentukan (fashioning) identitas manusia sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasi” (1980: 2). Jadi, bukan individu-individu tetapi bagaimana budaya Renaissans menciptakan representasi untuk membentuk gagasan kesadaran-diri-manusia pada masa Renaissans. Menurut Greenblatt, gagasan tersebut merupakan suatu proses pembentukan-diri (self-fashioning), dimana subjektivitas setiap individu dikonstruksi secara ideologis dan linguistik di dalam kesadaran puncak dari posisi diri (self) di dalam struktur-struktur kekuasaan.

Dengan demikian, representasi, identitas, dan kesadaran diri merupakan suatu fiksi yang diformulasikan dan diadaptasi melalui suatu narasi di dalam jaringan diskursus, “…narasi dan identitas sosial dibentuk di dalam budaya” (Greenblatt, 1980: 6). Bagi Greenblatt, pembentukan-diri (self-fashioning) adalah efek dari ragam mekanisme kontrol, sistem pemaknaan kultural yang menciptakan individu tertentu diatur dan dikendalikan (1980: 4). Sedangkan dalam hal praktik interpretasi, Greenblatt menitik-beratkan pada fungsi sastra: 1) sebagai suatu manifestasi dari tindakan konkret seorang pengarang, 2) sebagai ekspresi dari kode-kode dimana perilaku dibentuk, dan 3) sebagai refleksi atas kode-kode perilaku yang berlaku. Ketiga fungsi ini mesti digunakan seluruhnya. Jika interpretasi hanya nomor 1, maka akan mengarah pada analisis biografis yang cenderung psikologis atau analisis historis pengarang. Dan jika hanya pada nomor 2, maka akan mudah terjebak ke dalam pandangan bahwa sastra semata hanya sebagai produk struktur sosial, konsekuensinya akan terkungkung pada ideologi superstruktur. Demikian pula, jika sastra hanya dipandang sebagai refleksi kode perilaku, maka akan menghilangkan subjek atau subjek dianggap pasif yang hanya sebagai anggota masyarakat (1980: 5). Selain itu, dalam buku ini Greenblatt juga memperkenalkan istilah ‘improvisasi kekuasaan’ (1980: 227) untuk menyebut diskursus yang mendominasi pada masa Renaissans yang menurutnya sebagai suatu mode dan instrumen kekuasaan.

Perihal kekuasaan pada tulisan “Invisible Bullets” Greenblatt menyebutkan, bahwa pada setiap masa memiliki mode kekuasaan, dan kekuasaan tersebut menunjukkan adanya potensi subversi. Bahkan menurutnya, subversi dibutuhkan oleh kekuasaan untuk menunjukkan bahwa kekuasaan tampak berkuasa. Pada tulisan ini Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dengan episteme pada masa tertentu melalui teks sastra (Brannigan, 1998: 8). Maka, new historisisme menggunakan teks sastra sebagai akses atau jalan untuk memasuki representasi yang mendominasi pada masa lampau. Greenblatt berpendapat, dalam merespon seni dari masa lampau, kita secara tidak terelakkan apakah kita mengharap atau tidak perubahan nilai dan berkaitan dengan kekuasaan, seni diproduksi dalam relasi perjuangan sosial dan kehidupan yang politis. Gerakan emansipatif new historisisme ini berimplikasi pada analisisnya yakni dengan menggunakan beragam teks baik yang minor atau remeh temeh maupun yang sumber resmi atau mainstream, sumber sejarah resmi atau sumber lisan, undang-undang dan sumber informasi lainnya, dokumen hukum, undang-undang, jurnal, cerita perjalanan, dan lainnya, dan dengan tidak membedakan teks sastra canon atau tidak. Maka, dalam hal ini new historisisme berhasil membuka kesempatan baru dalam pemikiran mengenai sastra dalam relasinya dengan sejarah dan politik, yang dengan demikian tidak hanya membuka interpretasi dan pembacaan antara sastra dan karakteristiknya pada suatu periode tertentu, tetapi juga membuka kajian interdisipliner sastra.

Pada tahun 1988 Greenblatt mempublikasikan Shakespearean Negotiation, di dalam ia lebih memilih menggunakan istilah ‘energi sosial’ daripada ‘kekuasaan’ (power) yang Foucauldian. Menurutnya, kekuasaan berimplikasi pada kesatuan struktural dan stabil, tetapi dalam praktiknya lebih mengarah pada keberagaman dan keacakan bentuk operasi dan produksi kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan, praktik-praktik kultural kesenian dalam pandangan Greenblatt merupakan bagian dari jaringan relasi dan fungsi sosial, dan kemudian mesti memperlakukannya dalam relasi praktik-praktik sosial dan kultural yang lebih luas, yang dalam implikasinya tidak stabil, sehingga energi sosial dalam mode dominasi ditinjau kembali melalui spesifikasi sosial dan posisi kultural yang spesifik.

Konsep anekdot digunakan Greenblatt dalam tulisan “The Touch of the Real” (2005) yang mempersoalkan representasi atau penggambaran diri (konstruksi imaji) pada masa lampau yang dilakukan pada masa kini. Konsep ini diadopsi Greenblatt (2005: 31-34) atas penafsirannya mengenai narasi pencurian domba dan tekstualitas antropolog (atau sejarawan) dalam menceritakan suatu budaya tertentu, yang ditulis oleh Geertz di dalam Interpretation of Culture (1973). Dalam analisis yang dikembangkannya, bahwa tekstualitas atas narasi kultural tersebut merupakan suatu ‘acted document’, dengan mengasumsikan adanya suatu perilaku simbolik (symbolic behavior) dalam narasi tersebut. Sehingga Greenblatt menyimpulkan bahwa diskursus antropologis dan tekstualitas narasi seperti halnya dengan fiksi, yang berakar pada penciptaan, penceritaan, penggambaran, penyusunan, dan penulisan (2005: 35).

Greenblatt kemudian mengarahkan analisisnya pada teks sastra dan sejarah—seperti misalnya analisisnya terhadap buku Mimesis-nya Auerbach, karya-karya Balzac, untuk menunjukkan anekdot tersebut, untuk menjelaskan signifikansi perbedaan antara representasi suatu narasi pada masa lampau yang ditulis atau dibaca pada masa kini, sebagai sesuatu yang fragmented dan paradoks, antara realitas dan representasi, antara suatu karya (teks) yang dituliskan dan dunia yang sebenarnya. Tulisan Greenblatt ini kemudian dipublikasikan kembali dalam Practicing New Historicism (2000) pada bagian pertama, sedangkan pada bagian kedua Gallagher melalui tulisan “Counterhistory and the Anecdote” menambahkan pandangannya mengenai konsep anekdot. Gallagher mencoba menjelaskan komitmen pada partikularitas dan anekdot dalam konteks historiografi. Menurut Gallagher (2000: 49-50), anekdot merupakan efek atau respon dari bentuk totalisasi dan generalisasi sejarah atau narasi historis. Baik Greenblatt maupun Callagher dalam hal ini lebih memperhatikan new historisisme pada lima aspek, yakni pada: 1) penggunaan anekdot, 2) penggunaan representasi, 3) tertarik dengan sejarah dari rangkaian atau gugusan, 4) memperhatikan pada hal-hal kecil yang diabaikan, dan 5) analisis ideologis secara skeptis.

Konsep anekdot narasi historis Greenblatt dalam tulisan “Touch of the Real” tersebut sebenarnya berkaitan dengan konsep demistifikasi New World atau representasi orang-orang Eropa dalam buku Marvelous Possessions (1991), dan terpaut dengan tulisan “Resonance and Wonder” (1990). Dalam tulisan “Resonance and Wonder” Greenblatt memeriksa keadaan historis (masa lampau) suatu teks diproduksi dan dikonsumsi dengan relasinya pada keadaan kekinian. Relasi kekinian tersebut, menurut Greenblatt, tidak terhindarkan. Dan, hal itu merupakan suatu intervensi terhadap masa lampau. Istilah ‘resonansi’ digunakan Greenblatt untuk menyebut keterpautan (pembacaan) dan intervensi (dalam penafsiran dan penulisan) tersebut. Sedangkan ‘wonder’ atau daya tarik terhadap adanya kekuatan (resonansi) yang merupakan gema dari produk atau budaya Barat. Greenblatt memberikan contoh pada keindahan karya-karya Shakespeare dengan relasi dialogis pada masa lampau dan masa kini.

Belakangan pada tahun 2010 Greenblatt melanjutkan konsep narasi historis atau travel writing dengan konsep barunya: mobilitas kultural, melalui suatu manifesto dalam buku The Cultural Mobillity: A Manifesto (2010: 250-253). Manifesto pertama, bahwa mobilitas mesti dipahami dalam pengertian literal. Pemahaman ini melanjutkan gagasan mengenai tekstualitas dan pandangan metaforis terhadap objek analisisnya: suatu fenomena kultural dipahami sebagai suatu teks. Kedua, bahwa mobilitas mengungkap sesuatu yang tersembunyi, baik itu suatu gagasan, kepentingan ideologis, pencitraan atau penggambaran dari suatu teks dengan mengkaji bentuk-bentuk mekanisme kulturalnya. Ketiga, mobilitas mengidentifikasi dan menganalisis zona yang saling berhubungan (‘contact zones’), yakni suatu tempat dimana barang-barang dipertukarkan, suatu pertukaran produk kultural yang beroperasi diantara agen individu, kelompok, institusi, atau masyarakat yang saling interkoneksi satu sama lain dalam suatu perbedaan budaya.

Manifesto keempat Greenblatt dalam buku tersebut adalah, bahwa mobilitas terjadi di dalam ketegangan antara agen individual dengan pembatasan struktural. Determinasi struktur dan kontrol sosial memungkinkan (memaksa) individu melakukan suatu tindakan dan membuat strategi. Ketegangan antara keduanya itulah yang menjadi kajian Greenblatt. Kelima, mobilitas mengkaji sensasi yang mendasar. Tidak mungkin mengkaji mobilitas tanpa juga memahami hal-hal yang statis atau hal-hal yang dapat membatasi mobilitas. Mobilitas seringkali dianggap sebagai suatu ancaman oleh tradisi, kepercayaan, ritual-ritual dan otoritas tertentu yang sudah mapan (established) pada suatu budaya tertentu—budaya yang oleh Greenblatt dipahami bersifat lokal (tidak global atau universal), partikular pada ruang dan waktu yang spesifik. Ancaman dan upaya menghadapinya menjadi kajian mobilitas kultural. Dengan demikian, mobilitas tetap mengkaji kondisi dimana dominasi dan resistensi dalam merespon kemapanan budaya atau terjadinya suatu perubahan dan perbedaan budaya.

Konsep-konsep Greenblatt tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam suatu bingkai new historisisme, yang sering disebut dengan puitika kultural. Secara garis besar Veeser (1989: xi) merumuskan asumsi-asumsi new historisisme: 1) bahwa setiap tindakan ekspresif lekat di dalam suatu jaringan praktik-praktik (budaya yang bersifat) material; 2) bahwa setiap tindakan pengungkapan, kritik, dan perlawanan mesti akan menggunakan perangkat-perangkat dari yang ditentangnya, dan oleh sebab itu akan terjebak pada praktik sama; 3) bahwa relasi teks sastra dan non-sastra tidak dapat dipisahkan (dalam pembacaan kritis); 4) bahwa tidak ada diskursus baik fiksi atau faktual yang memberikan akses pada kebenaran mutlak yang tidak berubah-ubah ataupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan di dunia; dan 5) akhirnya, bahwa suatu metode kritis dan bahasa cukup memadai untuk mendeskripsikan kebudayaan ekonomi kapitalisme.

Kesimpulan Veeser di atas terlalu umum, yang memang hanya berupa asumsi paradigmatik mengenai relasi fungsional antara teks sastra dan non-sastra. Hal ini jika dibandingkan dengan kesimpulan Payne dalam The Greenblatt Reader (2005: 3), bahwa new historisisme merupakan suatu kumpulan praktik dari pada suatu metode atau teori akademisi, dan lebih lanjut Payne mencoba merumuskannya: 1) new historisisme memandang bahwa budaya merupakan suatu sistem semiotik, sebagai suatu jaringan tanda; 2) new historisisme menentang hegemoni disiplin ilmu pengetahuan, dan mengarahkannya pada studi interdisipliner yakni dalam upaya penemuan dan pembangkitan suatu pengetahuan baru; 3) new historisisme selalu menyadari bahwa sejarah merupakan gabungan dari apa yang terjadi (suatu rangkaian peristiwa) pada masa lampau dengan dari suatu laporan atau cerita mengenai peristiwa tersebut, dengan kata lain bahwa kebenaran historis muncul (dapat dicapai dengan) dari suatu refleksi kritis atas suatu cerita yang dikatakan; 4) sejarah pada awalnya suatu ragam dari diskursus, yang tidak menyangkal bahwa peristiwa yang nyata memang ada dan pernah terjadi; 5) kekhasan cara yang dilakukan new historisisme ialah dimulai dengan peristiwa yang ‘menarik’ atau anekdot, yang efeknya dapat membangkitkan skeptisisme tentang narasi besar historis atau mengutamakan deskripsi suatu periode sejarah tertentu (semisal masa Renaissans); 6) new historisisme dengan dapat dipastikan mencurigai keutuhan, ketunggalan penggambaran budaya atau periode sejarah, memandang bahwa adanya pandangan dunia yang tidak terbilang pada suatu periode tertentu (misalnya mitos besar dan tunggal diciptakan untuk melayani suatu kepentingan tertentu pada masa tertentu); 7) memahami sejarah dengan satu perspektif adalah tidak mungkin, sebab semua sejarah tergantung pada waktu masa kini atau kekinian, waktu dimana seseorang terkonstruksi; 8) new historisisme secara implisit mengkritik formalisme (atau new kritisisme) yang memperlakukan objek sastra sebagai suatu benda mati yang ahistoris. New historisisme memprioritaskan pemeriksaan kembali relasi antara sastra dan sejarah; 9) new historisisme menentang bahwa teks sastra sebagai objek yang otonom, yang terlepas dari pengarangnya dan pembacanya, maka masa lampau sebagai suatu objek tidak dapat dilepaskan dari rekonstruksi tekstualnya; 10) dalam studi sastra sejarah bukan hanya sebagai background sastra atau seni, tetapi sastra dan sejarah saling interkoneksi, yang pengaruh-mempengaruhi dan saling menutupi. Maka, sastra dan sejarah dalam pandangan new historisisme mesti dilihat sebagai disiplin yang dianalisis secara bersamaan atau bolak-balik (Geertz dalam thick description menyebutnya dengan pembacaan pararel) yang menempatkan seluruh teks dalam suatu pengkajian untuk mengungkap suatu keberagaman pandangan dan kebenaran dalam masa lampau.

Dengan demikian, dari uraian di atas, dapat ditambahkan bahwa new historisisme atau puitika kultural merupakan pendekatan untuk analisis sastra yang dipahami sebagai praktik interpretasi yang masih dalam proses yang secara terus-menerus mendefinisikan dan menyusun tujuannya, filosofinya, dan praktiknya. Sebab, teks adalah suatu lahan perebutan atau medan pertempuran (battleground) dari persaingan gagasan diantara pengarang, masyarakat, kebiasaan, institusi, dan praktik sosial yang semua itu bernegosiasi dengan pengarang dan pembaca dan pengaruh dari episteme (Bressler, 2002: 187). Sejak pembaca atau kritikus dipengaruhi oleh budaya dimana mereka hidup, baik pembaca ataupun kritikus tidak dapat terasing (atau lepas dari) pengaruh publik dan budayanya sendiri. Dengan demikian, setiap pembaca atau kritikus akan mencapai sebuah interpretasi yang unik dari sebuah teks dan pembacaan akan semakin beragam, interpretasi akan terus-menerus dilakukan dan tidak pernah berhenti pada satu kebenaran yang mutlak. Hal ini seiring dengan semangat postmodernisme dan gejala overproduksi dalam kesusastraan kita, dimana banyaknya teks sastra diproduksi mestinya sejalan dengan praktik analisis dan interpretasi terhadapnya. []

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Basral, Akmal Nasery. “Perlunya Keluwesan Menakar Novel Sejarah.” Republika, 26/9/2010.
Brannigan, John. 1998. New Historicism and Cultural Materialism. London: Macmillan Press Ltd.
Bressler, Charles E. 2002. Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice. 3rd ed. New Jersey: Houghton College.
Gallagher, Catherine. 2000. “Counterhistory and the Anecdote” dalam Practicing New Historicism, London & Chicago: The University of Chicago Press.
Greenblatt, Stephen. 1980. Renaissance Self-Fashioning: From More to Shakespeare. Chicago & London: The University of Chicago Press.
_________. 1981. “Invisible Bullets: Renaissance Authority and its Subversion”. Glyph 8. p. 40-61.
_________. 1982. “Introduction: The Form of Power”. Genre 7. p. 3-6.
_________. 1988. Shakespearean Negotiations: The Circulation of Social Energy in Renaissance England. Berkeley & Los Angeles: University of California Press.
_________. 1990, “Resonance dan Wonder” dalam A Literary Theory Today (Peter Collier & Helga Geyer-Ryan, ed.) Cambridge: Polity.
_________. 1995. “Culture” dalam Critical Terms for Literature Study. (Frank Lentricchia & Thomas McLaughlin, ed.) Chicago: University of Chicago Press, 225-32. Rpt. in Contexts for Criticism (Donald Keesey, ed.). 3rd edition. Mountain View, CA: Mayfield, 1998. p. 477-92.
_________& Gallager, Catherine, 2000, Practicing New Historicism, London & Chicago: The University of Chicago Press.
_________. 2005. “The Touch of the Real” dalam The Greenblatt Reader (Michael Payne, ed.). p.30-50.
_________. 2010. “A Mobility Studies Manifesto” dalam The Cultural Mobillity: A Manifesto.(Greenblatt, et al.) New York: Cambridge University Press. p.250-253.
Irawan NM, Aguk. “Novelisasi Sejarah, antara Sastra dan Pelecehan Sejarah” NU Online. 25/11/1012.
Oemar, Priyanto. “Keluwesan Sang Pencerah.” Republika. 5/9/2010
Payne, Michael. 2005. “Introduction: Greenblatt and New Historicism” dalam The Greenblatt Reader (Michael Payne, ed.). p.1-7.
Permana, Aan Merdeka. 2013. “Novel Sejarah Sunda Mencari Jejak yang Tidak Pasti” dalam Memori dan Imajinasi Nusantara. Magelang: Samana Foundation. p.212-229.
Veeser, H. Aram. 1989. “Introduction” dalam The New Historicism (H. Aram Veeser, ed.). New York & London: Routledge. p.ix-xvi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Halo! Jika Anda ingin belanja buku atau ingin menanyakan sesuatu tentang penerbitan dan percetakan, silakan klik! Terimakasih.

Chat kami melalui WhatsApp