Seni Baca di Perpustakaan Imajiner Jorge Luis Borges dan (Antara Lain) Sastra Fantasi

 

Oleh: Hasif Amini

Di hari tuanya, di antara pelbagai penghargaan (yang datang agak terlambat) dari sejumlah penjuru dunia dan kebutaan yang telah menyeluruh di kedua matanya, Borges masih juga mengenang kesunyian ruang perpustakaan milik ayahnya: perpustakaan yang mengasuh dunia imajinasi Georgie (demikianlah panggilan kecilnya) sampai usia remaja. Di sana, di antara “deretan buku berbahasa Inggris yang tak terhingga” (dalam ingatannya), Georgie menghabiskan sebagian besar waktu bermainnya dengan menjelajahi wilayah khayali dari sekian khazanah kesusastraan dunia, bacaan yang berangsur mengalami metamorfosis hingga pada gilirannya tertumpah menjadi tulisannya yang mencengangkan. Lahir di Buenos Aires, Argentina, 1899, Georgie yang berperawakan ringkih dan berkacamata minus itu, di kemudian hari dikenal dan dikenang sebagai Jorge Luis Borges: penulis ficciones, cerita setengah esai berukuran mini yang ganjil, rumit dan jernih; yang membawa pengaruh cukup besar ke dalam arus pemikiran dan praktek sastra di paruh kedua abad ke-20 ini. Sastrawan yang disejajarkan —menurut novelis John Barth’ bahkan “melampaui”— sosok macam Franz Kafka dan James Joyce. Sejak awal, riwayat Georgie memang sebuah riwayat ketidaklaziman. Di Argentina yang berbahasa Spanyol, Georgie justru lebih dahulu mengenal (dan menggunakan) bahasa asing, Inggris, yang diajarkan neneknya yang asal Inggris. Baru kemudian ia memperoleh bahasa Spanyol. Sehingga aneh—misalnya begini: Don Quixote karya Cervantes pertama kali dibacanya dalam terjemahan Inggris; beberapa tahun kemudian ia membaca versi aslinya (Spanyol), dan merasa “membaca sebuah terjemahan yang buruk”. Tak terlalu mengherankan bahwa kemudian ia berpikiran bahwa setiap penulis “menciptakan sendiri pendahulunya” dan “mempengaruhi masa silam sebagaimana mempengaruhi masa depan”.

Di awal karir sastranya, di usia 20-an, Borges adalah seorang penyair yang berangkat dengan puisi-puisi yang merayakan dunia lokalnya— Buenos Aires—dengan penuh gelora dan luapan metafora. Ketika itu ia baru saja kembali dari Eropa. Selama 1914-1918 ia menjalani sekolah menengah di Jenewa, Swiss, memperoleh tambahan tiga bahasa (Perancis, Latin, Jerman), memperluas pergaulan dengan beragam bacaan sastra serta filsafat dari pelbagai penjuru. Di sanalah ia mulai menyusuri subjektivisme Berkeley dan Hume, voluntarisme Schopenhauer dan Nietzsche, prosa De Quincey, Chesterton, Kipling, serta karya-karya kaum simbolis dan impresionis Perancis (Remy de Gourmont, Verlaine, Mallarme, Valery) yang tak pernah lagi ditinggalkannya.

Selama 1919-21 ia menetap di Spanyol, dan bergabung dengan sebuah gerakan sastra garda-depan: ultraismo. Gerakan ini—sebuah gugusan yang relatif kecil dibandingkan dengan, misalnya, modernismo (Ruben Dario, Juan Ramon Jimenez, Federico Garcia Lorca) yang berpengaruh luas—tampaknya lebih tertarik untuk menggedor dan mengejutkan sekitarnya dengan semacam interupsi estetik, sambil mengumpulkan secara eklektik pikiran dari sejumlah gerakan garda-depan pendahulunya. Para penyair muda ultrais itu (antara lain Rafael Cansinos-Assens dan Guillermo de Torre) sebenarnya pernah menerima pengaruh surealisme, imajisme, futurisme dan Dada. Bersama mereka, yang berhimpun di sekitar dua majalah sastra Grecia dan Ultra, Borges banyak terlibat diskusi yang rutin dan bersemangat.

Beberapa prinsip ultraismo, oleh Borges diringkaskan sebagai berikut. Pertama, reduksi atas puisi lirik hingga ke unsur dasarnya, yakni metafora. Kedua, penghilangan kata atau frase penghubung, juga kata sifat yang berlebihan. Ketiga, penghancuran unsur ornamental, pengakuan otobiografis, kesekitaran, gaya khotbah serta kekaburan yang disengaja. Keempat, pemadatan beberapa imaji sekaligus menjadi satu imaji, demi memperbesar kemampuan sugestifnya. Ditambahkannya, “Pendapat yang melihat kata tidak sebagai jembatan bagi gagasan tetapi sebagai tujuan atau sesuatu pada dirinya sendiri, menemukan kulminasinya dalam ultraisme.” Meski Borges kemudian bergerak dalam pelbagai kemungkinan literer, prinsip ultraisme membekas begitu dalam pada dirinya. Sekembalinya ke Buenos Aires, di awal 1920-an, Borges memperkenalkan pikiran-pikiran ultraisme, bersama sejumlah kawan barunya, dimulai dengan “majalah” Prisma, yang ditempelkan secara gerilya di tembok-tembok seantero ibukota Argentina itu. Usaha ini mendapat sedikitnya dua macam sambutan. Pertama (biasa mereka dapati beberapa hari setelah penempelan), “majalah” (tepatnya: poster) itu telah dikoyak pembaca yang mungkin menjadi bingung akan karya-karya aneh itu; kedua, sambutan dari Alfredo Bianchi, redaktur kepala suatu majalah yang sudah mapan di Argentina saat itu, Nosotros, yang kebetulan lewat membaca dan ternyata tertarik menerbitkan puisi-puisi mereka. Bianchi meminta Borges menyertakan tulisan tentang ultraisme, bagi pembaca majalahnya. Maka mulailah Borges aktif sebagai penulis di lingkungan jurnalisme sastra di Buenos Aires. Tahun berikutnya ia ikut menerbitkan majalah Proa, lalu Martin Fierro, dan kemudian membantu jurnal Stir. Yang terakhir ini, didirikan oleh penulis Victoria Ocampo, sejak terbit menyumbangkan pengaruh cukup besar dalam perkembangan sastra Argentina (dan umumnya Amerika Latin) modern, dengan isinya yang progresif.2

Dari periode formatif ini pula mulai bersemai benih gagasan literer yang kelak menemukan kematangannya ketika Borges mulai menuliskan “fiksi”-nya. Meskipun kemudian ia menolak pendirian ekstrem ultraisme, sesungguhnya ia tak pernah benar-benar meninggalkan kepercayaan terhadap metafora. Ia kemudian menulis: “Bagi orang beriman, segala sesuatu adalah pernyataan firman Tuhan—pertama cahaya diberi nama lalu ia memancar ke seluruh alam raya. Bagi seorang positivis, segalanya adalah keniscayaan dalam sebuah sistem yang saling berkaitan.  Metafora, dengan menghubungkan objek-objek yang terpisah berjauhan, mendobrak kedua jenis kekakuan itu.” Jauh di kemudian hari, ia bahkan membuka sebuah esainya yang terkenal “Butiran Pascal” dengan kalimat ini: “Barangkali sejarah semesta adalah sejarah beberapa butir metafora saja.”

Metafora, lebih dari pada sekadar gaya, adalah juga persoalan cara pandang, cara memahami dunia. Metafora, dalam kata-kata Herbert Read, “merupakan pernyataan suatu gagasan kompleks, tidak dengan analisis, atau ungkapan langsung, melainkan dengan persepsi seketika atas suatu relasi objektif.”3 Dengan menarik, bahkan membaurkan dua (atau lebih) wilayah pengalaman ke dalam suatu relasi baru, metafora mengaktifkan imajinasi mencari nuansa-nuansa pengertian dan membuka kemungkinan pemaknaan yang lebih leluasa serta bineka. Dan barangkali metafora memang cara yang asali dalam mendekati dunia: kita mengenai kenyataan pertama-tama bukan lewat abstraksi melainkan lewat benda konkret yang mendapat perhubungan hidup dalam pikiran kita. Jangan-jangan kita sesungguhnya tak pernah lepas, tak mungkin menghindarkan diri dari metafora. Sebab menyebut, misalnya, cahaya sebagai partikel atau gelombang (seperti yang dibuktikan kaum fisikawan) tak lain adalah menggunakan metafora: kita mendekati sesuatu yang tak kita ketahui pasti dengan memakai istilah, imaji, atau asosiasi dengan benda yang lebih dekat dan mudah dibayangkan.

Karya-karya Borges agaknya bisa dipahami sebagai pengajuan sejumlah metafora dalam arti ini. Metafora sebagai kendaraan untuk menjelajah ke wilayah ufuk pemikiran atau persoalan tapal batas: hakikat penciptaan, keberadaan, ruang-waktu, ketakterhinggaan dan kekekalan, asal-usul dan tujuan terakhir. Anthony Kerrigan dalam pengantar untuk antologi Ficciones edisi Inggris (1962) menyatakan: “Karya Jorge Luis Borges adalah suatu spesies metafora internasional. Ia dengan cerdik melakukan  transfer atas makna-makna yang diturunkan dari bahasa Spanyol dan Inggris, Perancis dan jerman, serta mempertemukan sederet analogi, pertentangan, keterangan dalam pelbagai khazanah kesusastraan lain… Tetapi, barangkali, makna yang disampaikannya justru terkandung dalam nada khidmat ketika ia mengajukan pertanyaan-pertanyaannya yang kekal dan tiada betjawab.”4

Borges, yang sejak mula memang memperlihatkan kecenderungan kuat ke arah filsafat, rupanya senantiasa terusik (atau terpukau) oleh soal-soal metafisik dan mistik yang berdekatan dengan kutub-kutub terjauh hal-ihwal itu. Dengan fiksi-fiksi pendeknya, ia seakan membangun (atau hanya merefleksikan) suatu dunia yang menyerupai alam sub-atomik: ketika keacakan berkuasa, ketika dua pernyataan yang bertentangan bisa sama-sama benar, ketika jalannya peristiwa bergantung pada persepsi yang menyertainya.” Dalam pengalaman pikiran manusia, kenyataan semacam ini adalah momen kreatif ataupun kegilaan, trance mistis ataupun waham, yang menghadirkan tidak hanya keanehan dan misteri namun juga keluasan kemungkinan yang sulit didekati dengan definisi atau kategori yang tetap karena sifatnya yang pelik dan bisa berubah-ubah. Metafora menjadi tak terelakkan, bukan semata karena besarnya lingkup persoalan sehingga dibutuhkan instrumen kognisi yang akomodatif dan leluasa, namun juga karena keunikan susunan persoalan yang dijelajahi, sehingga (sebagaimana mestinya) yang berkembang bebas terlebih dulu adalah ekspresi bahasa figuratifnya.

Ketika Borges mengatakan bahwa segala usaha manusia untuk memahami alam semesta dan dirinya sendiri adalah “fiksi”, kita bisa juga membacanya dengan suatu pembalikan: bahwa fiksi adalah usaha manusia untuk memahami. Segenap mitologi, keyakinan, ilmu pengetahuan, atau ideologi, adalah fiksi demi hadirnya rasa ketetapan yang cukup untuk tertib kehidupan. Namun pada ekstrem lain, manusia tetap saja teramat gamang dengan diri dan semestanya. Metafora agaknya mengantarai kedua esktrem ini, dengan membuahkan susunan makna, karena ia terbuka untuk pelbagai kemungkinan transfigurasi.

Gagasan tentang pemadatan imaji—juga warisan dari ultraisme—tampak membekas dalam karya-karya Borges yang bermunculan kemudian, meskipun itu tak lagi dipraktekkan secara ekstrem. Borges mengisahkan fiksinya dengan pilihan ungkapan yang singkat, intens dan padat; mengerahkan beragam kemungkinan ekspresi namun sering dengan perbedaan nuansa yang amat subtil, bukan lagi suatu pameran extravaganza penuh ledakan metafora. Dan bentuk mini fiksinya adalah implikasi lain yang tak dapat diceraikan dari pandangan ini. Dalam manifestoultrais yang dibuatnya untuk majalah mural Prisma di awal 1920-an, ia (dengan kemudaan yang menggebu) menyerang penulis “tradisionalis” yang memerlukan beratus-ratus lembar atau bait hanya untuk mencapai sebaris ungkapan yang benar-benar bagus dan absah. Dua puluhan tahun sesudahnya, dalam pengantar untuk antologi Taman Jalan Setapak Bercecabang (1941) Borges menulis: “Penulisan buku yang panjang adalah sebentuk kemewahan yang menyengsarakan dan sukar. Berlarat larat sepanjang lima ratus halaman memperkembangkan gagasan yang penuturannya secara sempurna dapat dilakukan dalam hanya lima menit!”6

Fiksi, Main-main 

Tergerak oleh gagasan, terpesona oleh metafora, tak suka berpanjang-panjang dengan kemubaziran verbal, Borges pun menulis ficciones, “fiksi-fiksi”. Inilah kisah-kisah pendek yang lebih merupakan proposal suatu metafora, atau penawaran perspektif alternatif atas suatu persoalan, atau pelontaran pertanyaan-pertanyaan, atau cukup hanya permainan gagasan. Memang, baginya, sastra adalah “main-main” (ya: permainan kompleks dan serius), ia menulis demi keasyikan menulis itu sendiri. Soal orisinalitas ia tak peduli amat. Dengan santai bahkan sengaja ia memasukkan aneka pengaruh yang melahirkan karyanya. Kadangkala ia menuliskan kembali cerita-cerita yang pernah ia dengar dari teman-temannya atau siapa saja, sebab, katanya “Penemuan atau penciptaan hanyalah membaurkan ingatan.” Ia tidak yakin bahwa kita mampu “mencipta sebagaimana halnya Tuhan mencipta dunia.” Dalam kepengarangan ia memang tak mempercayai orisinalitas, dan cenderung menganggapnya sebagai ilusi belaka. Secara ekstrem ia bahkan menyatakan betapa segala sesuatu sesungguhnya ditulis hanya oleh seorang pengarang, “seorang gentleman yang maha tahu, anonim, dan baka.” Sehingga ia sampai kepada kesimpulan yang lain lagi: tentangaku yang impersonal, yang ada pada semua orang, sebagai penulis maupun sebagai pembaca maupun sekaligus keduanya. “Pada puncak senggama yang memusingkan, seseorang adalah semua orang; setiap orang yang mengulang sebait karya Shakespeare ialah Shakespeare,” demikian tulisnya dalam cerita “Tlon, Uqbar, Orbis, Tertius.” Membuka cerita “Tema Pengkhianat dan Pahlawan”, setelah menukil sajak W.B. Yeats”The Tower, “Borges menulis:

“Di bawah pengaruh Chesterton (perangkai misteri elegan) dan Leibniz sang penasehat (pembangun harmoni yang sudah tegak sebelumnya), di hari-hari santai saya membayangkan alur cerita yang mungkin akan saya tulis pada saatnya nanti, yang dalam arti tertentu sudah terlebih dulu memberi saya suatu justifikasi untuk memulai. Segenap detail, perbaikan atau penyesuaian belum diadakan; ada beberapa bagian-dari cerita ini masih gelap bagi saya; hari ini, 3 Januari 1944, saya melihatnya sebagai berikut:”

Borges jarang sekali menggarap karakterisasi. Di masa mudanya ia pernah menghujat psikologisme sebagai sesuatu yang usang. Di kemudian hari ia mengutip Leon Bloy: “Tak seorang pun di muka bumi ini benar tahu siapa dirinya sesungguhnya. Tak seorang pun tahu untuk apa ia ada, ke mana hubungan segala pikiran, perasaan dan tindakannya, atau siapa namanya yang sesungguhnya.” Manusia bukan disakralkan, dengan tak disentuh, dalam karya Borges; melainkan tak disederhanakan, mungkin dengan cara dibiarkan. Manusia itu seperti manusia dalam lukisan Cina, ia bukan sesuatu yang mendominasi keseluruhan, tetapi sesuatu yang hadir sebagai salah satu unsur di antara segenap unsur alam lainnya. Dan sekaligus inilah salah satu keyakinan Borges (kalaulah ia memiliki sesuatu yang disebut keyakinan): cara paling efektif untuk menyembunyikan sesuatu adalah dengan menonjolkannya secara benar-benar mencolok dan terus-menerus sehingga orang tidak lagi mencermatinya; demikian pula cara paling efektif untuk menonjolkan sesuatu adalah menyembunyikannya sehingga orang mencarinya. Ketika dalam suatu kesempatan Borges ditanya “Apa tanggung jawab seorang pengarang?” Ia menjawab, “Penciptaan karakter.” Padahal Borges amat jarang menonjolkan karakter, unsur naratif yang rupanya demikian dipentingkan dalam sejarah kesusastraan. Ia tampaknya merasakan beban itu, dan kecenderungannya terhadap permainan gagasan akhirnya lebih mendekatkannya kepada alur cerita (sebagai metafora perjalanan manusia), misalnya,  dan kesukaannya menelusuri nilai estetik katakata membawanya kepada eksplorasi gaya bercerita yang puitik dan penuh permainan kata, dari pada (meneruskan tradisi yang) menggarap karakter. Memang, bila penulis harus membawa tanggung jawab yang terus-menerus dengan penciptaan beragam karakter, bagaimana ia bisa melanjutkan bermain-main bebas dengan ceritanya? Agaknya Borges lebih memilih untuk membaca manusia, dan beberapa tema lainnya, meialui pelbagai metafora. Karakter adalah satu hal penting; dan tenia, alur, gaya, dan eksperimen atas semua itu, juga hal penting yang tidak perlu diabaikan.

Maka ia mengetengahkan, antara lain, labirin. Simbol tua ini, sejak ditampilkan pada pahatan batu prasejarah hingga di seni modern, telah hadir dalam pelbagai variasi bentuk maupun makna, terangkum dalam struktur mitologis masyarakat manusia dari pelbagai tempat di dunia ini. Oleh Borges, simbol ini diolah secara metaforis tidak cuma sebagai tema melainkan juga selaku teknik penceritaan, perkembangan narasi dihadirkan sebagai liku-liku menuju ke suatu “pusat” hakikat—misteri? atau kegalauan?—yang menyimpulkan atau justru memuncakkan segenap komplikasi yang berlangsung sepanjang alur cerita.

Sastra Fantasi

Sejak 1940, Borges, bersama kolaborator sastranya, Adolfo Bioy Casares dan Silvina Ocampo, memperkenalkan istilah sastra fantasi (literatura fantastica). Bagi mereka bertiga, fiksi fantasi “setua rasa takut, fiksi fantasi lebih tua daripada kesusastraan itu sendiri”. Sastra fantasi, bukan semata-mata menjelaskan karya-karya sastra lain, namun juga sastra mereka sendiri, khususnya Borges. Ia bahkan merinci lebih jauh “inti” sastra fantasi, yang mempunyai empat unsur kunci sebagai berikut: Pertama, karya di dalam karya, atau narasi di dalam narasi. Dalamwujud yang ekstrem, ia membentuk semacam regressus ad infinitum: karya yang membahas suatu karya yang juga membahas suatu karya lain dan seterusnya hingga tak terhingga. Sebagai teknik konstruksi naratif, ini tentu bukan barang baru. Dalam Don Quixote, misalnya, kita temui bagian ketika tukang cukur masuk ke perpustakaan Don Quixote, dan mendapati buku-buku yang salah satunya ialah Galatea karya Cervantes! Atau pada lakon Hamlet, di mana terjadi pertunjukan drama dalam salah satu adegan di istana.

Banyak karya Borges yang menunjukkan teknik/tema ini. Cerita “Tlon, Uqbar, Orbis Tertius,” mengisahkan sejarah lengkap sebuah planet imajiner bernama Tlon yang dipaparkan dalam Ensiklopedia Tlon. Borges bahkan bergerak lebih jauh dengan mencantumkan judul-judul fiktif yang ditulis oleh figur historis/empiris, dan juga figur fiktif. Bahkan “Pendekatan terhadap Al-Mu’tasim” ditulis seolah-olah suatu ulasan atas buku dengan judul tersebut, karya seorang ahli hukum di Bombay (India), Mir Bahadur Ali, padahal baik buku maupun pengarangnya ada hanya dalam imajinasi Borges. Dalam sebuah karya Borges yang lain, yang juga berpura-pura sebagai resensi buku, “Telaah atas Karya-Karya Herbert Quain,” sang narator mengkaji buku-buku fiktif karya penulis imajiner Herbert Quain.

Kedua, perasukan mimpi ke dalam kenyataan. Di sini terjadi peleburan antara fiksi dan fakta. Dalam “Tlon Uqbar, Orbis Tertius” terdapat negeri fiktif seperti Uqbar yang disusupkan ke dalam dunia nyata meialui sejilid ensiklopedia bajakan; juga benda-benda dari planet Tlon yang diam-diam merambah dan mengubah kehidupan di bumi. Dalam cerita “Reruntuhan Melingkar,” seorang rahib pagan tua mendatangi suatu reruntuhan kuil di tengah hutan, demi “memimpikan” sesosok anak lelaki yang kelak akan dimasukkannya ke dalam realitas; namun di saat terakhir ketika si anak sudah jadi, mendapatkan wujud tisiknya, rahib itu mulai menyadari bahwa ia juga mahluk ilusi yang diimpikan oleh orang lain.

Ketiga, perjalanan dalam waktu. Ini secara tersirat maupun tersurat dimunculkan oleh Borges meialui diskusi atas buku-buku kuno, di mana tak terjadi perpindahan ruang, melainkan perpindahan kognitif yang berlangsung dalam waktu. Borges secara khusus dan berulang membahas persoalan  waktu ini: memperhadapkan waktu linier yang direkayasa dunia modern, dengan waktu sirkuler (melingkar) yang bersifat mitologis. Perbedaan antara waktu objektif eksternal dan waktu subjektif digambarkannya dalam “Mukjizat Rahasia” di mana sang protagonis, Jaromir Hladik,  seorang penulis, berusaha menyelesaikan karya terakhirnya selama masa penantian eksekusi yang telah ditentukan oleh tentara Nazi. Hladik akhirnya menggarap dan merampungkan lakon drama itu di dalam pikirannya—pada celah waktu antara pekik komando penembakan dan letusan peluru: celah sedetik yang dalam pikirannya merentang menjadi setahun, dan persis ketika karyanya rampung, senapan meletus dan menewaskannya. Teknik dan/atau tema ini tentu telah lama ada. Misalnya karya H.G. Wells Mesin Waktu yang mengisahkan perjalanan ke masa silam dan masa depan; atau Perjalanan ke Bulan oleh Jules Verne. Tetapi Borges selalu lebih menekankan perjalanan metafisik dalam waktu.

Keempat, kembaran (the double), yang oleh kritikus Gene Bell Villada7 dirumuskan sebagai “pembauran atau semacam penggandaan identitas tokoh.” Dalam “Bentuk Pedang” seseorang menceritakan seorang pengkhianat yang di akhir cerita diketahui ternyata adalah dirinya sendiri. Sejumlah kritisi melihat bahwa teknik/tema kembaran ini digunakan Borges untuk menerangi persoalan pribadinya yang terbelah oleh dua kultur (bahasa) yang berlainan: antara Spanyol dan Inggris, antara akar pribumi Argentina dalam silsilah dirinya dan dengan pengaruh literer Eropa dalam karyanya. Juga pergelutan psikologis menegangkan antara diri Borges yang terlibat penuh di dunia sastra yang kurang-lebih abstrak dengan jalur silsilah leluhurnya yang kebanyakan para perwira pejuang, men of action; ini dilukiskan secara metaforis dalam cerpen “Selatan.”

Melalui sastra fantasi metafisiknya, Borges tampaknya mengibaskan realisme psikologis dan memasuki aras mitologi universal. Ia berusaha memperlihatkan “kondisi heroik dan tragik manusia sebagai pemimpi sekaligus impian itu.” Di sinilah kita menemui simpul pemikiran Borges tentang makna “fiksi,” suatu pengertian yang diperluasnya sedemikian rupa, mencakup segala yang ia lakukan dan—inilah—kita semua lakukan. Bahwa segala upaya manusia untuk memahami (yakni mengendalikan) alam semesta yang tak-terpahami adalah semata-mata fiksi, sebuah plot besar dengan pelbagai variasi yang berujung (atau kembali)  pada khaos atau misteri. Kita mencari pusat labirin raya, dan mungkin tersesat, kepergok dinding buntu, atau merasa berada di jalur yang niscaya benar, atau seperti memperoleh ilham, dan sebagainya; kita mungkin sia-sia namun bersikeras atau memang tidak punya pilihan lain kecuali melakukan perjalanan “fiktif” ini. Di sinilah pula, melalui pengamatan Octavio Paz,” kita dapati Borges yang berkecondongan puitik dan metafisik, yang berpangkal pada temperamen skeptis sekaligus spekulatif: yakni ketika prosa berbaur dengan puisi, nalar dengan fantasi. Dan jika sastra memiliki hanya dua tema—manusia vis-a-vis sesamanya; manusia berhadapan dengan alam semesta dan dirinya sendiri—maka fiksi Borges bergerak terutama di kawasan kedua. Bahkan sesungguhnya dengan hanya satu tema: waktu, berikut seluruh upaya kita yang berulang-ulang hendak menghapuskannya. Meialui sekian variasi dan repetisi yang nyaris obsesif, Borges terus mengeksplorasi tema tunggal itu: manusia yang tersesat di labirin waktu yang terbuat dari perubahan, yakni pengulangan; manusia yang bersolek di hadapan cermin kekekalan yang sentosa.

Ketenaran Rahasia

Borges berbelas kali dicalonkan untuk Nobel Sastra (tentu saja, sebelum ia meninggal di tahun 1984). Bahwa ia tak pernah mendapatkannya: mengherankan dan tidak. Mengherankan, sebab Borges adalah seorang sastrawan yang besar pengaruhnya dalam praktek literer di beberapa belahan dunia, tak hanya di negaranya. Ia disebut-sebut sebagai sastrawan pertama dari Amerika Latin yang mempengaruhi pemikiran Eropa Daratan. Ia mengilhami (kalau tidak mempengaruhi) para penulis semacam Umberto Eco, Michel Foucault, dan Danielo Kis. Ia bahkan mempengaruhi terbentuknya sebuah teori kesusastraan yang berorientasi kepada resepsi pembaca, sebagaimana dikembangkan Gerard Genette dan Harold Bloom. Sebuah karyanya, “Pierre Menard, Pengarang Don Quixote” mengisahkan seorang penulis abad ke-20, Pierre Menard, berniat menulis (bukan versi lain, melainkan) Don Quixote itu sendiri; dan sang narator memberi komentar betapa Menard, ketika ia ternyata menghasilkan bagian-bagian yang seluruhnya persis sama dengan Don Quixote Cervantes (abad ke-16), malah dalam arti tertentu meraih pencapaian literer yang melebihi Cervantes yang lebih dahulu menulis karya tersebut. Dalam sebuah esai, “Kafka dan Para Pendahulunya,” Borges menulis bahwa Kafka, dengan karya-karyanya, mempengaruhi para pendahulunya sebab membuat para pendahulunya dibaca secara lain oleh para pembaca kini dan yang akan datang. Kafka memperkaya kemungkinan tafsir atas teks-teks yang ditulis sebelumnya. Dengan demikian teks Kafka juga sesungguhnya dipengaruhi oleh pembacanya, yang memberi tafsir tertentu atas karyanya. “Pengaruh pembaca” atas penulis atau pendahulunya lebih lanjut juga menghancurkan otonomi seorang pengarang: ia tidak orisinal, sebab ia hidup di antara pelbagai teks yang sudah ada, yang akan berpengaruh dalam pembacaan terhadap karyanya. Tentang Nobel sastra itu, sikap Borges, seperti biasa, penuh ironi. Suatu hari misalnya, ketika untuk kesekian belas kalinya namanya terlewatkan dari para nominator Nobel Sastra, ia (yang saat itu kebetulan sedang berada di AS) berkata, kepada novelis John Barth yang tengah menemaninya, “Terima kasih. Saya lebih mensyukuri indahnya sore bersama Anda ini dibanding Nobel Sastra.” Suatu kali, ketika ia diberitahu bahwa karya-karyanya akan diterbitkan dalam edisi Pleiade (Perancis) yang prestisius dan terbatas hanya untuk karya-karya yang dianggap klasik (seperti Virgil, Goethe, Cervantes, Shakespeare, Tolstoy, Proust) Borges bergumam, setengah bersungguh-sungguh, “Ini lebih baik ketimbang Hadiah Nobel, bukan?” Dan dengan ironi yang tajam ia di kemudian hari berkata: “Di abad mendatang, ketika orang meneliti kesusastraan abad ini, nama-nama yang dikenal sebagai para sastrawan besar bakal berbeda, para pengarang cemerlang yang tersembunyi akan bermunculan, para pemenang Nobel Sastra akan dilupakan… Saya berharap, saya akan dilupakan…”[]

 

Esai ini diketik ulang dari Jurnal Kalam edisi 4 tahun 1995

Catatan:

  1. Pernyataan John Barth ini dikutip oleh Richard Burgin dalam pengantar untuk bukunya Conversations with Jorge

Luis Borges (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1969), hal. ix-xv.

  1. Lihat misalnya bab “Identity and Modernity: Literary and Cultural Developments II,” dalam Edwin Williamson,

The Penguin History of Latin America (London: Penguin, 1992), hal. 531-544.

  1. Dikutip oleh Robert Nisbet dalam “Metaphor,” Prejudices: APhilosophical Dictionary (Cambridge: Harvard University

Press, 1982), hal. 217-220.

  1. Pengantar Anthony Kerrigan dalam Jorge Luis Borges, Ficciones (New York: Grove Press, 1962), hal. 9-11.
  2. Baca Robert Wright, “Science,God and Man”, Time, 4 Januari 1993,hal. 38-43.
  3. PrologJorge Luis Borges untuk kumpulan Taman Jalan Setapak Bercecabang, yang dijadikan bagian pertamaantoiogi

Ficciones, hal. 15-16.

  1. Gene Bell-Villada, “Borges—Literature and Politics, North and South”, The Nation, 21 Februari 1976, hal. 213-217.
  2. OctavioPaz, “In Time’s Labyrinth” (terjemahan Charles Lane), The New Republic, 3 November 1986, hal. 30-34.
Tag

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Halo! Jika Anda ingin belanja buku atau ingin menanyakan sesuatu tentang penerbitan dan percetakan, silakan klik! Terimakasih.

Chat kami melalui WhatsApp