Toni Morrison: Sebelum Matahari Terbit Hingga Menjadi Pembaca

SEBELUM MATAHARI TERBIT

Awalnya, saya terbiasa menulis di waktu subuh, sebelum matahari terbit, karena kebutuhan — anak-anak saya masih kecil saat saya baru mulai menulis dan saya perlu waktu menyepi sendiri sebelum mereka merengek Mama ini, Mama itu — dan biasanya hal itu hanya bisa saya dapatkan sekitar jam lima pagi. Saya selalu bilang pada murid-murid saya bahwa salah satu hal paling penting yang harus mereka ketahui adalah kapan mereka berada dalam kondisi prima, secara kreatif. Mereka harus tanya diri mereka sendiri: Seperti apa kamar menulis yang ideal? Apa harus ada musik? Kesunyian? Apakah ada kegaduhan di luar atau ada ketentraman di dalam? Apa yang saya butuhkan untuk berimajinasi?

ANTARA REVISI DAN KERAS KEPALA

Bila ada paragraf yang perlu saya perbaiki, saya akan selalu berusaha memperbaikinya. Berkali-kali, bila perlu. Saya pernah merevisi paragraf sebanyak enam, tujuh, bahkan tiga belas kali. Tapi ada batasan antara revisi dan keras kepala, di mana penulis berusaha mengubah tulisannya hingga tak berbentuk lagi. Penting sifatnya bagi penulis untuk sadar, saat mereka bersikukuh mempertahankan sesuatu, bahwa biasanya, sesuatu yang membutuhkan usaha besar untuk dipertahankan justru memang pada dasarnya tidak bekerja dengan baik, atau perlu dibuang sekalian.

EDITOR YANG BAIK

Editor yang baik bisa mengubah cara penulis memandang tulisannya sendiri. Mereka itu seperti pendeta, atau psikiater; bila kau sial dan mendapatkan editor yang salah, maka lebih baik kau bekerja sendirian saja. Namun ada juga editor yang begitu jarang dan begitu penting hingga mereka sungguh patut dicari dan ditunggu. Kau nanti akan tahu sendiri apakah kau menemukan editor yang tepat untukmu atau tidak. Saya punya seorang editor yang sangat baik, Bob Gottlieb. Dia cocok bekerja dengan saya karena beberapa hal — dia tahu apa-apa saja yang tidak boleh dia sentuh dalam tulisan saya; dia tahu cara menanyakan hal-hal yang mungkin akan saya tanyakan pada diri sendiri seandainya saya punya lebih banyak waktu. Editor yang baik akan jadi mata ketiga. Tenang. Tidak menggebu-gebu. Mereka bekerja bukan karena mereka mencintaimu, ataupun karyamu — buat saya itu yang paling berharga. Saya tidak butuh pujian.

TOKOH DAN PEMBACA

Saat saya duduk untuk menulis, saya tidak pernah membayangkan pembaca saya. Saya juga tidak pernah mengubah karya untuk menyesuaikannya dengan keinginan pembaca. Setelah 20 tahun bekerja sebagai editor, saya lebih bisa memilah mana yang bisa digunakan, dan mana yang tidak. Bila saya kurang yakin terhadap apa yang ingin saya tulis, saya selalu akan kembali kepada karakter-karakter saya. Pada titik itu, biasanya mereka cukup bersahabat dengan saya untuk memberitahukan saya apakah cerita yang saya sampaikan sudah cukup otentik bila disandingkan dengan hidup mereka [para tokoh].

PERTANGGUNG-JAWABAN KARYA

Saya harus bertanggungjawab untuk menulis dengan baik, ataupun bila saya melakukannya dengan tidak baik. Tidak ada yang salah dengan membuat kesalahan, selama kau tidak membuat kesalahan dan berpikir bahwa apa yang kau lakukan adalah benar. Saya ingat suatu musim panas saya menulis sesuatu yang membuat saya sangat bangga, tapi saya tidak bisa melanjutkannya lagi sampai musim dingin tiba. Ketika saya kembali ke meja tulis, saya sangat percaya diri bahwa 50 halaman pertama yang sudah saya tulis di musim panas benar-benar karya yang baik; namun ketika saya baca lagi, ternyata halaman-halaman itu buruk sekali. Sangat ceroboh. Saya tahu, saya bisa merevisinya, tapi saya bingung kenapa sebelumnya saya anggap karya itu sangat bagus? Dan itu yang menakutkan saya. Karena, intinya, kita sungguh tidak tahu apa-apa.

MENJADI PEMBACA

Saat saya kecil, saya hanya ingin jadi pembaca. Saya pikir semua yang perlu ditulis sudah dituliskan atau sedang akan ditulis oleh orang lain. Saya menulis buku pertama saya karena saya pikir tidak ada karya lain yang serupa, dan saya ingin membaca buku itu nantinya. Saya adalah pembaca yang cukup baik. Saya mencintai kegiatan membaca. Itu sebenarnya pekerjaan utama saya, sungguh. Bila saya sanggup membaca karya saya sendiri, itu adalah pujian tertinggi yang bisa saya berikan bagi diri saya. Banyak orang bilang betapa buruk dan egoisnya saya bila saya katakan bahwa saya menulis hanya untuk diri saya sendiri; tapi di lain sisi, hanya kita yang bisa membaca karya kita dengan benar — maksudnya dengan jarak kritis yang cukup — yang justru membuat kita jadi penulis dan editor yang lebih baik. Ketika saya mengajar kelas kepenulisan kreatif, saya selalu berbicara tentang bagaimana kita harus bisa belajar membaca karya kita sendiri; tentu bukan untuk memuji karya sendiri. Maksud saya, tinggalkan karya itu, lalu baca lagi seolah itu pertama kalinya kau membaca karya tersebut. Lalu berikan kritik yang sepadan. Jangan terbuai dengan kalimat-kalimatmu sendiri.

TONI MORRISON adalah perempuan Afro-Amerika yang piawai dalam dunia menulis. Ia dikenal dengan sebutan novelis kulit hitam terbaik di Amerika berkat penghargaan yang diperolehnya, termasuk Nobel Sastra pada tahun 1993.
Ia cenderung menulis dengan gaya orang dusun yang sederhana, seperti tengah bertutur tentang pengalaman hidup seseorang, baik pengalaman yang menyenangkan maupun menyedihkan. Morrison juga menggunakan bahasa yang liris (penuh perasaan) dan dialog yang hidup. Alhasil, ketika orang menyimak kata-katanya ada makna yang demikian besar yang tengah diungkap.
Sebagai wanita berkulit hitam, Morrison mendorong kaumnya untuk melakukan kiprah di dunia menulis dan seni lainnya. Ia menjadi anggota dari National Council untuk sastra dan American Academy and Institute of Arts and Letters.
Morrison adalah penulis sastra yang menggemakan kemerdekaan kulit hitam. Karyanya banyak bermuatan mitos, pengamatan tajam, belas kasihan, dan bahasa puitis, serta sering berhubungan dengan hubungan individu dan masyarakat.
Ketertarikan Morrison pada tema orang Afrika atau kulit hitam berasal dari latar belakang hidupnya yang banyak mengalami kegetiran konflik rasial. Ia juga terinspirasi oleh kegemaran ayahnya yang suka menceritakan dongeng atau cerita rakyat kepadanya sewaktu kecil.
Karya-karyanya berasal dari pengamatan, pengetahuan, dan realitas yang terjadi. Ia menjadi sosok yang sangat kuat menentang rasialisme. Morrison mendukung gerakan kemerdekaan bagi perempuan dan menentang diskriminasi ras.
Karya Morrison yang paling terkenal adalah Beloved. Menurut Stephen Metcalf, Beloved sungguh merupakan pekerjaan yang jenius, tidak ada novel Amerika lain selama 25 tahun terakhir yang dengan begitu elegan memetakan psikobiografi dari pembaca idealnya.
Novel Beloved memang bercerita tentang perbudakan dan pembunuhan bayi orang negro. Beloved bercerita tentang sebuah rumah yang disebut hanya nomornya 124. Beloved, Si Hantu dari masa silam; Sethe yang membunuh anak sendiri, dan Baby Suggs yang berharap, adalah 3 tokoh utama yang diceritakan dalam novel tersebut. Dan karya inilah yang melambungkan nama Morrison dalam daftar penerima Nobesl Sastra kala itu.
Morrison telah memberikan warna baru dalam khazanah menulis. Ia menerakan bahasa bertutur dalam setiap tulisannya, sehingga karya-karyanya memiliki daya tarik tersendiri. Ia menulis dengan penuh kejujuran. Ia ingin memperjuangkan kaumnya, yaitu kaum negro yang dianggap minoritas dan tertindas hingga abad ke-20. Sebagai penulis, ia mengungkapkan kegalauan dan kemarahannya dalam novel Beloved.

Catatan: diketik ulang dari Fiksi Lotus dan Sejarah Nasional dan Dunia. Teks di atas diambil berbagai penggalan wawancawa, termasuk dari  The Paris Review dan Poets & Writers.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Halo! Jika Anda ingin belanja buku atau ingin menanyakan sesuatu tentang penerbitan dan percetakan, silakan klik! Terimakasih.

Chat kami melalui WhatsApp