(Kami menurunkan salah satu tulisan almarhum M. Dawam Rahardjo untuk mengenang jasa beliau sebagai sosok yang tak pernah lelah memperjuangkan keberagaman di Indonesia)
Dua orang tokoh pluralis agama, Dr. M. Syafii Anwar (MSA), Direktur The International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) dan Budhy Munawar-Rachman (BMR), mantan Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina, punya persepsi berbeda mengenai pluralisme. MSA, lebih menekankan pandangan mengenai perbedaan agama-agama atau pluralitas agama-agama sebagai premis paham pluralisme agama. Sementara BMR sebaliknya; ia menganut paham pluralisme berdasarkan pandangan bahwa semua agama itu sama-sama baik dan benar.
Persepsi yang pertama itu diterima sebagai kenyataan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tapi pluralisme menurut BMR ditolak, karena pluralisme dinilai sebagai suatu paham. Yang pertama bersifat obyektif, sedangkan yang kedua subyektif.
Namun, yang menarik adalah, kedua tokoh pemikir muda yang sama-sama berhaluan Islam liberal itu tidak saling mengklaim bahwa persepsinya yang benar dan karena itu tidak saling berbantah. Bahkan keduanya nampak saling membenarkan karena sama-sama memahami bahwa perbedaan itu sebenarnya disebabkan perbedaan titik pandang atau perbedaan dasar teori saja, tapi mengarah pada perspektif yang sama, yaitu pluralisme.
Memang, bagi kaum pluralis, pluraritas agama-agama adalah suatu kenyataan. Tapi justru berdasarkan kenyataan itu, diperlukan suatu paham pluralisme (pluralism is needed to deal with plurality). Hal ini sesuai dengan definisi pluralisme itu sendiri, yaitu “suatu paham mengenai pluralitas” (pluralism is an ism about plurality) Karena itu, tidak bisa disikapi bahwa pluralitas diterima sebagai kenyataan, sedangkan pluralisme ditolak sebagai suatu paham.
Namun jika pluralisme ditolak juga, maka hal itu disebabkan ketidak-pahaman, kesalah-pahaman tentang, atau kecurigaan. Misalnya karena pluralisme itu dikaitkan dengan ideologi politik tertentu atau dengan konspirasi global dari Barat. Penolakan dari pihak Islam juga disebabkan penilaian bahwa pluralisme itu adalah suatu teologi yang lahir dengan latar belakang Kristiani di Barat. Buktinya, pelopor pluralisme agama adalah William Cantwell Smith, John Hick, Hans Kung, atau Leonard Swindler, kesemuanya adalah para pemikir dan teolog Kristen, walau ada juga teolog atau filsuf muslim yang juga berpaham pluralis, seperti Sayed Hosen Nasr, F. Schoun, dan Hasan Askari.
Tapi baik pluralisme yang bertitik tolak dari segi perbedaan agama-agama maupun semua agama itu baik dan benar, keduanya tetap saja ditolak. Alasannnya, paham pluralisme agama bisa menyebabkan pelemahan akidah. Jika semua agama itu dianggap benar dan sama, maka orang akan mudah berganti agama. Tapi yang lebih penting adalah pernyataan bahwa pandangan semua agama itu baik dan benar, bertentangan dengan akidah Islam atas dasar dalil “Sesungguhnya agama yang diterima oleh Allah itu (hahya) Islam” (Q.S. Ali Imran: 18). Karena itu, pandangan yang dianggap benar adalah: Semua agama itu salah, kecuali Islam, atau hanya Islam sajalah agama yang benar.
Karena kenyataan tentang pluralitas itu tidak menimbulkan kontroversi, maka yang perlu dijelaskan adalah apa maksud pandangan bahwa “semua agama itu baik dan benar?”
Pertama, pernyataan bahwa semua agama itu baik dan benar perlu dijelaskan dengan keterangan “bagi para pemeluknya”. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap pemeluk agama akan berkeyakinan bahwa agama merekalah yang paling baik dan benar. Karena itu, pernyataan bahwa “Sesungguhnya agama yang diterima oleh Allah itu (hanya) Islam”, hanya benar bagi orang Islam. Sedang umat Kristen, tentu akan berpendapat bahwa “keselamatan hanya ada dalam (iman kepada) Kristus”, sebagaimana dinyatakan oleh Vatikan sebelum tahun 1965. Setelah itu, Konsili Vatikan mengakui bahwa keselamatan itu juga terdapat (bisa melalui) agama-agama lain, sebagai pandangan baru atau qaul jadid. Bahkan secara khusus, Vatikan sangat menghargai iman Islam. Namun tetap boleh saja dilakukan klaim bahwa agama tertentulah yang benar, tetapi bagi pemeluknya masing-masing.
Kedua, kebenaran dan keselamatan (salvation) agama itu ada dua macam. Yang satu kebenaran eksklusif, yang lain kebenaran inklusif. Kebenaran eksklusif adalah kebenaran tertentu yang hanya diyakini dalam agama tertentu. Misalnya mengenai doktrin Trinitas. Umat Islam tidak mungkin menerima doktrin itu, namun doktrin itu bersifat fundamental bagi umat Kristen. Sedangkan ajaran cinta kasih dalam agama Kristen adalah kebenaran inklusif yang bisa diterima oleh pemeluk semua agama.
Ketiga, semua agama itu sama, dalam arti semua agama itu, dalam perspektif masing-masing, pada hakikatnya merupakan jalan menuju kebenaran dan kebajikan. Tidak ada agama yang mengajarkan kesalahan atau keburukan dan kejahatan. Namun memang, substansi dari kebenaran dan kebaikan itu berbeda dari satu agama ke agama yang lain.
Keempat, setiap agama mengandung kebenaran, bukan saja bagi pemeluk agama yang bersangkutan, tetapi juga bisa dilihat begitu oleh pemeluk agama lain. Sebagai contoh, umat Islam atau Kristen bisa memetik kebenaran dari Kitab Bhagavad Gita atau buku-buku Taoisme dan Konfusianisme. Itulah sebabnya Raja Penyair Pujangga Baru, yang juga dianggap sebagai seorang penyair sufi, menerjemahkan Bhagavad Gita dan puisi-puisi Timur yang secara khusus dihimpun dalam kumpulan sajak “Setanggi Timur”. Karena itu, mengapa para pemeluk agama tidak saling mempelajari agama-agama lain untuk dapat memetik hikmah dan kearifan hidup dari ajaran agama-agama lain? Tidak ada salahnya atau tidak berdosa bagi kaum pluralis untuk mengutip hikmah dari ajaran agama-agama lain dalam khotbah di masjid atau gereja.
Kelima, terdapat kesamaan antara agama-agama. Misalnya ajaran the Ten Commandments atau Sepuluh Perintah Tuhan dari agama Yahudi, dapat ditemui juga pada agama-agama lain. Ajaran puasa juga dapat ditemui pada agama-agama lain, walau tidak semua pemeluk agama bisa melestarikan tradisi itu pada zaman modern ini. Namun para pemeluk agama lain bisa menganggap bahwa ajaran puasa itu adalah suatu ajaran yang benar, karena tujuannya adalah mendidik kemampuan manusia untuk mengendalikan hawa nafsu (takwa).
Keenam, semua agama itu pada lahir atau detailnya, atau pada tingkat syari’at memang bervariasi, karena pada tingkat itu sudah berperan pemikiran dan perumusan manusia yang dipengaruhi oleh kondisi dan sejarah. Namun pada tingkat yang lebih tinggi (tarekat dan makrifat) akan dijumpai persamaan-persamaan dan akhirnya mencapai titik temu pada tingkat trensenden (hakikat). Ini adalah teori yang disebut transcendent unity yang dikembangkan baik oleh teolog Kristen maupun muslim, walau dalam wacana timbul pro dan kontra. Di lingkungan Islam, teori semacam ini dikemukakan oleh para sufi seperti al-Hallaj, Ibn al-Arabi dan Jalaluddin Rumi, dan dikembangkan oleh Sayed Hosen Nasr, F. Schuon, dan Hasan Askari, dari teolog modern.
Ketujuh, semua agama dipandang sama dan benar dimaksudkan sebagai pandangan yang harus diambil oleh negara atau pemerintah. Sebab, negara yang harus bersikap adil terhadap setiap individu dan kelompok, tidak boleh berpandangan bahwa hanya suatu agama saja yang baik dan benar, sedangkan yang lain salah. Inilah sebenarnya salah satu unsur dari sekularisme yang dianut dalam sebuah negara yang demokraris, termasuk di Indonesia. Tapi di Indonesia sendiri yang berideologi Pancasila, juga memandang setiap agama itu benar dan baik. Dengan begitu, setiap agama diharapkan berkontribusi terhadap pembangunan negara dan masyarakat.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa semua agama itu pada hakikatnya sama, dan hanya penampilannya saja yang berbeda-beda. Tapi secara keseluruhan, bangunan agama itu nampak sama atau serupa, atau dapat diabsraksikan menjadi sesuatu yang sama.
Misalnya, Swidler bisa merumuskan bahwa semua agama itu terdiri dari empat aspek yang disebut 4C, yaitu creed (akidah), cult (peribadatan), code (pedoman perilaku atau akhlak), dan community structure (struktur kemasyarakatan). Hanya saja, isi dan substansi dari setiap C itu berbeda-beda. Karena itulah dikatakan, agama-agama itu ide dasarnya sama, tetapi berbeda isi dan eksperasinya.
Pluralisme memang memiliki beberapa dan bukan hanya satu perspektif saja. MUI agaknya keberatan terhadap pluralisme karena hanya melihat satu perspektif saja, yaitu kemungkinan timbulnya sinkretisme. Pihak Kristen, sebagai agama besar dan tentu juga memiliki kelompok fundamentalis, juga keberatan terhadap perspektif ini. Salah satu agama sinkretisme adalah agama Baha’i atau Agama Jawa, sehingga timbul gerakan purifikasi di Indonesia yang dipelopori oleh Muhammadiyah yang dinilai berpaham puritanisme.
Tapi sebenarnya, ada beberapa perspektif lain dengan tingkat penerimaan yang berbeda-beda dari agama-agama.
Pertama adalah persepktif persatuan agama-agama (unity of religions). Persepktif ini sudah banyak diwacanakan di Barat, juga di kalangan Islam. Di kalangan Islam juga sudah dikenal konsep “Kesatuan Agama-Agama” (wahdatul adyân) yang berkembang terutama di kalangamn sufi. Tujuan dari perspektif ini adalah agar agama-agama itu tidak terpecah-belah dan bertengkar satu sama lain, lalu bersatu menghadapi, misalnya ateisme, agnostisme, dan marjinalisasi eksistensi dan peran agama-agama di dunia modern. Namun dalam persatuan itu, identitas agama-agama tidak perlu dilebur seperti dalam sikretisme.
Kedua, terbentuknya “Agama Kewargaan” (civil religion). Kalangan Kristen banyak yang keberatan dengan Agama Kewargaan ini. Namun konsep ini sudah berkembang di Amerika Serikat. Hanya saja, bahan bakunya berasal dari ajaran agama Kristen dan Yahudi yang telah dibumikan (mengalami rasionalisasi dan objektivikasi dalam bumi AS). Dalam masyarakat yang lebih plural agama, bahan bakunya bisa digali dari semua agama-agama dunia. Konsep ini menghimpun semua elemen kebenaran inklusif dari semua agama untuk dijadikan pedoman perilaku bagi warga negara. Tapi “agama” ini tidak disucikan sebagai suatu akidah keagamaan. Namun kaum Kristen juga keberatan dengan konsep ini, karena dianggap melemahkan kedudukan agama-agama, khususnya Kristen. Dalam kenyataannya, agama Kristen formal justru berkembang sangat marak di AS, dengan indikator tingkat kunjungan ke gereja yang makin tinggi.
Ketiga adalah harapan terbentuknya Etika Global (global ethics). Konsep ini dikembangkan oleh Hans Kung dan Leonard Swidler, keduanya adalah rohaniawan Katolik. Konsep ini sebenarnya berlatarbelakang Eropa, karena di kawasan itu, agama—khususnya Kristen—telah mengalami marjinalisasi yang ditandai oleh tutupnya gereja-gereja karena sepi pengunjung. Masyarakat Eropa tidak lagi menjadi penganut agama formal, tapi mengikuti etika umum. Masyarakat AS dianggap paling religius tetapi kurang etis, sebaliknya masyarakat Eropa dianggap tidak religius tetapi sangat etis. Di Jepang, agama-agama Sinto, Buddha, atau Konfusianisme, juga menyurut sebagai agama formal, tetapi masyarakat Jepang memiliki etika yang sangat tinggi. Di tingkat global, agama formal tampaknya juga menyurut karena saling berkelahi, tetapi spiritualisme marak.
Keempat, berkembangnya “Agama Publik” (public religion). Gagasan ini sebenarnya adalah reaksi terhadap sekularisasi agama yang sebagai kredo dan sistem peribadatan memang telah mengalami sekularisasi dan privatisasi, namun doktrin sosial agama ingin dihidupkan kembali, sehingga agama punya peran dalam wacana publik, di tingkat kebangsaan maupun global. Tetapi berbeda dengan agama privat yang sifatnya suci, konsep agama publik bersifat profan.
Di dunia Islam, konsep “ekonomi syari’ah” umpamanya, dapat disebut sebagai salah satu contoh Agama Publik yang bisa diikuti tidak saja oleh orang Islam, tetapi juga pemeluk agama lain. Dosen-dosen ekonomi syari’ah di Wolongong University Australia, adalah para pastor. Di sini, ekonomi syari’ah dianggap sebagai suatu “kebenaran objektif”. Namun dalam teorinya, unsur-unsur agama lain, misalnya manajemen Taoisme, dapat pula diintegrasikan ke dalam konsep ekonomi syari’ah, sepanjang tidak menyangkut akidah yang mensyaratkan keimanan, sebab ekonomi syari’at sendiri juga tidak mensyaratkan keimanan. Ekonomi syari’ah dilaksanakan oleh City Bank atau HSBC (Hongkong-Shanghai Banking Corporation), bukan karena nasabah percaya kepeda kebenaran ayat suci Alqur’an, melainkan karena penilaian bahwa sistem syari’ah itu mencerminkan keadilan dan kebersamaan, umpamanya.
Kelima, perspektif yang paling dikenal dari pluralisame agama adalah untuk mencapai kesetaraan agama-agama, toleransi dan kerukunan antar umat beragama, serta kerjasama untuk kepentingan bersama yang di Indonesia didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.
Dengan menyadari perbedaan maupun persamaan agama-agama, terbuka ruang bagi dialog. Dari sudut pandang umat Islam, pluralisme dapat dilaksanakan berdasarkan tiga cara, yaitu saling memahami untuk mencapai saling pengertian dan penghargaan (ta`âruf), berloma-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khairât), dan kerjasama dalam takwa dan kebajikan (ta`âwun).
—
Catatan: tulisan di atas diketik ulang dari tulisan Prof. M Dawam Rahardjo, “Mengapa Semua Agama itu Benar?,” TEMPO, 1/1/2006.
—
Muhammad Dawam Raharjdo terkenal sebagai ekonom dan tokoh agama. Ia telah banyak menulis buku-buku baik tentang ekonomi maupun tentang agama islam. Dawam pernah menjadi ketua dari ICMI se-Indonesia, pemimpin Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, dan ketua yayasan ELSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat.
Selain itu, Dawam juga dikenal sebagai seorang sosok multidimensi, karena ia adalah seorang ahli ekonomi, pengusaha, budayawan, cendekiawan, juga aktifis LSM, pemikir islam dan juga penafsir.
Dawam dilahirkan di solo, tepatnya pada tanggal 20 April 1942. Ia merupakan anak sulung dari delapan bersaudara, putra dari pasangan Muhammad Zuhdi Rahardjo dan Muthmainnah. Meskipun dilahirkan di lingkungan keluarga yang sederhana, namun Dawam telah berprestasi sejak kecil.
Selama masa kecilnya, ia banyak belajar mengenai ilmu-ilmu agama, seperti mengaji, menghafal beberapa surat dalam Juz ‘Amma, dan juga dasar-dasar pendidikan agama seperti bahasa Arab, Tafsir, Fiqih, dan Hadis. Ia juga sempat belajar ilmu tajwid di Pesantren Krapyak selama satu bulan.
Pendidikannya dimulai di Madrasah Bustanul Athfal Muhammadiyah (setara TK) Kauman. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Masjid Besar Solo. Ketika melanjutkan ke sekolah dasar di Sekolah Rakyat Logi Wetan, Dawam langsung ditempatkan di kelas 2. Saat itu, ia juga bersekolah di Madrasah Al-Islam pada sore harinya, tempat dimana Amien Rais juga menimba ilmu. Setelah lulus sekolah dasar, Dawam melanjutkan pendidikannya di SMP 1 Solo dan lulus pada tahun 1957, dan melanjutkan sekolahnya di SMA Manahan dan lulus pada tahun 1961.
Setelah lulus SMA, Dawam mendapatkan kesempatan mengikuti AFS (American Field Service) dan menjadi siswa di Borach High School, Idaho, Amerika Serikat selama satu tahun. Sepulangnya dari Amerika Serikat, ia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 1969. Sejak saat itu, karir akademiknya pun terus meroket. Pada tahun 1993, ia sudah menjabat sebagai Guru Besar Ekonomi Pembangunan di Universitas Muhammadiyah Malang, dan sekaligus menjadi Rektor Universitas 45 di Bekasi.
Dalam meniti karir, Dawam pernah bekerja sebagai Staf di Departemen Kredit Bank of America, Jakarta pada tahun 1969. Tapi setelah dua tahun bekerja di perusahaan tersebut, ia memutuskan berhenti. Selepas dari Bank of America, Dawam kemudian bergabung di LP3ES (Lembaga Penelitian dan Pembangunan Ekonomi-Sosial) sebagai Staf peneliti. Lambat laun posisinya merangkak naik menjadi Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan hingga akhirnya menjadi direktur. Pada saat di LP3ES inilah, pengetahuan Dawam tentang ekonomi kerakyatan bertambah. Sejak itu, tulisan maupun esainya mengenai ekonomi dan politik tersebar di media massa.
Setelah kurang lebih 10 tahun di LP3ES, ketertarikan Dawam pada dunia LSM semakin besar. Ia pernah ikut merintis sekaligus memimpin beberapa LSM, antara lain: Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, Lembaga Studi Pembangunan (LSP), Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA), dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF).
Sementara itu dia mengembangkan minat intelektualnya untuk menggali al-Quran yang membawanya untuk mempelajari berbagai buku tafsir maupun buku-buku yang berkaitan dengan al-Quran. Dalam penelusurannya itu dia menemukan arti pluralisme dan toleransi dalam kehidupan beragama.
Menurutnya, pluralisme merupakan sebuah jalan menuju kedamaian dan toleransi menjadi kata kuncinya. Dawam Rahardjo mengaku, saat dirinya belum toleran, ia harus terus-menerus membenci dan menolak segala sesuatu yang berbeda darinya. Namun setelah toleran, ia mengaku mendapat kasih sayang lebih banyak. Ancaman yang dia terima pun malah berkurang.
Yang lebih penting lagi baginya, toleransi adalah kunci menuju kemajuan. Tanpa toleransi, Islam menurutnya tidak mungkin menjadi maju. Toleransi menurutnya tidak berarti lemah. Dengan toleransi, ia mengaku malah bisa memahami akidahnya dengan lebih baik. Dia bersama teman-temannya menyebarkan pemahaman pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Atas pemikirannya tersebut dia pernah mendapat fatwa haram dari MUI, karena dinilai bertentangan dengan islam.
Namun, Dawam tetap pada pendiriannya. Banyak yang menilai dia merupakan sosok intelektual yang berani melakukan pembelaan bagi rakyat dan mengedepankan keadilan. Karena sikap pluralis yang dia tunjukkan menginginkan adanya kerukunan antar umat beragama.
Dawam mempunyai kegemaran membaca dan menulis. Bahkan ketika remaja, Dawam sudah mampu menerjemahkan puisi dalam bahasa inggris, lalu ketika beranjak dewasa ia mempunyai hobi membuat syair dan menulis cerita pendek. Dari sini lah Dawam akhirnya sempat cukup aktif menulis di berbagai kolom dan artikel, serta buku ilmiah. Ia terbilang cukup produktif dalam menulis di berbagai media massa, jurnal, dan buku, baik mengenai ekonomi maupun agama islam.
Beberapa karyanya yang terkenal adalah “Esai-esai Ekonomi Islam”, “Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa”, “Risalah Cendekiawan Muslim”, “Perspektif Deklarasi Makkah, Menuju Ekonomi Islam”, “Masyarakat Madani, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial”, “Ensiklopedia Al-Quran, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci”, “Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi”, dan “Islam dan Transformasi Sosial Budaya”.
Pada hari Rabu 30 Mei 2018 sekitar pukul 21.55 WIB, M. Dawam Rahardjo (76) berpulang ke pangkuan Tuhan usai mengalami sakit komplikasi yang dideritanya. Mendiang Dawam meninggal dunia di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan. Tak banyak yang mengetahui pasti penyebab berpulangnya almarhum, namun, sekira beberapa bulan lalu, ahli ekonomi hingga pemikir Islam ini sempat menjalani beberapa kali perawatan intensif di rumah sakit. Beliau terkena penyakit diabetes, jantung, dan stroke. Selamat jalan, Prof!