oleh: Mario Vargas Llosa
Kisah ini pasti sama santun dan arif seperti dirinya, dan sama ajaibnya seperti roman-roman yang ia tulis dan lahap sampai akhir hayatnya. Bahwa ini sungguh terjadi dan kini membentuk bagian dari realitas merupakan bukti menggugah kekuatan karya fiksi, kebohongan penuh tipu daya itu, yang dengan cara-cara yang paling tak terduga, acapkali menjadi kenyataan.
Awal kisah ini mengherankan dan pada takaran tertentu menegangkan. Himpunan Penulis Inggris dikabari oleh seorang wali surat wasiat bahwa seorang wanita yang baru saja meninggal telah menyerahkan seluruh hartanya –400.000 pound, sekitar 700.000 dolar—agar mereka menggelar anugerah sastra tahunan bagi novelis di bawah umur 35 tahun. Karya yang menang harus “cerita romantis dan novel yang berciri tradisional, bukan eksperimental.” Kabar ini langsung masuk halaman-halaman depan surat kabar, karena hadiah yang diberikannya –70.000 dolar setahun—empat atau lima kali lipat lebih besar ketimbang dua anugerah sastra paling bergengsi di Inggris: Booker McConnell dan Whitbread.
Siapa gerangan donor murah hati ini? Seorang novelis, tentu saja. Tapi para direktur Himpunan Penulis dengan malu harus mengaku pada wartawan bahwa mereka belum pernah mendengar tentang Miss Margaret Elizabeth Trask. Dan kendati sudah berusaha keras, mereka tidak bisa menemukan di toko-toko buku London satu pun bukunya. Padahal, Miss Trask telah menerbitkan lebih dari 50 “cerita romantis” sejak 1930-an dengan nama pena yang sedikit dipersingkat dan merendah: Betty Trask. Judul buku-bukunya menyiratkan isinya: I Tell My Heart, Irresistible, And Confidential, Rustle of Spring, Bitter Sweetbriar. Yang terakhir terbit pada 1957, dan tak satu eksemplar pun darinya bisa ditemui di kantor penerbitnya atau agen sastra yang menangani hak cipta Nona Trask. Demi menelusurinya, para wartawan yang melacak hidup dan karya dermawan sastra Inggris misterius ini harus berkutat di perpustakaan-perpustakaan kampung yang sampai hari ini masih meminjamkan novel-novel romantis dengan iuran tahunan yang murah.
Maka biografi memikat “Corin Tellado a la Inggris” ini pun tersusun. Tidak seperti penulis sejenisnya dari Spanyol itu, Miss Trask menolak menyesuaikan standar moralnya dengan zaman, dan pada 1957 ia pun meletakkan pena, sadar bahwa jurang antara kehidupan sehari-hari dengan novel-novelnya jadi menganga terlampau lebar. Buku-bukunya –yang pasti memiliki banyak pembaca bila dilihat dari warisan yang ia tinggalkan—segera saja terlupakan. Hal ini sepertinya bukan masalah sama sekali bagi Miss Trask, yang hidup melampaui karyanya seperempat abad lebih. Yang paling luar biasa dalam kehidupan Margaret Elizabeth Trask adalah meski mengabdikan hidupnya untuk membaca dan menulis soal asmara, dalam usianya yang 88 tahun ia tak pernah punya pengalaman romantis satupun juga. Buktinya konklusif: ia meninggal lajang dan perawan, jiwa raga. Mereka yang mengenal dia bicara tentangnya sebagai sosok zaman bahuela, anakronis me era Victorian atau Edwardian yang tersesat di abad kaum hippies dan punk.
Keluarganya berasal dari Frome, Somerset, industrialis sutra yang kaya raya dan manufaktur garmen. Miss Margaret menerima pendidikan, meskipun secara puritan dan ketat di rumah. Ia gadis yang anggun, pemalu dan priyayi, tinggal di Bath serta Belgravia, pemukiman paling eksklusif di London. Tapi harta keluarganya menyusut dengan meninggalnya sang ayah. Tapi hal ini tidak mengubah kebiasaan Nona Trask yang memang senantiasa bersahaja. Ia tak pernah menikmati banyak kehidupan sosial, sangat jarang keluar, mengklaim alergi lelaki, dan tak pernah pacaran. Cinta dalam hidupnya adalah sang ibu, yang ia rawat dengan penuh pengabdian setelah wafatnya sang ayah. Kerja perawatan ini, serta menulis “roman” dua buah per tahun, adalah total kehidupannya. Tiga puluh lima tahun lalu, kedua wanita ini kembali ke Somerset dan di kampung halaman mereka, Frome, menyewa rumah kecil di jalan buntu. Sang ibu meninggal pada awal 1960-an. Kehidupan si perawan yang sendirian menjadi teka-teki bagi lingkungannya. Ia jarang keluar, sopan namun dingin dan berjarak, tidak menerima tamu maupun bertamu.
Satu-satunya orang yang bisa bercakap tentangnya dengan pengetahuan langsung adalah pengurus perpustakaan Frome, tempat Miss Trask menjadi anggota. Ia pelahap rakus kisah-kisah cinta, meski menyukai juga biografi orang-orang yang luar biasa. Staf perpustakaan itu melakukan kunjungan mingguan ke rumahnya, membawakannya buku-buku dan mengambilnya lagi. Seraya tahun berlalu, Miss Margaret mulai sakit-sakitan. Para tetangga menyimpulkan ini dari kehadiran suster Kesehatan Nasional, yang mulai datang seminggu sekali untuk memijitnya. (Dalam wasiatnya, Nona Trask membalas perhatian ini dengan 200 pound.) Lima tahun lalu kondisinya memburuk sampai ia tidak sanggup lagi hidup sendiri. Ia dibawa ke panti jompo. Di sana, dikelilingi kaum miskin, ia melanjutkan kehidupan keras, sahaja, dan nyaris tersembunyi yang senantiasa ia jalani.
Para tetangga di Frome tidak bisa mempercayai mata mereka manakala membaca bahwa perawan tua di Oakfield Road itu telah meninggalkan begitu banyak uang bagi Himpunan Penulis, dan bahwa ia sendiri adalah seorang penulis. Yang mereka anggap lebih sukar lagi untuk dipahami ada lah mengapa alih-alih memakai 400.000 poundnya untuk hidup lebih nyaman, ia berikan uangnya untuk menghadiahi penulisan cerita romantik! Kepada reporter koran dan televisi mereka bicara dengan nada prihatin mengenai Miss Trask, berkata betapa menyedihkan dan suramnya hidup bagai dalam penjara dan tak pernah mengundang siapapun untuk minum teh. Para tetangga di Frome itu tolol tentunya, sebagaimana semua orang yang percaya bahwa Margaret Elizabeth Trask harus dikasihani atas rutinitas hidupnya yang adem ayem. Sesungguhnya Nona Margaret melakoni hidup yang menakjubkan dan layak diiri, penuh gelora dan petualangan. Di dalamnya terdapat cinta tak terukur dan heroisme memilukan, tindak tanduk menakjubkan penuh kenekatan, nafsu-nafsu liar yang disulut oleh kerling mata membara, laku kedermawanan, pengorbanan, kemuliaan, dan keberanian seperti dalam hidup orang-orang kudus atau buku-buku keksatriaan.
Nona Trask tak punya waktu beramah-tamah dengan tetangganya, bergosip soal mahalnya biaya hidup atau kelakuan kurang ajar anak-anak muda zaman sekarang karena tiap menit hidupnya dikonsentrasikan pada hasrat-hasrat yang mustahil, bibir-bibir menyala yang mengusap jari-jemari seputih kembang lili dan membuat perawan-perawan muda mekar ibarat mawar, pisau-pisau yang dihunjamkan dengan lembut namun berdarah-darah di jantung kekasih yang menyeleweng. Apa gunanya pergi keluar ke jalanan berbatu Frome bagi Miss Trask? Sanggupkah udik itu menyuguhkan sesuatu yang nyata mengharukan sebanding dengan vila-vila mewah, gubuk-gubuk tani yang didera taufan, hutan-hutan berhantu, paviliun pualam di sisi laguna-laguna yang menjadi latar bagi impian dan keterjagaannya? Tentu saja Nona Trask enggan berteman atau mengobrol. Mengapa ia harus membuang-buang waktu dengan orang-orang yang sedangkal dan seterbatas manusia fana? Toh ia punya banyak teman; yang menjaganya agar tak jemu barang sejenak pun di rumah kecilnya di Oakfield Road, dan mereka tak pernah mengucapkan sesuatu yang bodoh, salah tempat, atau menjengkelkan. Siapakah di antara makhluk berdarah daging ini yang bisa bicara dengan pesona, penghargaan, dan kearifan, saat berbisik di telinga Miss Trask, selain bayang-bayang dalam karya fiksinya? Hidup Margaret Elizabeth Trask jelas lebih intens, berwarna, dan dramatis ketimbang banyak orang sezamannya. Bedanya adalah: dijiwai oleh gaya asuhan yang khas serta keunikannya sendiri, ia membalik hubungan yang biasanya ada dalam diri manusia antara yang khayal dengan yang nyata, antara yang diimpikan dengan yang dihidupi. Lazimnya, karena terperangkap dalam keseharian yang sibuk, orang “hidup” dalam sebagian besar waktunya dan bermimpi sepanjang sisa waktunya. Nona Trask menjalaninya dengan terbalik. Ia baktikan siang malamnya untuk berkhayal dan menciutkan apa yang kita sebut hidup ke taraf yang paling minimal.
Lebih bahagiakah ia ketimbang mereka yang memilih kenyataan dibanding fiksi? Saya kira iya. Bila tidak, mengapa ia harus mewariskan semua uangnya untuk mendorong penulisan novel romantis? Bukankah ini bukti bahwa ia berangkat ke dunia lain dengan merasa yakin bahwa ia benar dalam menukar kenyataan hidup dengan kebohongan sastra? Meski banyak orang memandangnya sebagai pemborosan, surat wasiatnya sesungguhnya adalah penghakiman tegas atas dunia menjijikkan tempatnya dilahirkan, yang ia upayakan dengan keras untuk tidak ia hidupi.
London, Mei 1983
Diterjemahkan oleh: Roni Agustinus
Catatan penerjemah: Betty Trask Award kini dihadiahkan hampir tiap tahun, dengan kisaran hadiah £1.000 hingga £16.000.
“La señorita de Somerset”, Mario Vargas Llosa. Terbit pertama kali di Caretas, N° 752 (Lima, 13 Juni 1983, hlm. 38-39), La Nación (Buenos Aires, 25 Juni 1983), ABC (Madrid, 2 Juli 1983), El Universal (Caracas, 21 Agustus 1983). Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari El Lenguaje de la pasión (Madrid: Punto de lectura, 2007 [2001]), hlm. 13-18.