Oleh Gabriel García Márquez
Pada 1999, tak lama sebelum Hugo Chávez Frías resmi dilantik sebagai presiden terpilih Venezuela, Gabriel García Márquez mewawancarainya di atas pesawat dalam penerbangan dari Havana ke Caracas. Seraya mereka bercakap, sang Nobelis dari Kolombia itu menjumpai sebuah kepribadian yang tidak cocok dengan gambaran despot yang dibentuk oleh media. Ada dua Chávez. Yang mana yang benar? Inilah profil sang presiden yang masuk militer agar bisa bermain bisbol, yang bisa merapal puisi-puisi Neruda atau Walt Whitman luar kepala, dan yang meninggal kena kanker pada usia 58 tahun.
Presiden Carlos Andrés Pérez turun sore itu dari pesawat yang membawanya balik dari Davos, Swiss, dan terkejut melihat Menteri Pertahanannya, Jenderal Fernando Ochoa Antich, menunggunya di landasan. “Ada apa?” tanyanya penasaran. Pak Menteri meyakinkannya dengan alasan-alasan yang dapat dipercaya agar Presiden tidak pergi ke Istana Miraflores tapi ke kediaman presidensial di La Casona. Ia baru saja jatuh tertidur ketika Menteri Pertahanan yang sama membangunkannya lewat telepon untuk mengabarkan tentang pemberontakan militer di Maracay. Ia baru saja tiba di Miraflores ketika peluru-peluru artileri yang pertama mulai meletus.
Hari itu tanggal 4 Februari 1992. Kolonel Hugo Chávez Frías, seseorang yang menjadikan tanggal-tanggal bersejarah sebagai kultus sakramental, memimpin serangan itu dari pos komando daruratnya di Museo Histórico de La Planicie. Presiden paham bahwa sumber dayanya satu-satunya adalah dukungan rakyat, maka ia pun pergi ke studio Venevisión untuk berbicara kepada seluruh negeri. Dua belas jam kemudian kudeta militer gagal. Chávez menyerah, dengan syarat bahwa ia juga diperbolehkan berbicara ke hadapan rakyat di televisi. Kolonel kreol muda itu, dengan baret pasukan penerjun payung dan kelihaiannya berkata-kata, mengaku bertanggungjawab atas gerakan ini. Pidatonya adalah suatu kemenangan politik. Ia meringkuk dua tahun di penjara sebelum diberi grasi oleh Presiden Rafael Caldera. Banyak pendukungnya dan segelintir musuhnya meyakini bahwa pengakuan publik Chávez adalah pidato pertama dari kampanye pemilu yang akan membuatnya duduk sebagai sebagai presiden republik kurang dari sembilan tahun sesudahnya.
Presiden Hugo Chávez Frías menceritakan kisah ini pada saya dalam pesawat Angkatan Udara Venezuela yang membawa kami dari Havana ke Caracas dua minggu lalu, saat ia masih belum 15 hari terpilih secara konstitusional sebagai presiden Venezuela oleh suara rakyat. Kami diperkenalkan tiga hari sebelumnya di Havana, selama pertemuannya dengan Presiden Castro dan Presiden Pastrana, dan hal pertama yang membuat saya terkesan adalah kekuatan dari tubuh betonnya. Ia memancarkan keramahan seketika dan keluwesan kreol dari seorang Venezuela tulen. Kami mencoba berjumpa lagi satu sama lain, tapi karena tidak ada kesempatan, maka kami pun pergi ke Caracas bersama-sama agar bisa membicarakan hidup dan mukjizat-mukjizatnya di atas pesawat.
Pengalaman bagus bagi seorang reporter yang sedang tirah. Seraya ia bercerita tentang hidupnya, saya mulai mendapati sebuah kepribadian yang tidak pas dengan citra seorang despot yang dibangun oleh media. Ini Chávez yang lain. Yang mana dari keduanya yang sungguhan?
Argumen kuat untuk menentangnya selama masa kampanye lalu adalah masa lalunya belum lama itu sebagai konspirator dan dalang kudeta. Namun demikian sejarah Venezuela sendiri selama bertahun-tahun dipenuhi lebih dari segelintir tokoh macam itu. Awalnya adalah Rómulo Betancourt, yang dikenang dengan tepat maupun keliru sebagai bapak demokrasi Venezuela, yang menggulingkan Isaías Medina Angarita, mantan demokrat militer yang berusaha membersihkan negerinya dari 36 tahun pemerintahan Juan Vicente Gómez. Penerus Betancourt, sang novelis Rómulo Gallegos, dijatuhkan oleh Jenderal Marcos Pérez Jiménez, yang terus berkuasa di Caracas selama hampir 11 tahun. Ia, pada gilirannya, digulingkan oleh satu angkatan demokrat muda yang mengawali babak terpanjang presiden-presiden terpilih hingga saat ini.
Kudeta Februari itu sepertinya merupakan satu-satunya hal yang pernah berjalan tidak beres bagi Kolonel Hugo Chávez Frías. Namun demikian, ia memandangnya secara positif sebagai rintangan takdir. Itulah caranya untuk memahami nasib baik, kecerdasan, intuisi, kecerdikan, atau apapun hembusan gaib yang membimbing tindak-tanduknya sejak lahir ke dunia ini di Sabaneta, negara bagian Barinas, pada 28 Juli 1954, di bawah rasi bintang kekuasaan: Leo. Chávez, seorang Katolik yang taat, mengaitkan nasib baiknya dengan skapular berusia lebih dari 100 tahun yang ia bawa-bawa sejak kecil, warisan kakek buyutnya dari pihak ibu, Kolonel Pedro Pérez Delgado, salah seorang pahlawan panutannya.
Orang tuanya bertahan hidup pas-pasan dengan gaji guru SD, dan sejak umur 9 tahun ia harus membantu mereka berjualan manisan dan buah-buahan dengan gerobak dorong. Kadang dengan keledai ia pergi mengunjungi neneknya dari pihak ibu di Los Rastrojos, desa tetangga yang terasa bagai kota besar untuk ukuran mereka, sebab punya pembangkit listrik kecil yang memberi dua jam cahaya penerang saat malam tiba dan seorang bidan yang membantu datangnya Chávez serta keempat saudaranya ke dunia ini. Ibunya ingin dia jadi pastor, tapi ia cuma sanggup sampai jadi putra altar dan ia biasa memainkan lonceng dengan keindahan begitu rupa sampai-sampai semua orang tahu denting khasnya. “Itu Hugo yang main,” kata mereka. Di antara buku-buku ibunya ia menemukan sebuah ensiklopedia, yang bab pertamanya langsung memukaunya: Cara menggapai sukses dalam hidup.
Bab itu berisi sederet pilihan, dan ia sudah menjajal nyaris semuanya. Sebagai pelukis ia takjub menghadapi lembar-lembar cetakan karya-karya Michelangelo dan patung Daud, dan pada umur 12 tahun memenangkan hadiah pertama dalam pameran setempat. Sebagai musisi kehadirannya tak terlewatkan di pesta-pesta ulang tahun dan serenade berkat kepiawaiannya bermain cuatro (gitar kecil) dan suaranya yang merdu. Sebagai pemain bisbol ia menjadi penangkap unggulan. Opsi jadi militer tak ada dalam daftar tersebut, dan juga tak terpikir olehnya, sampai ia diberitahu bahwa cara terbaik untuk masuk ke liga besar bisbol adalah dengan mendaftar ke akademi militer di Barinas. Pasti merupakan mukjizat lain dari skapularnya, sebab pada hari itu rencana yang dirintis oleh Andrés Bello dimulai, yang membolehkan lulusan sekolah militer untuk mencapai gelar akademik tertinggi.
Ia mempelajari ilmu politik, sejarah, dan Marxisme-Leninisme. Ia suka mempelajari hayat dan karya Bolívar, yang terbesar di antara para “Leo”, yang proklamasinya ia hafal luar kepala. Namun konflik pertamanya yang ia alami secara sadar dengan politik riil berlangsung dengan tewasnya Allende pada September 1973. Chávez tidak mengerti. Bila rakyat Cile memilih Allende, mengapa militer Cile kini melancarkan kudeta? Tak lama sesudahnya, kapten kompinya menugaskannya mengawasi salah seorang anak José Vicente Rangel, yang diyakini sebagai seorang komunis. “Benar-benar lika-liku kehidupan,” Chávez memberitahu saya diiringi derai tawanya. “Sekarang ayah dia jadi menteriku.” Lebih ironis lagi adalah ketika Chávez lulus, ia menerima pedangnya dari presiden yang bakal coba ia gulingkan 20 tahun sesudahnya: Carlos Andrés Pérez.
“Lebih dari itu,” kata saya, “kau mencoba membunuhnya.” “Sama sekali tidak,” Chávez memprotes. “Idenya adalah untuk mendirikan majelis konstituen lalu kembali ke barak.” Sejak kesempatan pertama itu saya sadar bahwa ia memang seorang pendongeng alami. Ia adalah produk budaya rakyat Venezuela, kreatif dan riang gembira. Ia punya pemahaman yang hebat soal manajemen waktu serta ingatan yang nyaris supranatural, yang memungkinkannya merapal luar kepala puisi-puisi Neruda dan Whitman, dan berhalaman-halaman utuh karya Rómulo Gallegos.
Pada usia muda ia mendapati secara kebetulan bahwa kakek buyutnya bukanlah seorang pembunuh dari dunia khayal, sebagaimana yang diceritakan ibunya, melainkan seorang pejuang legendaris pada era Juan Vicente Gómez [tokoh militer Venezuela dari 1908 hingga 1935 —terjmh.]. Sedemikian besar antusiasme Chávez sampai-sampai ia memutuskan untuk menulis buku guna menjernihkan kenangan atas pria itu. Ia menggali arsip-arsip sejarah dan perpustakaan-perpustakaan militer, dan pergi dari kota ke kota memakai ransel sejarawan untuk menapaktilas perjalanan kakek buyutnya melalui kesaksian-kesaksian orang-orang yang ditinggalkannya. Pada kisaran waktu inilah ia memasukkan kakek buyutnya ke dalam altar para pahlawannya dan mulai mengenakan skapular pelindung yang dulu dimiliki kakeknya itu.
Suatu hari ia melintasi perbatasan secara tidak sengaja di jembatan Arauca, dan kapten dari Kolombia yang memeriksa ranselnya menemukan bukti-bukti untuk menuduhnya sebagai mata-mata: ia membawa kamera foto, alat perekam, surat-surat rahasia, foto-foto kawasan itu, peta militer bergambar-gambar serta dua pistol wajib. Tanda pengenalnya, sebagaimana bisa diharapkan dari seorang mata-mata, bisa saja palsu. Tarik ulur berlangsung berjam-jam di kantor yang gambar satu-satunya yang dipajang hanyalah potret Bolívar berkuda. “Aku sudah nyaris angkat tangan,” Chávez bercerita, “sebab semakin aku menjelaskan semakin dia tidak mengerti.” Sampai kalimat penyelamatnya tercetus: “Lihatlah hidup ini, kapten: tak sampai seabad lalu kita bagian dari tentara yang sama, dan orang yang memandangi kita dari gambar ini adalah bos kita berdua. Bagaimana aku bisa jadi mata-mata?” Terenyuh, si kapten mulai bicara melantur perihal Gran Colombia (Kolombia Raya), dan keduanya menutup malam itu dengan minum bir dari kedua negara di sebuah kedai di Arauca. Pagi harinya, sama-sama pusing kepala, si kapten mengembalikan kepada Chávez piranti sejarawannya dan berpamitan dengan memeluknya di tengah-tengah jembatan lintas-negara itu.
“Pada saat itulah aku mendapat bayangan konkret bahwa ada yang tidak beres di Venezuela,” kata Chávez. Ia dikirim ke timur sebagai komandan regu berisi 13 orang prajurit serta tim komunikasi untuk menghabisi basis-basis gerilya yang tersisa. Pada suatu malam yang berhujan lebat, datanglah mencari perlindungan di kampnya seorang intel kolonel beserta sepasukan tentara dan beberapa orang terduga gerilyawan yang baru ditangkap, dengan kulit kurus kering dan nyaris kehijauan. Sekitar pukul 10 malam, saat Chávez baru saja mau tidur, ia dengar jeritan melengking dari ruang sebelah. “Tentara menggebuki tahanan mereka dengan tongkat bisbol yang dibungkus kain gombal agar tidak meninggalkan bekas-bekas,” kata Chávez. Naik pitam, ia menuntut agar kolonel tersebut menyerahkan para tahanannya atau pergi dari situ, karena ia tidak bisa membiarkan ada orang disiksa di bawah komandonya. “Esok harinya aku diancam dikenai pengadilan militer karena pembangkangan,” kenang Chávez, “tapi mereka cuma menempatkanku sesaat dalam pengawasan.”
Sekian hari sesudahnya ia mendapatkan pengalaman yang melampaui pengalaman-pengalaman sebelumnya. Ia sedang membeli daging untuk pasukannya ketika sebuah helikopter militer mendarat di lapangan barak bermuatan para prajurit yang terluka parah dalam sergapan gerilya. Chávez memapah seorang prajurit yang badannya kena beberapa tembakan. “Jangan biarkan aku mati, letnan…” kata prajurit itu ketakutan. Ia cuma berhasil memasukkannya ke mobil. Tujuh lainnya tewas. Malam itu, terjaga di tempat tidur gantung, Chávez merenung: “Buat apa aku di sini? Di satu sisi orang tani berseragam tentara menyiksa para tani gerilya dan di sisi lain petani gerilya membunuhi orang tani yang berseragam hijau-hijau. Di titik ini, ketika perang usai, tak masuk akal untuk menembak siapapun.” Dan ia memungkas dalam pesawat yang membawa kami ke Caracas: “Di situlah aku jatuh dalam konflik eksistensialku yang pertama.”
Esok harinya ia bangun dengan keyakinan bahwa sudah menjadi takdirnya untuk mendirikan sebuah gerakan. Pada umur 23 tahun ia melakukannya, di bawah nama yang tanpa tedeng aling-aling: Tentara Bolívarian Rakyat Venezuela. Para anggota pendirinya: lima orang prajurit beserta dirinya, yang berpangkat letnan muda. “Apa tujuannya?” saya bertanya. Sederhana saja, ujarnya: “Tujuannya adalah untuk bersiap kalau-kalau terjadi sesuatu.” Setahun kemudian, sebagai perwira pasukan terjun payung di batalion bersenjata Maracay, ia mulai merancang persekongkolan besar. Tapi pada saya ia jelaskan bahwa ia memakai kata persekongkolan hanya dalam arti kiasan menyatukan tekad untuk menjalankan kewajiban bersama.
Demikianlah situasinya pada 17 Desember 1982 manakala sebuah peristiwa yang tak terduga berlangsung yang menurut Chávez sangat menentukan dalam hidupnya. Ia sudah menjadi kapten dalam resimen terjun payung kedua, serta ajudan perwira intelijen. Sama sekali tak disangka-sangka, komandan resimen, Ángel Manrique, menugaskannya berpidato di hadapan 1.200 orang dari segala kepangkatan.
Pukul satu siang, batalion berkumpul di lapangan bola, dan pembawa acara memperkenalkan Chávez. “Dan pidatonya?” tanya komandan resimen yang melihatnya naik ke panggung tanpa membawa kertas. “Saya tak punya pidato tertulis,” Chávez memberitahunya. Dan ia pun mulai berimprovisasi. Itu pidato yang cukup singkat, diilhami oleh Bolívar dan Martí, tapi dengan tuaian pribadi mengenai kondisi tertekan dan ketidakadilan di Amerika Latin 200 tahun sesudah merdeka. Para perwira, baik yang mendukungnya maupun tidak, menyimaknya tanpa tergerak. Di antara mereka terdapat Kapten Felipe Acosta Carle dan Kapten Jesús Urdaneta Hernández yang bersimpati pada gerakannya. Komandan garnisun, yang sangat kecewa, menerima Chávez seusai pidato dengan dampratan yang bisa terdengar oleh semua orang:
“Chávez, bicaramu seperti politisi.” “Siap,” jawab Chávez.
Felipe Acosta, dengan tinggi dua meter dan perawakan pantang menyerah, menghadap komandan dan berkata: “Anda keliru, komandan. Chávez bukan politisi. Ia kapten zaman kita, dan kalau Anda mendengar apa yang dibilangnya dalam pidato, Anda akan terkencing-kencing di celana.”
Kolonel Manrique menyuruh para prajurit bersiap dan berkata, “Aku ingin kalian tahu bahwa apa yang disampaikan oleh Kapten Chávez sudah seizinku. Aku yang memerintahkannya berpidato dan segala yang ia sampaikan, sekalipun tidak ditulisnya, sudah ia sampaikan padaku kemarin.” Ia diam sejenak untuk memberi efek dramatis, dan menyimpulkan dengan perintah penutup: “Tentang ini tidak boleh tersiar keluar!”
Di akhir acara, Chávez berlari-lari sore bersama Kapten Felipe Acosta dan Kapten Jesús Urdaneta ke Samán del Guere, sekitar 10 km jauhnya, dan mengulang sumpah khidmat yang sama yang diikrarkan oleh Simón Bolívar di Monte Aventino. “Pada akhirnya, jelas, aku membuat perubahan,” kata Chávez. Alih-alih “ketika kita telah mematahkan belenggu yang menindas kita oleh tekad kekuasaan Spanyol”, mereka bersumpah “sampai kita memutus belenggu yang menindas kita dan menindas rakyat oleh tekad kaum berkuasa.”
Sejak itu, semua perwira yang bergabung dalam gerakan bawah tanah itu harus mengucapkan sumpah tersebut. Yang paling belakangan adalah ketika kampanye pemilu di hadapan ratusan ribu orang. Selama bertahun-tahun rapat-rapat rahasia dengan jumlah peserta yang terus membesar berlangsung, termasuk wakil-wakil militer dari sepenjuru negeri. “Selama dua hari rapat berlangsung di tempat-tempat tersembunyi, untuk mempelajari situasi negeri, menganalisa, dan menjalin kontak-kontak dengan kelompok-kelompok dan kawan-kawan sipil.” “Dalam sepuluh tahun,” kata Chávez pada saya, “kami menggelar lima kongres tanpa ketahuan.”
Pada titik obrolan ini, Presiden tertawa culas, dan mengungkap sesuatu dengan senyum licin: “Kami selalu bilang bahwa mula-mulanya adalah kami bertiga. Tapi kini kami bisa bilang bahwa sesungguhnya kami punya orang keempat, yang identitasnya selalu kami rahasiakan untuk melindunginya, yang tidak ketahuan pada 4 Februari, yang tetap aktif di tentara dan mencapai pangkat kolonel. Tapi ini sudah tahun 1999 dan kami bisa mengungkap bahwa orang keempat itu ada bersama kita di pesawat ini.” Ia tudingkan telunjuknya ke arah seorang pria yang duduk terpisah di kursi dekat situ dan berkata: “Itu dia, Kolonel Badull!”
Sejalan dengan ide yang dimiliki oleh comandante Chávez tentang hidupnya, peristiwa puncaknya adalah El Caracazo, perlawanan rakyat yang meluluhlantakkan Caracas. Ia suka mengulangi: “Napoleon berkata bahwa pertempuran ditentukan pada detik inspirasi strategis.” Dari pemikiran tersebut, Chávez mengembangkan tiga konsep: Pertama, jam historis. Kemudian, menit strategis. Dan terakhir, detik taktis. “Kami khawatir sebab kami tidak mau meninggalkan ketentaraan,” kata Chávez. “Kami telah membentuk gerakan, tapi belum jelas untuk apa.” Namun demikian, drama riil yang bakal terjadi ternyata benar-benar terjadi dan mereka tidak siap. “Dengan kata lain,” Chávez memungkas, “kami dibuat terkejut oleh menit strategis.”
Yang ia maksud, tentu saja, adalah pemberontakan rakyat pada 27 Februari 1989: El Caracazo. Tak ada yang lebih terkejut oleh kejadian itu selain Chávez sendiri. Carlos Andrés Pérez baru saja menaiki takhta kepresidenan sesudah menang telak dan tak terpikirkan bahwa sesuatu yang sedemikian serius akan terjadi hanya dalam waktu 20 hari. “Jadi, aku tengah menuju universitas untuk studi pascasarjanaku, pada malam tanggal 27 itu, dan aku pergi ke pangkalan Tiuna mencari teman yang bisa meminjamiku bensin untuk pulang ke rumah,” Chávez memberitahu saya beberapa menit sebelum mendarat di Caracas. “Lalu aku melihat pasukan dikumpulkan, dan aku pun bertanya ke seorang kolonel: Mau ke mana semua tentara ini? Mengapa mereka menugaskan seksi logistik yang tidak terlatih bertempur, apalagi pertempuran jalanan? Oleh senapannya sendiri saja para rekrutan ini takut. Jadi aku bertanya ke kolonel: Mau ke mana mereka? Dan kolonel itu menjawab: Ke jalan, ke jalan. Ada perintah begini: hentikan kerusuhan ini, apapun itu, jadi ya ke sanalah kita. Ya Tuhan, perintah macam apa itu? Begini Chávez, balas si kolonel: perintahnya adalah menghentikan keributan ini, apapun itu. Aku pun membalas: Tapi kolonel, Anda bisa bayangkan apa yang akan terjadi. Dan ia membalas lagi: Chávez, ini perintah dan tak ada yang diperbuat soal itu. Sekarang berserah ke tangan Tuhan saja.”
Chávez bercerita bahwa ia sedang demam waktu itu kena serangan rubela, dan saat menyalakan mobil ia melihat seorang prajurit kecil datang berlarian dengan helm copot, senapan menggelantung, dan amunisi bertebaran. “Kuhentikan dan kuteriaki dia,” kata Chávez. “Dan ia mendekat, gugup, berkeringat, bocah baru 18 tahun. Aku pun bertanya: Hai, kau mau ke mana, lari-lari seperti itu? Tidak, katanya, saya ditinggal oleh peleton saya, dan itu letnan saya naik truk! Bawa saya pergi, pak, bawa saya pergi. Aku dekati truk itu dan bertanya pada yang bertugas: Kalian mau ke mana? Dan ia jawab: saya tak tahu apa-apa. Tak ada yang tahu apa-apa, coba bayangkan.” Chávez menghela nafas dan nyaris berteriak, larut dalam derita malam yang mengerikan itu. “Kau tahu, bila kau mengirim prajurit yang ketakutan ke jalanan dengan senapan dan lima ratus selongsong peluru, akan mereka habiskan semuanya. Mereka sapu jalanan dengan peluru, sapu perbukitan, kampung-kampung kelas buruh. Ini bencana! Yang mati: ribuan, termasuk Felipe Acosta. Dan firasatku berkata ia memang sengaja dibunuh,” kata Chávez. “Itulah menit yang kami nanti, menit untuk bertindak.” Kata seiya dengan perbuatan: dari situlah ia mulai merencanakan kudeta yang akan gagal tiga tahun sesudahnya.
Pesawat mendarat di Caracas pukul tiga dini hari. Lewat jendela saya saksikan rawa-rawa lampu dari kota tak terlupakan tempat saya tinggal selama tiga tahun, yang penting bagi Venezuela dan kini juga bagi hidup saya sendiri. Pak Presiden berpamitan dengan pelukan Karibianya dan undangan tersirat: “Kita ketemu lagi di sini tanggal 2 Februari.” Saat ia berjalan menjauh diapit oleh pengawal militer dan teman-teman dari masa-masa awal gerakannya, terbersit pada saya bahwa saya telah pergi dan mengobrol asyik dengan dua orang yang bertentangan. Yang satu adalah orang yang telah diberi peluang oleh nasib untuk menyelamatkan negerinya. Dan yang lain, seorang ilusionis, yang bisa tercatat dalam sejarah cuma sebagai seorang despot lainnya.[]
Diterjemahkan oleh Ronny Agustinus
Catatan:
“El enigma de los dos Chávez”, Gabriel García Márquez. Dimuat pertama kali dalam Revista Cambio, Februari 1999. Diterjemahkan dari terbitan ulang untuk memperingati wafatnya Chávez di Revista Anfibia yang diberi judul “El sol de tu bravura”.