Mengungkap “yang Tak-Terpikirkan” dalam Pemikiran Islam

Oleh: Ruslani

Ungkapan bahwa “Sejarah adalah politik masa lalu, dan politik adalah sejarah masa kini” tampaknya masih berlaku. Hingga saat ini, historiografi dan penulisan sejarah senantiasa terkait dengan fokus politik, raja, pangeran, presiden, pemimpin gerakan atau pemimpin lain. Ilustrasi yang sangat meyakinkan tentang praktik ideologis dalam sejarah dan politik, yang berusaha membenamkan pencarian makna yang bebas, terbuka, dan kreatif, dijelaskan da­lam karya suntingan Pierre Nora, Les lieux de mémoire, yang membahas stra­te­gi-strategi yang digunakan oleh Republik Ketiga Perancis untuk menyatukan ne­ga­­ra sesuai dengan prinsip-prinsip Republik. Seluruh negara pascakolonial yang mun­­cul di akhir tahun 1950-an menggunakan strategi yang sama, dengan kehen­dak-untuk-berkuasa yang jauh lebih otoritarian, samar, dan intoleran.

Di negara-negara Muslim, kebijakan ini telah “membantu” mengem­bang­kan wi­­layah yang tak-terpikirkan (the unthinkable) dan yang belum-terpikirkan (un­­thought) karena adanya sensor ganda yang telah dan terus-menerus ditimpakan pa­­da berbagai aktivitas intelektual dan kultural: sensor dari atas yang dilakukan oleh Negara dan sensor dari bawah yang dijalankan oleh opini publik, terutama atas masalah-masalah yang terkait dengan agama. Selain itu, banyak kaum inte­lek­tual yang me­lakukan interiorisasi terhadap kontrol ganda ini atas nama Negara a­tau agama, de­ngan menambahkan swa-sensor terhadap hal yang sudah mendapat sensor dari luar.

 

Melacak Akar

Yang tak-terpikirkan pada awalnya merupakan wilayah yang terpikirkan (think­able) sebelum adanya ortodoksi agama yang menerapkan penafsiran tunggal atas agama dengan melakukan pelarangan terhadap tafsir-tafsir lain. Moham­med Arkoun (2002) mencatat adanya dua fak­ta historis yang amat penting terkait de­ngan wacana ini. Pertama, keberhasilan spektakuler dari filsafat dan ilmu-ilmu Yu­­nani dalam logosphere Arab di bawah kon­trol politik rezim Islam dari abad ke­de­­lapan sampai abad ketiga belas, dan kedua—pada periode yang sama—pengem­bangan berbagai cakrawala nalar kea­ga­maan melalui mazhab-mazhab teologi dan hu­kum yang dinamis.

Mazhab Mu’tazilah banyak memberi sumbangan dalam memunculkan ber­bagai persoalan yang terpikirkan—misalnya perdebatan mengenai persoalan firman Tuhan yang di­cip­­takan. Sayangnya, hal-hal yang semula terpikirkan ini kemudian dinyatakan tak-ter­pi­kir­kan oleh Khalifah al-Qadir pada abad ke-11. Filsafat di dunia Islam, sebagaimana diwarisi dari pe­mikiran Yunani Klasik, menemui senjakala setelah wafatnya Ibn Rusyd (1198), meskipun tetap bertahan di Iran dalam bentuk teodisi dan teosofi. Maz­hab Mu’tazilah dilarang oleh dekrit-dekrit yang terkenal dari al-Qadir pada tahun 1017-18 dan 1029 hingga saat ini, dan para ulama secara resmi “mengabdi” untuk mem­pertahankan ortodoksi, menolak pengaktifan kembali yang terpikirkan yang telah diperkenalkan dan dikembangkan oleh para pemikir orisinal yang inovatif da­lam periode klasik.

 

Upaya Memikirkan-Ulang

Apa yang harus dilakukan umat Islam dan para pemikir Islam saat ini untuk dapat memikirkan hal-hal yang selama ini tak-terpikirkan tersebut? Agar bisa memikirkan-kembali hal-hal yang selama ini dibuat tak-terpikirkan, kita perlu menggali lebih dalam untuk mengidentifikasi berbagai kondisi struk­tural untuk menguji tipe atau tingkat nalar yang bisa melampaui hal-hal yang be­lum terpikirkan dan tak-terpikirkan. Harus diakui bahwa seluruh bentuk pemikiran yang muncul dari konteks non-Barat, harus menghadapi penolakan filosofis yang sama, penyangkalan yang sama oleh sejarah kritis, tantangan dan ujian yang sama da­ri antropologi, neurosciences dan biologi, sehingga teologi, filsafat, dan nilai-ni­lai moral harus dipahami di tempat kelahiran dan perkembangan modernitas.

Dari fait accompli dalam evolusi pemikiran modern inilah nalar he­ge­mo­nik atas kuasa di Barat menarik kepastiannya yang terpisah dari situasi he­ge­monik yang tak bisa disangkal yang telah eksis sejak abad kedelapan belas, yang juga merepresentasikan bentuk-bentuk paradigmatik, tahap-tahap kog­nitif dan batas-batas ekstrem dari lembaga sosial dan historis akal manusia, bukan ha­nya akal dalam trayektori kesejarahan Barat.

Untuk mengatasi hegemoni nalar ini, hal utama yang harus dilakukan adalah kita harus mampu mendengarkan sua­ra-suara yang selama ini dibungkam, suara-suara heterodoks, suara-suara mi­no­ritas, suara-suara dari mereka yang tertindas dan terpinggirkan, jika memang ki­ta benar-benar ingin membangun nalar yang mampu merangkul seluruh umat ma­nusia.

Setidaknya ada tiga hal yang selama ini tak-terpikirkan di negara-negara Mus­lim yang pada umumnya masuk dalam kategori negara berkembang. Pertama, di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kita menyaksikan pemben­tuk­an elite-elite politik, ekonomi dan finansial yang sangat terbatas jumlahnya dan di­­temukan dalam berbagai setting sosial di mana kelas-menengah enggan ber­ga­bung dengan para elite ini, tetapi juga menghindari keterlibatan langsung de­ngan ke­hidupan kalangan kelas bawah. Keadaan ini diper­parah oleh kalangan elite yang lebih mementingkan standar kehidupan me­reka dari­pada menangani persoalan-per­soalan fundamental yang dihadapi oleh ma­syara­katnya, seperti kemiskinan, rendahnya literasi dan pendidikan, ke­ter­belakangan, tingginya biaya pendidikan, ke­­tim­pangan sosial dan hukum, serta maraknya hoax dan berita bohong yang diterima sebagai kebenaran. Kon­disi ini mengakibatkan mun­cul­­nya kecenderungan perilaku apatis, swa-pro­tektif, dan lemahnya nalar akibat kepentingan yang sengaja diembuskan melalui pelbagai cara yang makin rawan menimbulkan konflik sosial horisontal. Dalam konteks Islam, ka­langan elite pada umum­nya mempertahankan nilai-nilai superior Islam dan meng­hindarkan-diri dari keterlibatan dalam berbagai perjuangan untuk eman­sipasi yang dilakukan masya­ra­kat dan intelektual yang berani menyerang ta­bu-tabu ke­per­cayaan agama. Sebagian bahkan masih terjebak pada perdebatan usang mengenai hubungan antara agama dan budaya.

Kedua, kaum perempuan merepresentasikan bangunan sosial yang lebih banyak dirugikan; perempuan adalah kelompok yang paling banyak menderita pe­nin­­dasan dari rezim-rezim yang menggunakan agama sebagai alat untuk menutupi mangkirnya legitimasi politik mereka. Kondisi perempuan ini semakin diperparah dengan berbagai kepercayaan dan adat yang telah mengalami internalisasi dari ge­nerasi ke generasi dan dilestarikan untuk melanggengkan kekuasaan patriarkal dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan.

Ketiga, hal yang menentukan tetapi sepenuhnya belum terpikirkan adalah per­­soalan seksualitas. Pada tingkat yang paling dalam dari psike individu dan ko­lektif, terletak wilayah tabu yang tak terjamah yang disebut seksualitas, yang de­ngan jelas “diatur” oleh norma-norma agama. Semua agama memiliki apa yang di­­sebut sebagai hukum suci, aturan-aturan purbawi dan struktur-struktur yang ber­laku dalam seluruh masyarakat.

Di pun­cak lapisan yang keras ini, yang tak tampak tetapi menentukan, sejatinya ter­simpan ber­bagai adat, kepercayaan, representasi dan legislasi yang sesuai dengan setiap ling­kungan sosio-kultural, sebagaimana ditunjukkan oleh dialektologi dan etno­li­nguis­tik. Selama wilayah realitas ini tetap tertutup dan tak boleh dianalisis, ma­ka akan sulit untuk menciptakan kemajuan dalam emansipasi masyarakat, ke­cuali para pembuat undang-undang mempercepat evolusi mentalitas dengan mem­per­­ke­nalkan bukan hanya reformasi yang berani yang akan memiliki efek-efek edukatif terhadap berbagai kategori sosial dan seluruh tingkat kebudayaan, tetapi ju­ga filsafat Hukum yang subversif.

Selain itu, kita juga memerlukan para elite politik yang lebih tercerahkan yang mampu berbagi konsen-konsen intelektual, referensi-referensi ilmiah yang akurat, dan berbagai keterampilan edukatif dalam menggunakan debat sosial se­bagai kesempatan untuk meningkatkan budaya demokratis dan kesadaran politis dari se­luruh warga negara. Namun, di negara kita, masih banyak faktor yang men­ja­di kendala bagi setiap langkah signifikan menuju pemikiran dan prak­tik po­litik yang demokratis, rasional dan modern. Salah satu hal yang paling me­nen­tukan di antara ken­dala-kendala ini adalah tidak relevannya sistem pen­didikan yang di­berlakukan di hampir seluruh jenjang pendidikan, terutama yang berkaitan dengan penga­jaran ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.***

 

Ruslani, saat ini tinggal di Klaten, Jawa Tengah.

Tag

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Halo! Jika Anda ingin belanja buku atau ingin menanyakan sesuatu tentang penerbitan dan percetakan, silakan klik! Terimakasih.

Chat kami melalui WhatsApp