Potret Manusia Indonesia Dan Karakter Bangsa Dalam Narasi Teks Sastra Sejarah

Oleh: Moh. Fathoni

Lee Man Fong, “Balinese Procession.”

Perkembangan karya sastra dewasa ini tidak bisa dibandingkan periode-periode sebelumnya. Secara kuantitatif jumlah karya sastra melimpah dengan pelbagai ragam, genre, pengarang, dan mediumnya. Tetapi beberapa kalangan berpendapat bahwa tidak banyak karya sastra yang mengangkat persoalan kebangsaan, khususnya dalam rangka pengembangan karakter manusia Indonesia. Pada sisi lain, identifikasi diri dan karakter manusia Indonesia berhadapan dengan persoalan identitas yang cair, fragmented, unstable, volatile, dan performatif sebagaimana dalam wacana kebudayaan, sehingga persoalan kebangsaan yang bersifat sosial-kultural menjadi kurang diperhatikan. Dalam kondisi yang demikian terjadi fenomena yang menarik dewasa ini: karya sastra sejarah kembali diangkat dan ditulis dengan jumlah karya dan pengarang yang tidak sedikit. Fenomena tersebut mendapat tanggapan yang beragam, termasuk kontroversi dalam menarasikan dan merepresentasikan tokoh sejarah dan peristiwa sejarah. Dengan demikian, tulisan ini mencoba mengidentifikasi persoalan-persoalan karakter bangsa dalam beberapa narasi teks-teks sastra sejarah Indonesia.

Wacana karakter bangsa merupakan persoalan politis yang erat kaitannya dengan perihal kebudayaan. Sastra sebagai subjek kajian dalam wacana kebangsaan berhadapan dengan wacana kekuasaan/pengetahuan. Tulisan ini mencoba menguraikan persoalan tersebut dalam kaitannya dengan wacana paradigma kesusastraan. Maka, cukup relevan membicarakan kembali gagasan manusia Indonesia (Mochtar Lubis) dan generasi pasca-Indonesia (Mangunwijaya). Dengan demikian, narasi teks sastra sejarah menyediakan ruang interpretasi dalam relasinya dengan bahasa, identitas, dan pengetahuan/ kekuasaan akan bahasa dan identitas dalam mengkonstruksi karakter bangsa. Secara lebih spesifik tulisan ini juga mencoba membahas melalui beberapa narasi sejarah dalam beberapa teks sastra sejarah yang representatif dalam persoalan tersebut, dan untuk mencari relevansinya dengan persoalan kekinian yang berkaitan dengan identitas manusia Indonesia dan karakter bangsa.

 

Keywords: manusia Indonesia, narasi kebangsaan, teks sastra sejarah, nasionalisme, dan konstruksi identitas.

 

Pendahuluan

Terdapat suatu anggapan bahwa jika nasionalisme yang kuat akan membentuk suatu bangsa yang kuat pula, dan bangsa yang kuat mesti dibangun oleh manusia Indonesia yang kuat, demikian dengan sebaliknya. Pada hal lain, nasionalisme yang berlebihan dikhawatirkan menjadikan suatu bangsa yang kuat menjadi represif dengan rezim yang otoriter, begitu juga dengan sebaliknya. Kedua anggapan tersebut perlu ditinjau ulang. Kuat dalam arti yang demikian bias dengan pemahaman bersifat birokrasi atau politis yang elit, berbeda dengan otonom secara sosial ekonomi dan kultural. Pertimbangan-pertimbangan faktual bahwa apakah struktur negara mempunyai peran terhadap kedua anggapan tersebut? Apakah nasionalisme yang dimaksud tersebut mempertimbangkan masyarakat lapis bawah dan kaum miskin yang terpinggirkan? Apakah dengan nasionalisme yang dimaksud manusia Indonesia tidak mempunyai pemimpin yang korup? Apakah dengan nasionalisme dapat dijadikan harapakan bahwa kekayaan alam bumi tanah air dan seisinya tidak ditelikung pihak asing dan untuk kesejahteraan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi, monopoli, dan manipulasi? Apakah dan apakah nasionalisme yang sering dibicarakan dan diperdebatkan dapat membekas dalam benak dan watak manusia Indonesia, sedangkan alam pemikiran dan wacana pendidikan justru mengarus-utamakan kepentingan industrial, logika kapital, dan serba praktis, efektif, serta naif?

Namun, pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti tidak memberikan kemungkinan lain bahwa terdapat cara pandang dalam melihat suatu keadaan dengan cara berbeda. Beberapa pertanyaan di atas membuat batas dan jarak antara identitas yang sifatnya abstrak dengan persoalan riil. Dengan demikian terbangun suatu struktur identifikasi seperti base structure dan superstructure. Cara pandang ini juga yang membuat oposisi antara bentuk dan isi dalam melihat karya sastra. Dua oposisi yang satu dengan yang lain dipertentangkan dan dibuat pola determinan dalam suatu struktur. Maka, hal tersebut dapat dikatakan merupakan hal yang politis sehingga muncul beberapa pertanyaan di atas. Pada hakikatnya, jika dilihat dalam perspektif diskursus hal tersebut tidak dapat dipertentangkan satu sama lain sebab keduanya bersama-sama dengan yang lain berjalinan dengan suatu pengetahuan yang membentuk formasi diskursif. Persoalan apakah dengan suatu konstruksi identitas manusia Indonesia dapat memperbaiki kehidupan bangsa suatu pada masa tertentu mengindikasikan bahwa, pertama, terdapat subjek yang determinan; kedua, anggapan mengenai suatu keadaan dalam ruang tertentu; dan ketiga, memungkinkan adanya pandangan historis. Kemudian, ketiga hal tersebut dibingkai dalam suatu paradigma konstruktif, yang pada dasarnya adalah mode of being, cara mengada atau menjadi manusia Indonesia yang terus-menerus dalam proses tersebut. Dalam sastra persoalan demikian dapat dilihat melalui pengkajian karya sastra sebagai subjek baik subjek simbolik maupun subjek kultural yang akan menemukan relevansinya bahwa teks yang dihasilkan oleh pengarang berkaitan dengan pelbagai wacana yang mengkonstruksinya.

Wacana karakter bangsa merupakan persoalan politis yang erat kaitannya dengan perihal kebudayaan. Sastra sebagai subjek kajian dalam wacana kebangsaan berhadapan dengan wacana kekuasaan/pengetahuan. Secara lebih spesifik tulisan ini akan membahas kesusastraan yang mengandung aspek paradigma naratif melalui karya sastra yang mengangkat persoalan-persoalan tentang identitas kebangsaan dan karakter manusia Indonesia. Narasi-narasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah teks sastra historis dalam bingkai paradigmatik. Maka, teks sastra historis yang dihadirkan cenderung diandaikan dapat menyediakan ruang interpretasi dalam relasinya dengan bahasa, identitas, dan pengetahuan/kekuasaan akan bahasa dan identitas dalam mengkonstruksi narasi karakter kebangsaan. Dengan demikian dalam mengkaji karakter kebangsaan dalam teks sastra dihadapkan pada suatu formasi diskursif yang dikonstruksi pada suatu masa tertentu.

Sebagaimana disebutkan narasi teks sastra sejarah pada masa tertentu tidak lepas dari suatu paradigma dan formasi diskursif yang membingkainya. Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang maupun pembaca) mengenai suatu masa (masa lampau) diinformasikan menggunakan narasi historis yang memuat makna dan nilai-nilai (politik kekuasaan). Pembacaan yang menekankan kesadaran-diri (atau keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui paradigma (historis) konstruksi kultural masa kini. Maka, dalam upaya suatu konstruksi subjek tidak menutup kemungkinan masa lampau dihadirkan pada masa kini untuk kepentingan masa kini. Oleh karena itu, pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya relasi-relasi terhadap yang lain agar lebih tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek.

 

Narasi Kebangsaan dan Manusia Indonesia

Bangsa Indonesia tidak hanya memiliki kekayaan alam geografis beserta potensi-potensinya. Bangsa Indonesia juga memiliki kekayaan bahasa dan budaya beserta kehidupannya. Sebagai generasi yang hidup pada masa kini, kekayaan tersebut dapat kembali dijumpai dan dikelola melalui jejak historisnya dari beragam medium. Bangsa Indonesia adalah imaji yang dikonstruksi oleh manusia-manusia yang menyatakan bahwa dirinya adalah orang Indonesia. Identifikasi identitas berarti upaya konstruksi dan rekonstruksi subjek manusia, dengan membedakan dengan yang lain, menabalkan suatu karakter khas, dan suatu pengetahuan ke arah yang lebih baik. Maka, konstruksi identitas manusia tersebut berbeda atau dibedakan dengan manusia bangsa lainnya, Malaysia, Singapura, Amerika, Belanda, Mesir, dan sebagainya.

Pengetahuan mengenai konstruksi kebangsaan tersebut dalam wacana kesusastraan diantaranya dapat dilihat dari karya sastra yang memuat pemahaman mengenai kebangsaan dan manusia Indonesia. Dalam sejarah sastra Indonesia modern, sastra mempunyai peran dalam pembentukan identitas kebangsaan. Hubungan sastra Indonesia dan identitas kebangsaan tersebut dapat dilihat dari sudut pandang politik, seperti Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia (1923) dan Sumpah Pemuda (1928). Pujangga Baru yang kemudian secara eksplisit merumuskan pandangan modern tersebut, baik dalam bingkai identitas politik kebangsaan dengan mendukung semangat kemerdekaan dan kebahasaan Indonesia. Di luar Pujangga Baru sebenarnya karya sastra sudah mengarah kepada imaji kebangsaan (perlawanan, persatuan, dan kemerdekaan) berupa karya sastra yang dianggap picisan, cabul, dan bacaan liar lainnya. Tetapi, konsep modern dalam bahasa dan sastra Indonesia modern mengeksklusi karya sastra dalam kategori yang disebut terakhir tersebut.

Dalam kanon sastra Indonesia Sutan Takdir Alisjahbana terutama melalui polemik kebudayaan menyebut bahwa identitas kebangsaan, manusia Indonesia, mesti belajar ke Barat (bukan mengikuti Barat) dengan prinsip subjek modern. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi pada masa itu: masa keterpurukan di bawah rezim kolonial. Persoalan kolonial menjadi bingkai utama dalam memandang identitas manusia Indonesia. Demikian persoalan tersebut kemudian menjadi polemik yang melibatkan pemikiran tentang konstruksi identitas kebangsaan, manusia Indonesia, dan orientasi budaya Indonesia yang baru. Polemik identitas tersebut, yang juga dalam konteks sastra, sebenarnya berkaitan dengan apa dikatakan Umar Kayam, bahwa sastra berkelindan dengan variabel politik. Pergerakan nasional yang dirumuskan oleh elit pemikir masa 1920-1930 melanjutkan semangat perlawanan menjadi semangat perjuangan kemerdekaan, yang keduanya membedakan diri antara yang dijajah (pribumi) dengan yang menjajah (kolonial). Karya sastra yang terbit di daerah-daerah dengan pelbagai bentuk gaya dan bahasa sudah lebih dulu menunjukkan semangat perlawanan tersebut, misalnya, Rasa Merdika (1917), Student Hidjo, (1919), atau Mata Gelap (1914) karya-karya Marco Kartodikromo-beberapa tahun sebelum Azab dan Sengsara (1920) terbit. Student Hidjo pada masanya dianggap dengan bacaan liar. Berikutnya karya-karya seperti Hikayat Kadiroen (Semaoen) atau karya-karya yang disebut picisan atau cabul terbitan keturunan Tionghoa perlu ditinjau ulang dari perspektif kebangsaan. Dalam Roman Pergaulan, misalnya, tampak adanya narasi perjuangan dan perlawanan terhadap kolonial yang memuat gambaran identitas bahwa pribumi yang dijajah berbeda dengan yang menjajah.

Pembedaan identitas (identifikasi diri) tersebut menunjukkan bahwa persoalan kebangsaan yang bersifat sosio-kultural sudah menjadi perhatian pengarang pada masa itu-setidaknya gambaran tersebut disponsori oleh pandangan moril, yang merujuk pada oposisi hitam-putih, yang baik-buruk, tercela-terpuji, pribumi-asing, dijajah-menjajah. Persoalan sosio-kultural tersebut erat kaitannya dengan struktur masyarakat yang dibentuk oleh nilai-nilai kolonial dalam berbagai aspek kehidupan melalui formasi diskursif. Sedangkan karya-karya yang diproduksi Balai Pustaka pada umumnya kurang menonjolkan aspek politik identitas kolonial kecuali identitas lokal dan tradisi, yang pada waktu itu kemudian dikonstruksi dapat menjadi penghambat terbentuknya imaji persatuan bangsa. Dengan kata lain bahasa daerah, pergerakan daerah, tradisi lokal, atau pusat-pusat di daerah dianggap menghambat pusat utama kesatuan imaji bangsa. Konstruksi imaji kesatuan bangsa secara tidak langsung menekan yang lama (tradisi dan ruang lokalnya) dan mengangkat yang baru (modern, pusat, nasional).

Dengan demikian tampak paradoks, pertama, modern (yang sebenarnya dibawa oleh Barat) menjadi semacam alternatif; kedua, persatuan kebangsaan dan nasionalisme dalam perspektif kolonial membuat pusat utama dengan menggeser pusat-pusat lokal, yang dianggap periferi. Pandangan Takdir dan modernitas yang diusung masa tersebut dapat dipahami dalam konteks historisnya. Tetapi, hal terakhir ini berpengaruh pada konstruksi historis keindonesiaan. Dengan demikian unsur tradisi dan lokal cenderung kurang diperhatikan dan dihindari. Penghindaran yang sebenarnya masih merujuk pada konstruksi formasi diskursif kolonial-Bambang Purwanto (2006) menyatakan bahwa dominasi perspektif indonesiasentris dalam historiografi Indonesia berdampak logis pada pembedaan antara yang pusat dengan pinggiran, oposisi antara kesatuan dan kedaerahan, tetapi juga penekanan yang berlebihan pada nasionalisme sehingga dalam konteks ini pula muncul yang disebut sosok pahlawan dan sebaliknya. Dalam konstruksi demikian tentu menjadi logis adanya perlawanan terhadap kolonial. sedangkan normalisasi nasionalisme yang menurunkan karya-karya romantis-emansipatif tersebut berbeda nasib dengan modernitas yang justru tidak ditolak dan bahkan menjadi perangkat perlawanan-konstruksi mengenai pentingnya pendidikan misalnya. Selebihnya, modernisasi dipertentangkan dengan lapisan-lapisan tradisi.

Dengan demikian, pada masa awal kemerdekaan (dan revolusi) formasi diskursif yang dibentuk adalah konstruksi politik kolonial. Begitu pula dengan sastra yang dipandang juga mengikuti formasi tersebut terlebih dalam karya sastra, yang pada masa itu cenderung realis. Formasi tersebut dalam sastra menggeser fokus identifikasi dari persoalan (politik) kolonial kebangsaan ke arah persoalan politik modernitas kultural mengenai tradisi yang mengekang, yang menghambat perkembangan dan berpikir maju. Dalam formasi terakhir ini manusia Indonesia dikonstruk apolitis, manusia yang modern, berpikir rasional, maju, dan berpendidikan apolitis. Dalam konstruksi ini pula sistem pendidikan diarahkan kepada pembebasan kebodohan yang identik dengan unsur mistis dan tahayul, bukan diarahkan dari pembebasan politik (dalam bingkai dominasi kolonial). Maka, sebaliknya pun perjuangan kemerdekaan Indonesia pada masa itu lebih tampak menekan pada perlawanan politik daripada aspek sosial dan ekonomi. Sehingga, dapat dikatakan perjuangan masa tersebut sebagai upaya revolusi politik, sedangkan revolusi sosial ekonomi bangsa kemudiankan. Masa tersebut oleh Takashi Shiraisi (1990) disebut dengan masa mencari bentuk perlawanan dalam transformasi iklim politik, sebagai suatu konstruksi terhadap identitas kebangsaan, baik dalam bentuk sastra dan budaya maupun pemikiran dan pergerakan politik, termasuk pembentukan identitas manusia Indonesia. Pembentukan identitas subjek manusia Indonesia yang secara historis didasari oleh sistem nilai kolonial (politik etis), termasuk dalam paradigma kolonial (yang modern)-sebagaimana konstruksi kanon sastra Indonesia modern dimulai sejak Azab dan Sengsara (1920).

Pembentukan identitas secara ideologis pada sistem nilai kolonial melalui pendidikan (politik etis) diajarkan langsung kepada beberapa generasi, kepada generasi elit yang berpendidikan termasuk di dalamnya cendikiawan dan sastrawan. Pembentukan tersebut sampai pada masa pasca-kemerdekaan. Umar Kayam pernah menyatakan bahwa generasi 1950-an dan seterusnya dipengaruhi oleh kebudayaan Indonesia yang terkait erat dengan semangat kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Masa dan generasi pasca kemerdekaan menggeser paradigma kolonial sebagai generasi bangsa yang merdeka, meskipun tidak lepas dari sistem nilai yang sudah terbentuk sebelumnya (modernitas).

Pada masa pasca kemerdekaan yang menjadi pusat bukan lagi kemerdekaan politik sebagai bangsa, tetapi kemerdekaan sosial, budaya dan ekonomi sehingga dikatakan bahwa perjuangan atau merdeka belum 100 persen. Demikian, permasalahan muncul pada masa pasca-kemerdekaan, yakni, misalnya, bagaimana mengisi kemerdekaan, nasionalisme pasca-merdeka, sehingga beberapa pengarang yang memandang persoalan tersebut merasa perlu menyuguhkan kembali narasi-narasi kebangsaan, sembari mengingatkan bahwa perjuangan mencapai hakikat kemerdekaan belum selesai. Hal ini searah dengan semangat masa Soekarno yang mengobarkan semangat nasionalisme yang anti-imperialisme dan neo-kolonialisme.

Dalam pemahaman yang lain, Mochtar Lubis yang hidup lintas generasi dan pernah dipenjara masa Soekarno dan Soeharto menyatakan bahwa musuh kita adalah diri sendiri. Hal ini tampak cukup retorik untuk mengatakan refleksi diri atas pencapaian kemerdekaan. Refleksi tersebut sebenarnya merujuk pada kertas kerjanya dalam Seminar Internasional Quaker tentang Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Nilai di Kuala Lumpur sekitar akhir 1960-an, yang di dalamnya Mochtar Lubis mendasarkan argumentasinya pada Mydral dalam Asian Drama. Lebih lanjut, dikatakannya bahwa nasionalisme tidak memadai lagi (1992). Nasionalisme bangsa merdeka berbeda dengan nasionalisme masa kolonial. Nasionalisme, menurutnya, sebagai ideologi dan sumber tenaga pendorong kini perlu ditinjau kembali agar, “…menjadi citra konstruktif, kebutuhan akan kerja keras untuk membangun keadilan sosial dan ekonomi bagi kebanyakan orang, menanamkan disiplin dan tanggungjawab sosial yang kokoh… menciptakan kemajuan material dan rohani bagi rakyat, dan karena ituナ mampu memberikan sumbangan bagi kesejahteraan seluruh umat manusia.” Dalam konteks ini pula Mochtar Lubis menyampaikan (oto) kritik dan refleksi manusia Indonesia beserta kekecewaannya, seperti dalam “Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban” (1977) yang memuat beberapa karakter manusia Indonesia: munafik, enggan bertanggung jawab, feudal, mistis atau takhayul, berwatak artistik, lemah atau tidak berpendirian. Tetapi sesungguhnya, penekanan Mochtar Lubis adalah pembangunan watak dan kesadaran manusia Indonesia, sebab manusia Indonesia adalah pelaku dan bertanggungjawab atas kebudayaannya sendiri.

 

Pada tahun yang sama, Mochtar Lubis juga menerbitkan novel sejarah perjuangan Maut dan Cinta (1977). Cita-cita kemerdekaan dalam pandangan Mochtar Lubis pada hakikatnya membebaskan dari segala bentuk penindasan, tidak hanya dari penjajah tetapi juga termasuk dari kemiskinan dan kesengsaraan. Untuk itulah menurutnya cita-cita kemerdekaan perlu dinarasikan kembali, seperti melalui novelnya tersebut. Dalam kata pengantar novelnya itu dia menyebutkan bahwa novel tersebut sebagai refleksi atas cita-cita perjuangan mencapai kemerdekaan, terutama kepada sosok pemimpin. Disebutkan melalui tokoh Sadeli bahwa “Bangsa kita akan belajar dari sejarah. Demikian pula pemimpin kita. Janganlah sia-sia hendaknya segala pengorbanan pemuda dan rakyat Indonesia ini” (1977: 235). Dengan demikian menurutnya, peran sastra adalah sebagai saksi dan cermin sejarah manusia, sebagai bagian dari ingatan sebuah bangsa (1992: 352).

 

Sebelum Maut dan Cinta Mochtar Lubis, Abdul Muis melalui Surapati (1950) juga menarasikan Surapati. Sosok historis yang hidup sekitar 1683-1706 di Jawa dinarasikan sebagai sosok yang dengan semangat pantang menyerah untuk membebaskan bangsanya dari perbudakan Belanda; semangat dan nilai saling tolong-menolong, senasib seperjuangan, mendahulukan kepentingan membela tanah air daripada kepentingan pribadi. Begitu juga novel yang diterbitkan Muis berikutnya Robert Anak Surapati (1953). Diceritakan Robert, anak Surapati yang indo, berangkat ke Jawa menjadi prajurit Belanda. Dalam suatu pertempuran Robert ditangkap oleh Suropati, ayahnya sendiri yang belum mengenalinya. Ketegangan batin terjadi. Akhirnya, disiratkan bahwa kemudian Robert mengikuti perjuangan Suropati setelah ayahnya itu meninggal dalam pertempuran melawan kolonial. Selain kegigihan semangat juang melawan Belanda, keberpihakan menjadi tema pokok cerita, Robert yang lahir keturunan indo kemudian memilih memihak pribumi.

Cerita kepahlawanan dan pemberontakan masa kolonial menjadi berbeda ketika dinarasikan pada masa pasca-merdeka. Jika sosok Suropati dalam paradigma kolonial dipandang sebagai pemberontak oleh Abdul Muis dipandang sebagai pahlawan. Demikian cara pandang melihat masa lampau dalam bingkai Indonesiasentris, sebagaimana disebut Purwanto di atas. Sedikit berbeda dengan Abdul Muis, Toha Mohtar menarasikan sosok pahlawan dalam novel Pulang (1958, 2002). Toha menarasikan kehidupan seorang Indonesia yang menjadi tentara Jepang yang sebenarnya pengkhianat tetapi dianggap sebagai pahlawan, sebab itulah batinnya menderita. Tetapi, pada akhirnya ia memutuskan pulang ke kampung dan membangun desanya. Pahlawan atau bukan bagi Toha Mohtar dianggap sebagai masa lampau yang kemudian tidak relevan untuk pembangunan atau mengisi kemerdekaan tanah air yang dicintainya. Tampak dalam karya tersebut narasi perjuangan dan kemerdekaan diandaikan belum usai meski pertempuran (fisik) sudah selesai, dengan kata lain mengandaikan bahwa perjuangan pada kehidupan masa mendatang mesti dilanjutkan.

Narasi mengenai perjuangan yang belum selesai pun dinarasikan oleh Trisnojuwono melalui novel Pagar Kawat Berduri (1961). Dalam narasinya tokoh pejuang gerilya yang ditangkap, dipenjarakan dan tapi kemudian berhasil lolos dari penjara dan ada yang sebaliknya. Citra karakter-karakter dalam novel ini adalah para pejuang (nasionalis) yang ditahan memiliki perasaan senasib seperjuangan, yang mestinya saling membantu dan menolong. Penekanan cerita tampak pada perasaan yang hendak bebas dan melanjutkan perjuangan yang belum selesai. Dari sekian pejuang yang ditahan satu orang yang berhasil lolos bebas hidup-hidup: Herman, sosok yang gigih, cermat, dan berhati-hati. Menariknya, seorang pemimpin penjara (Pieter Koenen) yang juga Belanda merasa dikhianati, kecewa dan putus asa-merasa sia-sia sebab usahanya bersahabat dengan orang tahanan yang Indonesia gagal.

 

Pada tahun 1979 Ismail Marahimin juga menerbitkan novel Dan Perang Pun Usai. Narasi berkisar di barak tahanan masa pendudukan Jepang. Pengarang seperti hendak menyampaikan bahwa peperangan selalu menimbulkan kerugian, kematian dan kekalahan tidak dapat dielakkan. Pada hakikatnya semua manusia dicitrakan ingin bebas. Tokoh Jepang (Letnan Ose) tidak menginginkan dunia bebas dari perang, interniran Belanda ingin bebas dari tahanan sebab martabatnya, dan orang-orang Indonesia menginginkan kelangsungan hidupnya.

Pramoedya Ananta Toer pada 1980-1987 melalui tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) mengangkat persoalan kebangsaan secara kompleks. Bentuk perlawanan dan perjuangan dinarasikan lebih konseptual dalam bentuk gerakan sehingga tampak gambaran pemikiran mengenai bangsa dan nasionalisme. Pramoedya tampak tidak saja menggambarkan penolakan tersebut tetapi juga menyusun gagasan, rencana, dan gerakan melawan kolonialisme, imperialisme, borjuisme, feodalisme, serta kebodohan dan kelemahan tidak hanya terhadap yang asing tetapi juga terhadap orang pribumi. Personifikasi tokoh Minke dalam kaitannya dengan suatu gerakan masa kemerdekaan seperti mengingatkan pada narasi Matu Mona dalam Patjar Merah Indonesia (1938, 2001). Jika nasionalisme Patjar Merah dihadapkan pada ketegangan ideologis (komunis) dan pilihan cinta tanah air, nasionalisme Minke mengarah pada pergerakan nasional yang berkelindan dengan suku daerah. Kesetiaan kepada tanah air Minke lebih difokuskan pada gerakan kebangkitan nasional di dalam Hindia Belanda daripada Patjar Merah yang cenderung kepada Pan Malaya; Minke bergerak dari dalam dan Patjar Merah dari jaringan luar, dengan penekanan yang berbeda, tetapi keduanya oleh pengarang dinarasikan dalam rangka perjuangan kebangsaan.

Beberapa narasi-narasi di atas hanya sekian representasi dari narasi yang berupaya mengkonstruksi imaji kebangsaan. Beberapa narasi tersebut tidak lepas dari formasi diskursif pada zaman colonial, beserta kehidupan pengarang dan wacana kesusastraan Indonesia modern. Dari pengarang Marcokartodikromo sampai Pramoedya narasi perlawanan terhadap tidak berubah, bahwa penindasan dan ketidakadilan adalah musuh yang harus dilawan. Namun, pada narasi Pulang Toha Mohtar dan setelahnya pandangan mengenai lawan dan kawan terutama mengenai sosok pahlawan menjadi beragam, sosok manusia tidak hitam-putih yang mudah diidentifikasi. Sebenarnya identifikasi tersebut telah muncul sebelumnya, bahwa personifikasi dan konstruksi identitas manusia dalam narasi tidak digambarkan statis; perkembangan mental dan psikis tokoh beserta kegelisahannya. Demikian manusia Indonesia yang dinarasikan dalam suatu besar nasionalisme dengan bingkai kolonial.

Jika dalam narasi di atas berangkat dari zaman perjuangan, hal yang berbeda ditunjukkan Matu Mona dalam Zaman Gemilang (1938, 2000). Melalui narasi sejarah lama (Singosari, Dhaha-Kediri dan Majapahit) Matu Mona mengusung semangat dan cita-cita leluhur, yakni “menyatukan seluruh Nusantara ini, menghilangkan perbedaan bangsa, bahasa, serta budaya” (hlm. 211). Cita-cita tersebut hanya dapat diwujudkan dengan semangat patriotik, “Majapahit, moga-moga penduduknya, rakyatnya semua akan pahit pula darahnya, tiada mudah dijajah dan disemenakan bangsa lain” (hlm. 214). Demikian zaman gemilang Majapahit yang menyatukan kerajaan Dhaha, Singasari, dan Majapahit, yang digambarkan sebagai perlambang seluruh Nusantara dengan pesan “di situ raga rakyat digembleng supaya sadar akan semboyan: bertanah air satu” (hlm. 230).

Semangat bertanah air satu Matu Mona dalam Zaman Gemilang mempunyai kesamaan dengan Patjar Merah Indonesia yang keduanya diterbitkan pada tahun yang sama. Pencarian arah kebangsaan yang satu dan merdeka disandarkan pada kejayaan Nusantara masa lampau. Tetapi, bukan berarti Zaman Gemilang tidak memandang ke masa depan: cita-cita kemerdekaan suatu bangsa. Pada bagian akhir Zaman Gemilang Matu Mona atau Hasbullah Parinduri menyebutkan suatu perampasan kekuasaan masa Jayanegara oleh Kuti, dengan pengungkapan yang menyadarkan pembaca pada Zaman Gemilang terbit, masa-masa perjuangan menjelang kemerdekaan.

 

 “Apakah yang kalian hadapi sekarang, saudara-saudaraku, kalau bukan kemelaratan, kesengsaraan, ibarat ikan tak berekor, laksana burung tak berkepak? Tahukah apa yang harus kita perbuat untuk mengubah nasib kita? Pada diri kalian terletak nasib kalian sendiri, ingin terus terbelenggu seumur hidup menjadi boneka bernyawa ataukah ingin merdeka seperti garuda di Gunung Merbabu!”

“Kami ingin merdeka seperti burung garuda itu!”

“Kalau demikian gemblenglah jiwamu! Kita akan melakukan perampasan kekuasaan, karena di zaman ini siapa yang kuat maka ia akan di atas, siapa yang lemah maka ia di bawah! Kita sebenarnya berada di pihak yang kuat, mengapa kita sudi bernaung di bawah pihak yang lemah? Pulanglah ke tempat masing-masing, kumpulkan rekan-rekanmu supaya kalau tiba perintah kilat dariku, kita dapat melaksanakan cita-cita bersama!” (hlm. 231-232).

Zaman Gemilang diterbitkan pada 1938 dan 1950. Kemudian terakhir kembali diterbitkan pada 2000. Sementara pada tahun 2000-an tidak sedikit pengarang yang menggangkat narasi sejarah lama Nusantara seperti halnya Matu Mona. Sebelum novel Matu Mona, Nur Sutan Iskandar dalam Hulubalang Raja (1934, 1977) juga menulis narasi kebangsaan (cinta tanah air) pada masa kerajaan abad ke-17. Novel tersebut mengangkat persoalan perang saudara antara dua kerajaan di sekitar Minangkabau (1662-1667) yang dipimpin oleh anak raja Hulu (Sutan Ali Akbar/Raja Adil) dan Raja Hilir (Sutan Muhammad Syah). Dalam perang tersebut Raja Hilir meminta bantuan kepada pihak Kompeni. Tetapi, koalisi Raja Hilir dengan Kompeni tidak berhasil mengalahkan Sutan Ali Akbar. Pada hal lain justru kehadiran Kompeni mendapat perlawanan sengit dari penduduk setempat. Dalam usaha mengalahkan Sutan Ali Akbar, Raja Hilir dibantu oleh Hulubalang Raja, Sutan Malakewi yang digambarkan sebagai sosok yang tangguh dan kuat. Sedangkan Sutan Ali Akbar digambarkan sebagai sosok yang pemberani, gigih dan melawan ketidakadilan. Singkat cerita, dalam suatu peperangan habis-habisan pihak Malakewi dan koalisi hampir mengalami kekalahan. Malakewi terluka dan berhasil melarikan diri. Tetapi, adiknya ditangkap oleh Sutan Ali Akbar, yang kemudian dijadikan sebagai istrinya. Mendengar hal itu Malakewi tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, musuhnya itu telah menjadi adik iparnya sendiri. Dari narasi tersebut tampak bahwa permusuhan dan masa lalu kemudian dimaafkan dan dilupakan atas dasar persaudaraan dan kekeluargaan.

Sebagaimana disebutkan, narasi realis pada masa sekitar 1920-1940 cenderung dominan daripada narasi historis. Nur Sutan Iskandar pada 1944 secara eksplisit melalui novel Cinta Tanah Air menarasikan nasionalisme dan perlunya persatuan dalam membangun cita-cita bersama: kemerdekaan Indonesia, dimana pada masa pendudukan Jepang janji kemerdekaan tidak kunjung tiba, tetapi justru yang datang adalah Belanda. Pengarang seperti menulis sebuah seruan atau ajakan untuk membangun masa depan tanah airnya. Meski dalam novel tersebut semangat itu disematkan dalam bingkai hubungan kasih Amiruddin dengan Astiah sebagaimana sebuah roman pada masanya. Tetapi tampak berbeda dengan Idrus dalam narasi-narasi Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948). Semangat kebangsaan pada masa Jepang Idrus dinarasikan cukup kritis bahkan cenderung bernada sinis, tetapi secara umum seperti menyatakan ketidakrelaan jika harga diri dan kebebasan manusia Indonesia diinjak-injak. Narasi historis masa pendudukan Jepang dalam karya sastra pada masa 2000an juga mendapat perhatian, terlebih oleh Suparto Brata dalam novel Surabaya Tumpah Darahku (1978), Saksi Mata (2002), trilogi Kerajaan Raminem (2005) dan Mahligai di Ufuk Timur (2007), dan November Merah (1984) yang meliputi masa Pertempuran 10 November 1945. Bahkan Suparto Brata, pengarang yang juga menulis dalam bahasa Jawa, sampai menulis novel sejarah mengenai peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948 dalam Mencari Sarang Angin (2005) dan tragedi 30 September 1965 dalam novel Kremil (2002).

Dalam narasi-narasinya Suparto Brata cenderung menekankan adanya suatu transformasi yang tidak semata-mata hitam-putih-dengan tidak menyebut bahwa selain karya Suparto adalah hitam-putih, sebab kecenderungan mengidentifikasi narasi dan subjeknya dalam bingkai oposisional akan menutup adanya kemungkinan lain, baik kompleksitas maupun muatan kritis yang termuat dalam teks sastra tersebut. Dalam Gadis Tangsi (2004) dan Mencari Sarang Angin (2005) misalnya, kedua novel tersebut mengangkat masa kolonial yang justru penekanan narasi pada persoalan perbaikan kehidupan keseharian; lagu-lagu masa kanak-kanak dan permainan tidak luput dari narasi Suparto. Meski demikian, secara implisit semangat perjuangan pada masa kolonial membingkai narasi kehidupan tokoh-tokohnya. Masa politik etis kolonial dimanfaatkan para tokoh seperti Rokhayah dalam Mencari Sarang Angin dan Teyi dalam Gadis Tangsi untuk mendapatkan pendidikan. Sebab, menurutnya melalui pendidikan dapat membangun hidup yang bermartabat, merdeka, kemajuan bangsa dapat dicapai melalui kemauan belajar dan kebodohan yang menindas mereka. Dengan demikian, novel tersebut seperti menunjukkan bahwa musuh bukan semata-mata Belanda dan penjajah bukan berarti hanya Belanda. Belanda dan pribumi tidak diposisikan dalam hubungan yang bertentangan, tetapi dalam jaringan kehidupan yang kompleks. Hal demikian sebenarnya juga sudah tampak dalam novel Pulang (1958) Toha Mohtar, Pagar Kawat Berduri (1961) Trisnojuwono, Dan Perang Pun Usai (1979) Ismail Marahimin, termasuk yang lebih tampak jelas narasi-narasi Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi Buru. Narasi-narasi tersebut sebenarnya mengarah pada suatu rekonsiliasi sejarah, dengan suatu pemahaman bahwa peristiwa masa lampau melalui suatu konstruksi imaji teks sastra pada masa kini.

Berikutnya narasi-narasi tersebut diantara juga mengolah sejarah nusantara masa-masa kerajaan, yang meskipun juga mewacanakan identitas kebangsaan seperti Matu Mona, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, bahkan Yahmin dalam Gajah Mada (1934) dan Diponegoro (1950) sampai dengan Pramoedya dalam Arus Balik, Arok Dedes, dan narasi lainnya, pada masa 2000-an diangkat kembali. Diantaranya yang mencuat adalah seri novel Gajah Mada (2004), Candi Murca, Perang Paregrek, sampai Menak Jinggo (2013) Langit Kresna Hariadi; Perang Makassar 1669: Prahara Benteng Somba Opu (2011) S.M. Noor; Pulang (2013) Leila S. Chudori; Perang Bubat (2009) Aan Permana Merdeka; Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit (2005), Niskala, Gajah Mada Musuhku (2008) Hermawan Aksan; Pangeran Diponegoro (2008) Remy Silado; Singgasana Terakhir Pajajaran (2010) Tatang Sumarsono; Pararaton (2011) Wid Kusuma; Amangkurat: Mendung Memekat di Langit Mataram (2012) Ardian Kresna, dan karya-karya lain yang bertolak dari sejarah Aceh, Makasar, Bali, dan sejenisnya.

Dari teks sastra sejarah di atas tampak adanya suatu pandangan terhadap narasi besar kebangsaan. Pertama, hampir seluruhnya narasi tersebut berangkat dari pemahaman politik kekuasaan, seperti diantaranya novel sejarah yang mengangkat kondisi masa lampau mengikutsertakan (atau membingkai dirinya) persoalan kekuasaan: perebutan kekuasan dan standar nilai dan konsekuensi yang menyertainya-pertempuran, keberanian, pengorbanan, kekalahan dan kemenangan, dan seterusnya. Artinya, melalui konstruksi sejarah manusia diposisikan sebagai subjek yang dapat diidentifikasi. Kedua, narasi-narasi tersebut bermotif nasionalisme-kemerdekaan politik masa kolonial yang tertutup atau terbuka terhadap hadirnya pandangan pihak lain. Identifikasi terhadap perbedaan dan atau pembedaan identitas kemudian dipandang secara reflektif kekinian-sebagaimana menghadirkan pandangan pihak penjajah melihat yang dijajah. Ketiga, identifikasi diri tersebut kembali pada apa yang disebut dengan otokritik manusia Indonesia Mochtar Lubis. Dengan demikian, usaha-usaha untuk melanjutkan kemerdekaan, perjuangan, dan cita-cita kebangsaan manusia Indonesia mesti memaknai narasi-narasi tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa nasionalisme dalam perspektif masa kemerdekaan tidak lagi memadai.

Dalam persoalan kebangsaan tersebut Mangunwijaya juga berpendapat bahwa seorang manusia warga Negara Indonesia juga dapat menjadi warga dunia. Manusia pasca-Indonesia atau pascanasional, demikian disebutkan oleh Mangunwijaya. Kemerdekaan Indonesia yang telah dicapai hanya menjadi suatu simbol belaka jika mental-mental feodal tidak disingkirkan. Simbol tersebut dinarasikan melalui karakter-karakter yang mirip dengan karakter pewayangan di dalam novel-novelnya. Karakter manusia Indonesia yang dinarasikan Mangunwijaya disebut-sebut menggambarkan sosok problematis yang mengarah pada krisis identitas. Suatu konstruksi manusia Indonesia yang menghadapi kenyataan pasca-kemerdekaan. Kenyataan yang jelas dinarasikan Mangunwijaya di dalam Balada Becak (1985). Untuk itulah Mangunwijaya cenderung menyoroti elit-elit masyarakat yang mestinya berperan dalam melayani orang-orang miskin, tertindas dan termarjinalkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa menggalakkan semangat nasionalisme dan kemerdekaan atau mengkonstruksi identitas kebangsaan tetapi mengabaikan kenyataan dan hal-hal yang membelenggu kemanusiaan dan kehidupan mendatang yang lebih baik. Kenyataan yang cukup representatif dinarasikan Mangunwijaya diantaranya dalam Burung-Burung Manyar (1981), Burung-Burung Rantau (1993), Durga Umayi (1991) dan lainnya.

Nasionalisme yang dilihat dengan cara pandang masyarakat bawah Mangunwijaya tersebut dilengkapi dengan perspektif global, seperti yang menonjol karakter dalam Burung-Burung Rantau menunjukkan demikian identitas manusia Indonesia (pasca-nasional). Di dalam karya-karyanya Mangunwijaya tidak mengabaikan kontruksi historis untuk menarasikan identitas. Persoalan identitas sebagaimana disebutkan yang pada dasar konstruktif akan selalu bersifat politis. Demikian pula, terlebih lagi, dalam teks sastra sejarah yang juga sejak awalnya bersifat konstruktif. Tetapi, konstruksi yang demikian dalam pembicaraan identitas subjek manusia Indonesia merupakan persoalan kebangsaan; persoalan suatu bangsa dalam proses mengada (mode of being); proses yang menjadikan diri (tetap) ada. Dengan demikian dalam pandangan sejarah, proses konstruksi akan menghadapi ketegangan suatu masa dan (kuasa) politik identitas yang tidak pernah selesai.

Pada akhirnya, pembicaraan di atas juga tidak luput dari upaya rekonstruksi dari jejak-jejak narasi dari masa lampau. Mangunwijaya dalam Durga Umayi menunjukkan bahwa perlawanan narasi besar yang mengkonstruksi nasionalisme yang tidak lagi memadai. Narasi tersebut mesti dipandang dari nasionalisme rakyat bawah, bukan nasionalisme elit. Pembangunan kebangsaan diperlukan untuk tidak mengabaikan masyarakat kecil dan yang dimarginalkan. Dengan demikian, suatu konstruksi mendekat dengan realitas masyarakatnya. Kemudian, dalam pada itu sekaligus menolak pandangan framing again the enemies, suatu pertentangan yang sesungguhnya hanya menggeser pusat dan kuasa dominasi. Jika tidak maka narasi perjuangan melawan penjajah kolonial masa lampau berhadapan dengan dilema-dilema pascakolonial. Menghadapi persoalan tersebut, potret manusia Indonesia di atas dalam narasi teks sastra sejarah perlu dilihat dalam kaca mata riil, suatu kenyataan sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang beragam sehingga manusia Indonesia tidak tunggal dan dinamis dengan berangkat dari semangat kaum bawah dan lebih egaliter.

Pada dekade terakhir diterbitkan novel-novel sejarah yang cukup menarik perhatian publik pembaca diantara yang disebut di atas: Perang Bubat (2009) Aan Permana Merdeka, Tirtaganda (2012) A.K. Armaya, Perang Makassar 1669: Prahara Benteng Somba Opu (2011) S.M. Noor, Menak Jinggo (2013) Langit Kresna Hariadi, Pulang (2013) Leila S. Chudori. Sejarah nusantara, sejarah lokal dan sejarah tragedi 30 September 1965 ternyata masih cukup membekas dalam teks sastra dewasa ini. Pada pertemuan Borobudur Writer 2012 diwacanakan bahwa sejarah Indonesia, terutama masa klasik masih belum tergali. Hal tersebut terjadi pula dalam historiografi Indonesia, di berbagai daerah nusantara. Demikian halnya dengan sejarah 30 September 1965 yang sarat politik, Adi Wicaksono dalam suatu pembicaraan di Salihara pernah menyatakan bahwa peristiwa masih berkabut, meskipun represi rezim orde baru sudah berganti dengan era pasca 1998 yang lebih terbuka daripada rezim sebelumnya.

S.M Noor dalam novel Perang Makassar 1669 menarasikan peristiwa perang mempertahankan kerajaan Gowa masa Sultan Hasanudin (I Malombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape). Gowa pada masa tersebut tidak hanya berhadapan dengan Kompeni tetapi juga kerajaan-kerajaan sekitar yang telah dimanfaatkan oleh siasat politik Kompeni. Gowa diperkuat oleh pahlawan-pahlawan yang gagah berani dan tangguh diantaranya Karaeng Makkaruni, Karang Memang, Karaeng Riolo, Gallek Karaenta, dan lainnya termasuk Karaeng Mappasossong (Galesong; Issong)-yang juga disebut dalam Arus Balik Pramoedya Ananta Toer, yang setelah perjanjian Bongaya membantu Trunojoyo melawan Kompeni).

Dalam narasinya, S.M. Noor yang juga dosen Hukum Internasional tidak terjebak dalam perspektif kolonial semata. Artinya, posisi kerajaan Gowa hanya berhadapan dengan Kompeni Belanda, tetapi lebih terbuka dengan pandangan global bahwa narasi kolonial berkaitan dengan politik perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lain di nusantara dan bangsa Eropa lainnya. Keterbukaan Gowa dalam politik dan perdagangan disejajarkan dengan potensi geopolitik serta kemampuan bahari (maritim)-nya. Nilai-nilai patriotik tokoh-tokoh di dalam narasinya direpresentasikan sebagai upaya mempertahankan harkat dan martabatnya sebagai manusia yang bertanah air (Gowa). Dalam hal ini konsep atau imaji keindonesiaan belum terbentuk tetapi orientasi kebangsaan (tanah air) sangat tampak, “Bagi kami prajurit Gowa tanggung jawab itu yang harus kami tegakkan. Tanggung jawab terhadap kehormatan dan harga diri” (hlm. 120). Kemudian dalam satu pembicaraan, “ナjika pun suatu saat raja terpaksa menandatangani penyerahan Somba Opu kepada Kompeni dan sekutu-sekutunya, kami sudah sepakat dengan Karaeng Issong dan para prajurit untuk terus memberontak, mengadakan perlawanan terhadap Kompeni. Ini bukan soal sakit hati, tetapi lebih soal harga diri dan kami tidak rela berlutut di hadapan penguasa pengecut” (hlm.121).

Semangat yang demikian sebenarnya juga dihadirkan Pramoedya dalam Jejak Langkah, terutama ketika mengetahui keberanian dan ketangguhan Bali dan Aceh mempertahankan tanah airnya menghadapi Kompeni dan sekutu-sekutunya. Demikian juga dengan Armaya dalam Tirtaganda. Armaya sebagaimana dengan S.M. Noor tidak terjebak dalam pandangan tertutup menarasikan cinta tanah air (kedaerahan dan kebangsaan) dengan segenap persoalannya terutama perihal kolonialisasi. Keduanya menghadirkan Gowa dan Blambangan sebagai bangsa yang terbuka, yang mempunyai hubungan internasional dengan bangsa-bangsa lain. Pandangan yang demikian mengarahkan bahwa kerajaan masa tersebut tidak hanya berorientasi agraris tetapi juga maritim melalui perdagangan atau perniagaan. Melalui Tirtaganda Armaya menghadirkan Blambangan sebagai kawasan yang mempunyai potensi pertanian subur sekaligus sebagai dermaga. Posisi Blambangan dalam jalur perdagangan (perniagaan) dan penghasil bumi pertanian memicu persaingan (elit) di dalam kerajaan dan kerajaan lain di nusantara serta diikuti oleh masuknya politik Kompeni memonopoli jalur perdagangan Blambangan dengan pihak luar, termasuk Inggris, Portugis, Timur tengah dan Tionghoa, hal tersebut juga tampak dalam narasi S.M. Noor, dimana hubungan Gowa dengan kerajaan lain di sekitarnya dan hubungannya dengan Prancis yang kemudian memberikan bantuan meriam karena menentang monopoli Kompeni.

Sedangkan semangat kegigihan Blambangan dinarasikan Armaya melalui perlawanan yang hingga turun-temurun sebagaimana dalam Surapati dan Robert Anak Surapati. Hal yang sama juga ditunjukkan Karaeng Galessong dan prajurit-prajurit Gowa yang lain setelah perjanjian Bongaya dalam Perang Makassar 1669. Persoalan yang tidak luput dari narasi sejarah politik adalah perebutan kekuasaan dan intrik politik internal yang memicu adanya hubungan dengan pihak asing, Kompeni. Armaya menunjukkan bahwa kehadiran Kompeni tidak serta merta tanpa stimulan dan undangan dari ‘orang dalam’. Danuningrat dalam Tirtaganda meminta bantuan Belanda untuk mengamankan kekuasaanya di Blambangan, kerajaan Bone dan sekutu-sekutu Kompeni yang terhasut dalam Perang Makassar 1669, begitu juga dengan narasi-narasi sebelumnya baik dalam Hulubalang Raja Nur Sutan Iskandar sampai dengan Arus Balik Pramoedya Ananta Toer. Dengan demikian pandangan kebangsaan cinta tanah air oleh bumi putra atau pribumi sebenarnya tidak mutlak. Watak dan karakter dipandang pengecut, pengkhianat, dan oportunis serta berambisi dengan kekuasaan merupakan bagian inheren dalam pengertian identitas manusia Indonesia, hal yang juga disebutkan Mochtar Lubis di atas, meski hal tersebut diakui juga melekat pada diri manusia secara universal.

Lebih mencolok lagi dalam narasi Langit Kresna Hariadi dalam Menak Jinggo dan Perang Bubat Aan Permana Merdeka, yang lebih menekankan persoalan internal mengenai pergolakan intrik politik yang terjadi pada masa kerajaan. Sosok Gajah Mada dan Bhre Wirabumi (Menak Jinggo) dinarasikan dalam bingkai tarik-menarik intrik politik Majapahit. Sebagaimana diketahui kedua sosok tersebut dipandang kontroversial. Gajah Mada dalam pandangan Masyarakat Jawa dan Sunda, Wirabumi dalam masyarakat Jawa dan Blambangan (Banyuwangi). Dalam narasi Perang Bubat Gajah Mada tampak cenderung merekonsiliasi pandangan negatif Gajah Mada secara historis bagi masyarakat Sunda dengan segala persoalan politik yang dihadapi Majapahit dan Sunda pada masa tersebut, demikian halnya dengan Wirabumi yang oleh masyarakat Jawa selama ini disimbolkan sebagai sosok yang berkepala anjing, oleh Kresna Hariadi keturunan Blambangan tersebut justru dinarasikan tidak demikian. Wirabumi adalah putra raja Hayam Wuruk yang dekat dengan rakyat kecil masyarakat bawah, yang sama sekali tidak menginginkan kekuasaan dan menjauhi keterlibatannya dengan intrik politik bangsawan Majapahit. Tetapi, sebagai putra raja yang ditunjuk Hayam Wuruk sebagai putra mahkota yang bakal menjadi pengganti raja hal tersebut tidak terelakkan berhadapan dengan perebutan kekuasaan meski sebenarnya Wirabumi tidak menginginkannya.

Upaya rekonstruksi historis Langit Kresna Hariadi terhadap sosok Wirabumi dan Gajah Mada Aan Permana Merdeka di dalam narasi karya-karya dalam pandangan historis terhadap pembacaan teks sastra, bahwa masa lampau dipandang dalam konstruksi masa kini. Paradigma terakhir ini pada hakikatnya juga melekat pada teks sastra sejarah yang ditulis oleh pengarang masa kini. Bagaimana sosok pada masa lampau masa kerajaan nusantara dikonstruksi dalam narasi kepahlawanan, atau untuk membangun citra sebagai identitas manusia Indonesia yang cinta tanah air, dengan kegigihan mempertahankan martabat dan harga dirinya, ketidakrelaan tanah airnya dirampas dan masyarakatnya oleh pihak asing yang sewenang-wenang. Tanah air dalam narasi Pulang (2002) Toha Mohtar digambarkan dengan bumi (tanah, sawah, air) yang disimbolkan sebagai ibu pertiwi yang mesti diperjuangkan.

 

“Aku bercerita kemarin tentang pertempuran, kehancuran-kehancuran yang dibawanya, dan kematian-kematian. Itu lantaran peperangan yang mengamuk selama ini. Tetapi ia tidak berhenti di sana, dan sekarang aku tahu pelajaran yang diberikannya. Di sini, dalam rumah ini, ia minta pula korbannya. Aku pergi lantaran perang, dan kesengsaraan yang dibawanya merata ke tempat-tempat yang tidak pernah mendengar suara bedil” (hlm. 37)

 

“Kami hendak menunjukkan, bukan hanya di zaman gerilya, tapi di zaman damai ini kami hendak berjuang untuk sawah kami!” (hlm. 100)

Dengan judul novel yang sama dengan Toha Mohtar, Pulang, Leila S. Chudori mengangkat kembali peristiwa 30 September 1965. Perang dan tragedi dalam kedua narasi tersebut dipandang sebagai persoalan kemanusiaan, bukan sekedar politik; korban-korban yang ditimbulkannya adalah manusia-manusia yang belum tentu terlibat persengketaan tersebut. Bahkan narasi Pulang Leila S. Chudori tersebut melibatkan lintas generasi: generasi lama (tua) dan generasi baru (muda). Tokoh Lintang, mirip dengan Robert (Robert Anak Suropati Abdul Muis) yang kemudian menanggung beban sejarah, korban dari peristiwa masa generasi sebelumnya (Robert masa kolonial dan Lintang masa tragedi 1965). Namun, sebagai generasi muda-sebagaimana dalam pandangan Mochtar Lubis, Lintang dapat keluar dari kemelut tersebut dan mengatasinya, “Saya rasa, saya tak ingin memasukkan diri saya korban” (hlm. 258).

Dalam hal ini apa yang dihadapi generasi muda (kini) manusia Indonesia adalah being in action, suatu imaji keindonesiaan yang belum selesai-perjuangan (kemerdekaan) belum selesai dan tidak pernah usai, atau “jalan yang tak ada ujung” dalam istilah Mochtar Lubis. Demikianlah Lintang sebagai generasi pasca-Dimas merekonsiliasi pengertian dirinya sebagai manusia Indonesia, dengan “ナmenggali akarku. Mencari tahu sesuatu yang membentuk diriku…” (hlm. 153). Sementara kenyataan generasi Pulang (Leila S. Chudori) yang hidup pasca 1990-an berbeda dengan generasi muda Burung-Burung Rantau Mangunwijaya dengan penekanan tertentu. Kehidupan masyarakat yang dihadapi Lintang adalah masyarakat yang menyisakan jejak-jejak pola kolonial, sebagaimana dikatakan Mangunwijaya bahwa masyarakat Indonesia tidak serta merta dapat disebut pascakolonial, sebab ‘kemerdekaan bangsa Indonesia yang bertujuan merombak pola-pola kemasyarakatan zaman penjajahan’, belum sepenuhnya tercapai. Suatu persoalan-persoalan kehidupan bangsa dan masyarakat yang dikhawatirkan oleh Guru Isa (Jalan Tak Ada Ujung) atau Mochtar Lubis sendiri dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki (1977), bahwa persoalan tersebut bukan untuk dihindari tetapi dihadapi. “Kita pasti tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari sistem dan jaringan ekonomi, keuangan dan perdagangan internasional yang selama ini telah kita masuki dengan membuka pintu tanah air kita seluas-luasnya pada merekaナ” dan “Jika kita terus begini, tidak mengubah cara-cara kita berpikir dan berbuat, mengubah nilai-nilai yang membimbing kehidupan kita, maka saya khawatir kita akan jadi kuli kasar belaka bagi perusahaan-perusahaan multinasionalナ di tanah air kita sendiri,” demikian yang disampaikan Mochtar Lubis.

 

Penutup

Sebagai penutup, upaya menarasikan beberapa pengarang dalam teks sastra di atas bersifat terbatas. Artinya hanya menjadi bahan pembicaraan yang sesuai dengan narasi besar konstruksi historis kebangsaan dan subjek manusia Indonesia. Sebagai potret melihat identitas yang dibangun secara kultural oleh narasi-narasi tersebut sebenarnya tidak dapat direduksi hanya dengan kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya parsial dalam satu perspektif tertentu. Oleh karena itu, dengan mengambil potret subjek tersebut dalam rangka identifikasi diri (mode of being) manusia Indonesia yang dinamis, egaliter dan terbuka. Jika dihadapkan pada persoalan dilema pascakolonial, maka identitas manusia Indonesia dengan semangat terbuka terhadap tanah air dapat melampaui (de)konstruksi pascakolonial tersebut dengan upaya identifikasi yang terus-menerus, sebab pada hakikatnya suatu kebudayaan pun bersifat aktif dan kreatif yang bukan sekedar mengikuti dan menyesuaikan tetapi in process dan in action mengatasi mode of being tersebut dengan tanpa mengabaikan bahwa kemerdekaan adalah bukan sekedar persoalan identitas yang dikonstruksi oleh kenyataan-kenyataan global (manusia yang mampu menjelajah dunia dengan menghapuskan sekat-sekat kultural) dan yang terdapat dalam masyarakat bawah-masyarakat yang terpinggirkan dan kaum miskin sebagaimana yang juga dinarasikan oleh Mangunwijaya.[]

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A.K. Armaya, 2012, Tirtaganda (cet. v), Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Blambangan.

Aan Permana Merdeka, 2009, Perang Bubat: Tragedi di Balik Kisah Cinta Gajah Mada dan Dyah Pitaloka, Jakarta: Qanita (Mizan Grup).

Abdul Muis, 1950, Surapati, Jakarta: Balai Pustaka.

_______, 1953, Robert Anak Surapati, Jakarta: Balai Pustaka.

Wicaksono Adi, 2012, “Dalam Pusaran Kabut dan Darah”, Makalah Diskusi G 30 S dalam Sastra Indonesia, Komunitas Salihara, 12 September 2012.

Bambang Purwanto, 2006, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris, Yogyakarta: Ombak.

Ismail Marahimin, 1979, Dan Perang Pun Usai, Jakarta: Pustaka Jaya.

Langit Kresna Hariadi, 2013, Menak Jinggo, Solo: Metamind.

Leila S. Chudori, 2013, Pulang, Jakarta: Gramedia.

Mangunwijaya, 1985, Balada Becak, Jakarta: Balai Pustaka.

_______, 1991, Durga Umayi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

_______, 1993, Burung-Burung Rantau, Jakarta: Gramedia.

Matu Mona, 2001, Petualangan Pacar Merah Indonesia, Yogyakarta: Jendela-KITLV.

_______, 2000, Zaman Gemilang (cet. III). Yogyakarta: Jendela.

Mochtar Lubis, 1952, Jalan Tak Ada Ujung, Jakarta: Balai Pustaka.

_______, 1977, Maut dan Cinta, Jakarta: Pustaka Jaya.

_______, “Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban”, Makalah, Pidato Kebudayaan 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

_______, 1992, Wartawan Jihad: Peringatan 70 tahun Mochtar Lubis (peny. Atmakusumah), Jakarta: Penerbit Harian Kompas.

Nur Sutan Iskandar, 1977, Hulubalang Raja: Kejadian di Pesisir Minangkabau, Tahun 1662-1667, Jakarta: Balai Pustaka.

Pramoedya Ananta Toer, 1993, Arus Balik (Cet. III), Jakarta: Hasta Mitra.

S.M. Noor, 2011, Perang Makassar 1669: Prahara Benteng Somba Opu, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Suparto Brata, 2004, Gadis Tangsi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

_______, 2005, Mencari Sarang Angin, Jakarta: Grasindo.

Toha Mohtar, 2002, Pulang. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

Takashi Shiraishi, 1997, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Terj. Hilmar Farid). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Trisnojuwono, 1961, Pagar Kawat Berduri, Jakarta: Sulindo.

___

*Tulisan ini pernah disampaikan dalam The 23rd HISKI Conference on Literature, Lambung Mangkurat University, Banjarmasin, November 6-9, 2013

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Halo! Jika Anda ingin belanja buku atau ingin menanyakan sesuatu tentang penerbitan dan percetakan, silakan klik! Terimakasih.

Chat kami melalui WhatsApp