penerjemah Wing Kardjo
PERIMBANGAN
Alam adalah kuil di mana pilar-pilarnya yang hidup
Kadangkala menggumamkan omongan-omongan balau;
Manusia lalu di sana nyebrang hutan lambang
Yang menatapnya dengan padangan akrab.
Bagai gema memanjang yang di kejahuan bergalau
Dalam satu kesatuan yang kelam dan dalam,
Luas bagai malam dan bagai benderang,
Bau-bauan, warna-warna dan bunyi-bunyian saling bersahutan
Ada bauan segar seperti tubuh bocah
Lembut bagai seruling, hijau seperti padang
—Dan yang lain, busuk, kaya dan megah.
Merasuk bagai hal-hal yang tiada terwaras—
Seperti ambar, kesturi, kemenyan dan cendana,
Yang menyanyikan gairah semangat dan indra.
KEMATIAN PARA SENIMAN
Berapa kali aku mesti gemerincingkan loncengku
Dan, O pandangan penuh hina, mencium keningmu?
Guna menebak dari mahluk aneh itu tujuan sebenarnya
Berapa sudah busur kutembakkan sia-sia melambung?
Dalam hanya gusar saja jiwa kita akan luluh
Dan sekian baju-perang mesti kita rusak-rusak?
Sebelum kita mempersaksikan sinar Alam semesta
Idaman keras yang membuat kita tersedu-sedu!
Berapa dari kita tak pernah melihat pujaannya
Pemahat-pemahat yang sarat mendukung kutuk dan noda
Melangkah terus, sambil memukuli dada dan keningnya
Dan hanya mendukung harap, O Kapital yang durja!
Semoga maut mengapun sebagai matahari baru
Membuka lebar aneka kesuma jiwa mereka.
MAYAT YANG GEMBIRA
Dalam tanah berumput, keong lumpur lusuh
Telah lama aku ingin kubur diriku sendiri
Di mana aku lusa tanamkan belulangku rapuh
Dalam lupa, bagai hiu dalam ombak menyendiri.
Aku mempunyai dengki sakti pada wasiat dan nisan;
Dari pada harapkan setetes air mata dari dunia,
Lebih baik kupanggil gagak-gagak datang merobekkan
Jasadku, menumpahkan darahku bergelimang tanah.
O cacing-cacing! Sahabat hitam tanpa telinga dan mata,
Lihat betapa bebas ria mayat ini mengelu tanpa keluhannya
Hai para filsuf yang suka hidup, turunan hanya keparat,
Galihkan onggokan belulangku ini dengan lega
Dan katakan padaku apakah masih ada siksaan
Bagi jasad tua begini, menggeletak di tengah mayat-mayat.
MATINYA KAUM MISKIN
Sayangnya Mautlah yang menghibur dan mengulur umur;
Dialah tujuan hidup kami dan satu-satunya harapan
Yang bagai obat kuat meningkat semangat dan memabukkan,
Dan menegakkan hati buat jalan hingga malam;
Lintas topan, dan salju, dan angin dingin,
Dialah sinar gemetar di kaki langit hita;
Losmen terkenal, termaktub atas Kitab
Tempat makan, tidur dan duduk melepas lelah;
Dialah malaikat yang jari-jarinya penuh mukjizat
Kantuk dan kuasa buat impian-impian gairah,
Serta dibenahinya ranjang bagi orang-orang malang dan telanjang;
Itulah kemegahan para Dewa, dialah lumbung mistik,
Kanjut uang si miskin tanah asalnya yang asli,
Gerbang yang membuka ke langit-langit tak dikenal!
PERJALANAN
Maut, nakhoda tua! Sudah waktunya kita bertolak
Betapa jeleknya negeri ini, O Maut! Pasang layar!
Walau langit dan lautan hitam bagai tinta
Jantung kita mencat sinar-sinar merah berpijar
Curahkan racunmu atas kami agar kami tawakkal
Oleh sebab api ini terlalu membara dalam kepala
Kami akan menyelam ke dasar lautan, Surga atau Neraka
Ke daerah tak dikenal, di mana Yang Baru menghembus dari hadapan.
MABUKLAH!
Mesti selalu mabuk. Terang sudah: itulah masalah satu-satunya. Agar tidak merasakan beban ngeri Sang Waktu yang meremukkan bahu serta merundukkan tubuhmu ke bumi, mestilah kau bermabuk-mabuk terus-terusan. Tetapi dengan apa? Dengan anggur, dengan puisi, dengan kebajikan, sesuka hatimu. Tetapi mabuklah!
Dan jika sembarang waktu, di tangga istana, di rumput hijau kamalir, dalam kesepian guram kamarmu, kau tersadar dan merasakan mabukmu sudah berkurang atau menghilang, tanyakanlah pada angin, pada gelombang, pada bintang, pada burung, pada jam, pada segala yang lari, pada segala yang merintih, pada segala yang berputar, pada segala yang bernyanyi, pada segala yang berbicara, tanyakan jam berapa hari, dan angin, gelombang, bintang, burung, jam bakal menjawab: “Inilah saatnya untuk mabuk! Untuk tidak jadi budak Sang Waktu, mabuklah; bermabuk-mabuklah tanpa henti-hentinya! Dengan anggur, dengan puisi atau kebajikan, sesuka hatimu-”
ANYWHERE OUT OF THE WOLRD
Hidup ini adalah rumah sakit di mana setiap pasien dirongrong keinginan untuk bertukar ketiduran. Si ini ingin menanggungkang deritanya di depan perapian, dan Si itu mengira bisa sembuh di sisi jendela.
Pada hematku aku akan merasa baik di tempat di mana aku tidak berada sekarang. Dan soal perpindahan ini merupakan satu hal yang tidak putus-putusnya kuperbincangkan dengan jiwaku.
“Katakanlah jiwaku, jiwaku yang membeku, bagaimana pendapatmu untuk tinggal di Lisabon? Udara mesti panas di sana dan kau bakal kembali segar bagai seekor kadal. Kota itu terletak di pinggir laut; kata orang dibangun dari pualam, dan warganya demikian benci pada tanaman hingga dibongkarnya pohonan. Nah, itulah tamasya yang sesuai dengan seleramu; pemandangan yang dibuat dari sinar dan marmar, dengan air sebagai pemantulnya.”
Jiwaku tidak menyahut.
“Sebab demikian kucinta istirah dengan tamasya yang hibuk, maukah kau tinggal di negeri Belanda, tanah bahagia raya? Barangkali akan tertidur kalbumu di negeri itu yang gambar-gambarnya sering kau kagumi di pelbagai musium? Bagaimana pendapatmu tentang Rotterdam, kau mencintai leretan layar-layar serta kapal-kapal yang berlabuh di jenjang rumah?”
Jiwaku tetap membisu.
“Mungkin Batavia akan lebih menggairahkan hatimu? Sebab lebih lagi akan kita jumpai di sana perkawinan jiwa Eropah dengan kemolekan tanah tropika.”
Tidak sepatah katapun. —Mungkinkah jiwaku telah mati?
“Apakah kau sudah begitu kelu hingga kau hanya merasa nyaman dakam sakitmu semata? Andai demikian, marilah kita berangkat ke negeri-negeri imbangan maut—Kubereskan segala urusan kita, jiwaku malang! Kita siapkan kopor-kopor kita ke Torneo. Ayo lebih jauh lagi, ke ujung sana Baltik; tambah jauh lagi dari kehidupan jika mungkin; tinggallah kita kutub utara. Di sana matahari hanya menyentuh miring setengah bumi, dan berubahan yang lambat antara terang dan gelap meniadakan keragaman dan meningkatkan ketunggal-nadaan, itu separuh-bentuk dari ketiadaan. Di sana kita bermandi kegelapan lama-lama, sedang sebagai hiburan sekali-sekali Aurora Borealis akan mengirimi kita dengan karangan-karangan mawarnya, bagai kilatan-kilatan bunga api dari Neraka.”
Akhirnya jiwaku meledak, dan dengan arif ia berteriak: “Tak peduli ke mana! Asalkan saja di luar dunia yang ini!”
OBSESI
Belantara, bagiku kau menyeramkan bagai katedral;
Meraung bagai orgel, dan dalam hati laknat kami,
Balik-balik kabung abadi di mana bergetar erang renta,
Menjawab gaung gema De profundis-mu.
Kubenci kau, lautan! Gedebar-gedeburmu,
Di dalamnya jiwaku kembali menemukan itu tawa pahit
Lelaki yang kalah, kuyup air mata dab nista,
Kudengar semua dalam tawa gelagak laut.
Betapa kau menyenangkan, o malam! Tanpa bintang gemintang
Yang sinarnya berbicara bahasa yang kukenal!
Sebab, kucari kekosongan, kegelapan dan ketelanjangan!
Tetapi kelam itu sendiri ialah kanvas
Di mana hidup—berhambur ribuan dari mataku,
Insan-insan yang gaib dengan pandangan akrab.
__
Charles Pierre Baudelaire lahir di Paris, 19 April 1821 – meninggal di Paris, 31 Agustus 1867 pada umur 46 tahun. Adalah seorang penyair Perancis, pengkritik dan penerjemah berpengaruh pada abad kesembilan belas. Baudelaire lahir di Paris, Perancis tahun 1821. Ayahnya, seorang pegawai negeri dan seniman amatir, meninggal ketika Baudelaire masih kecil tahun 1827. Tahun berikutnya, ibunya, Caroline, 34 tahun lebih muda dari ayahnya, menikahi Letnan Kolonel Jacques Aupick, yang kemudian menjadi duta besar Perancis untuk berbagai kerajaan.