MENERIMA TAKDIR, MENCARI LAYAR

Oleh: Moh. Fathoni

Moh. Fathoni
Moh. Fathoni

Manusia macam apakah Sutan Takdir Alisjahbana (selanjutnya disebut STA)? Ia, seorang yang disebut sebagai pelopor modernitas “renaissance” di Indonesia, membuka kesadaran kita tentang nilai. Bila membaca ulang polemik kebudayaan tahun 1935, antara STA dengan Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara, dan lainnya saya teringat Kongres Kebudayaan IV tahun 1991. Dalam kongres itu ia menjadi salah satu pembicara utama, dari  pernyataan-pernyataannya tampak pandangannya yang masih tetap seperti dulu. Konsistensi lelaku STA selama puluhan tahun itu, apa menjadi bukti kegamangan pemikiran menentukan kedirian kita? Sebenarnya apa yang dipertahankannya?

Prelude; Menangkap Gejala

Gerak budaya selalu berubah. Ada dorongan dan pengaruh dengan hal-hal yang lain. Sementara kemungkinan selalu mengintip kemana angin bertiup, dan layar di kembangkan. Mayor Okura, tokoh dalam novel Kalah dan Menang, pernah menyinggung bahwa manusia dipengaruhi oleh relasi ruang, di mana ia berada. Tempat dan komunitas menentukan subjek. Hidup yang baru mesti rasional dan disiplin, untuk ke depan langkah mesti  disiapkan dan dikuatkan. Di sini Takdir bicara pada ranah mental, tentang roh, semangat, pola pikir, yang  disebut Barat. STA semakin optimis. Ke Barat layar kita kembangkan.

Budaya, bila dipahami sebagai sebuah sistem, mempunyai rentang kemewaktuan koherensi dan berlaku secara komprehensif.  Ia memiliki perangkat dan anasir yang berkait satu sama lain. Semuanya itu disangga oleh konsepsi pengetahuan (epistemologi), dipagari oleh nilai-nilai yang diberlakukan dalam masyarakat, dikonstruksi melalui bentuk-bentuk material dan konfigurasi-konfigurasi simbolikum. Itu belum kompleksitas dari konsekuensi perubahan dan tuntutan kemajuan.

Soal konsekuensi ini, STA tak ragu menyeru. Barangkali pada masa itu sikap tegas diperlukan. Sebuh pandangan yang jelas arah geraknya agar kedirian (subjek) lekas menatap hari esok: nation, agar tak  sedemikian perih luka-luka kolonial membayangi generasi. Menelusuri pemikiran STA beserta seluruh pengaruhnya tentu tak mudah, menimbang fakta sejarah seringkali tak menuntun ke arah terang. Bahkan sering kali mengaburkan atau memperkeruh gagasan yang semestinya. Barangkali ini upaya sekadar menatap gejala dan keterkaitan pemikiran STA dengan wacana budaya dalam perubahan sistem pengetahuan masyarakat ke arah modern.

Modernisasi dalam bingkai Orde Baru telah menyembunyikan tradisi dan menumpulkan alam pikiran masyarakat, selama 30 tahun itu watak totaliter “nasionalisme” dimanfaatkan berupa transformasi nilai-nilai modernisme; semisal stabilisasi, efektivitas, efisiensi, kemajuan teknologi, pembangunan, dan sejenisnya. Abad ke-21 dimulai dengan peristiwa 98 dan kebebasan, pluralisme, multikulturalisme, seiring membersihkan puing-puing pembangunan Orde Baru beserta retak sistem pengetahuan masyarakat. Lantas, apa yang sebenarnya dimaksudkan STA dengan konsepsinya tentang Barat di sini?

Latar Pemikiran dan Polemik STA

Meski berkali-kali di kritik, STA tetap optimis arah layar dihadapkan. Bagi STA, dalam karya-karyanya, masyarakat dipandang sebagai suatu totalitas historis (keutuhan/kesatuan dalam waktu-sejarah), baik masyarakat mau pun individu dihadapkan pada problem yang sama, keduanya berdialektik.1 Kelas menengah mesti mempunyai peran dalam kemajuan.

Tahun 1933 STA bersama dengan Armijn Pane dan Amir Hamzah, Ia menerbitkan Poedjangga Baroe.2 Majalah ini kemudian menjadi salah satu perintis dengan gagasan-gagasan seni-budaya yang “baru”. Di satu pihak, pendirian majalah ini sebagai respon atas gejala (salah satunya) represifitas pemerintah (kolonial) terhadap gerakan nasionalisme dan kemunduran perlawanan politik, yang diharapkan melalui sastra optimisme itu dapat dibangkitkan kembali atau menjaga semangat nasionalisme; di pihak lain, ruang-ruang media untuk sastra pun masih kurang. Kecuali hanya Balai Pustaka dengan penerbitan dan majalah Pandji Poestaka-nya.

Sayangnya, Poedjangga Baroe tak berumur panjang. Sementara masyarakat yang baru lahir (Indonesia) belum sepenuhnya terbentuk dan jelas arah pembentukannya.3 Sebagaimana disinyalir, arah pembentukan kedirian (keindonesiaan) ini yang diterbitkan dalam majalah Poedjangga Baroe kemudian menimbulkan polemik kemudayaan. Utamanya sejak Kongres Pendidikan Indonesia (1935) di Solo, STA menentang pendapat umum bahwa Barat mesti dibuang jauh-jauh, sebab di dalamnya mengandung egoisme, individualisme, intelektualisme dan materialisme.

Lebih jauh STA memandang dari sisi yang lain, cita-cita kemerdekaan indonesia tidak jauh dari cita-cita revolusi kemerdekaan prancis, atau renaisans Barat pada abad pertengahan. Maka dengan kemajuan Barat sedemikian itu Indonesia mesti belajar dari Barat. Pendapat ini terang bersebrangan  dengan Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara, dan lainnya yang tetap ingin mengarahkan orientasi (kepribadian-tradisi dan identitas-timur) sebagai pondasi bangun nation Indonesia.

Melihat polemik ini, HB Jassin justru senang sebab dengan demikian ada eksperimen (percobaan) menemukan yang baru, dan ini berpengaruh dalam perkembangan sastra. Mengenai polemik ini, saya tidak akan terlalu jauh membahas, kecuali membatasi pada lingkup pandangan dan pemikiran STA.

Menjawab pertanyaan kemana pandangan “mata budaya” diarahkan? STA menulis “Menuju ke Laut”.4 Mengapa laut? Saya menduga ini ada kaitannya dengan cakrawala simboliknya. Mengapa tidak kembali ke darat, atau keyang lainnya. Laut barangkali kerap diidentikkan dengan suatu tempat penerimaan yang berasal dari luar. Marquez dalam salah satu cerpennya menggunakan “pantai” sebagai pintu masuk nilai-nilai asing.5


Beberapa pendapat STA dalam polemik kebudayaan, kita lihat benarkah atau sejauh mana Barat yang dimaksud STA, dicatatnya,

“Sangat perlu dinyatakan dengan tegas, bahwa sejarah Indonesia dalam abad ke-20, ketika lahir suatu generasi yang baru dilingkungan Nusantara ini, yang dengan insaf hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan negerinya.”6

“Menurut keyakinan saya keadaan dan susunan masyarakat bangsa kita berubah mendekati Barat,  supaya dapat  kita berlomba-lomba dan bertarung dengan Barat. Timur hanya mungkin berhadapan dengan Barat, apabila ia selekas-lekasnya merebut “alat” atau “perkakas” yang membuat Barat kuat dan berkuasa.”7 [font tebal dari saya sendiri]

Pertama saya ingin mencatat, bahwa generasi baru masa itu sangat peduli dengan identitas dan penentuan kepribadian bangsa. Hal ini pun tak lepas dari hasil setelah diterapkannya politik etis dan kecenderungan kaum priyayi terpelajar yang tidak melupakan cita-cita mewujudkan nation. Kedua, bahwa masa-masa Pujangga Baru dan sekitar jelang kemerdekaan mengalami fase pencarian identitas-kepribadian, sehingga sangat mungkin terjadi polemik-polemik yang sifatnya mendasar. Dalam pandangan STA, kebudayaan termasuk seni-sastra merupakan nilai-nilai yang mendasari kehidupan bermasyarakat dan bernegera. Terlihat dari nilai-bentuk tradisi daerah-daerah yang telah kukuh menjadi perekat dan pondasi sistem kehidupan.

Ketiga, pengaruh penjajah selama 350 tahun dan pendidikan etis yang mengacu “standar kurikulum” Barat membuat kesadaran tentang “yang lain”, beserta kacamata “orientalis” digunakan STA. Maka konsekuensinya, mental-pribadi kita yang pernah dijajah selama 5 generasi ini [kalau dibulatkan umur manusia 70an tahun], muncul pandangan inferior-superior. Lantas, dengan kacamata sejarah bahwa alur kemajuan bersifat liner maju. Tentu dapat dipahami, mengapa STA mengatakan Indonesia ketinggalan. Dan tentu hal ini sah-sah saja, tetapi bila hari ini kita lihat, frame berpikir STA sudah cukup maju sebab ia telah melihat kemungkinan ke depan secara nilai. Soal ini STA bertolak rumusannya 6 nilai: nilai ilmu pengetahuan yang teoritis, nilai  ekonomi, nilai religius atau agama, nilai seni-estetik, nilai politik-kuasa, nilai sosial atau solidaritas. Semua nilai  ini bagi STA yang menentukan kepribadian kelompok sosial dan sistem kebudayaannya, bahkan nilai-nilai itu menjadi konfigurasi individu dan interaksi di dalam sosialnya. STA pernah mengungkapkan bahwa inti sari filsafat (pemikiran)-nya adalah dialektika antara etika individu otonom dengan etika masyarakat.8

Keempat, cara pandang berikutnya yang dialektis (seperti disebut di atas) dan sikap politis, yang materialisme, barangkali STA mengikuti pandangan Marxis. Mula-mula dikotomik secara material, lalu melakukan pandangan perlawanan (emansipasif). Meskipun bentuk perlawanan STA dalam ranah wacana-teoritik, sebab baginya dengan demikian akan mampu diterapkan melalui langkah-langkah kultural, termasuk dalam nilai-nilai estetik. Kecenderungan STA yang mencerminkan nilai-nilai tersebut, misalnya pernyataannya dalam polemik tahun 1935 silam itu,

“…bahwa bagi saya soalnya ialah: soal Indonesia awal pra-Indonesia, barat lawan tradisi. Soal manusia baru Indonesia yang berupa perubahan kebudayaan yang tak dapat dielakkan, adalah soal sampai  mana bangsa Indonesia menjadi manusia baru, yang dengan gairah merebut ilmu teknologi dan  merebut kedudukan dalam perjuangan ekonomi.. pendeknya, bagaimana manusia Indonesia menjadi  manusia modern, yang maju dengan penuh tanggung jawab serta dapat bertarung dalam gelanggang  dunia untuk menciptakan suatu dunia baru, yang telah bersatu oleh kebudayaan modern”.9 [font tebal dari saya sendiri]

STA menyebut “manusia baru” untuk menandai identitas, menjadi subjek yang memiliki bangsa sendiri  Indonesia. Dikatakan demikian sebab STA menggunakan kata “merebut” dan “bertarung”, sekali lagi hal ini  dalam lingkup nilai-nilai. Dalam kutipan ini terdiri dari nilai ekonomi, ilmu pengetahuan, nilai politik, nilai  sosial, dan nilai-nilai inilah yang dimaksud Barat, atau modern oleh STA hingga Ia kukuh selama berpuluh-puluh tahun.  Selain itu, ia bahkan pernah terobsesi bahwa bangsa Indonesia tidak boleh berpuas dan mengelus-elus budayanya sendiri, tetapi mesti rakus belajar dari bangsa lain, harus berubah, agar dapat  mengaktualisasikan potensi-potensi, agar dapat menemukan identitasnya sendiri, bukan identitas bangsa lain. Semua itu syaratnya mesti konsekuen. “Indonesia mesti berani menjalani modernisasi dengan konsekuen.  Loncatan dari budaya ekspresif ke budaya progresif harus dilakukan.”10 Barangkali pandangannya yang ingin serba “baru” dan progresif ini, disamping pekat kaitannya rasionalisme, dikatakan sebagai pandangan “renaissance”.

Demikian cita-cita STA untuk mencapai Indonesia modern (Barat) di satu sisi, dan di lain sisi tetap mempertahankan kemurnian (genuine) sebagai bangsa yang secara alami menghayati estetika yang khas agar dapat menyumbangkan pada kebudayaan umat manusia.11 Lantas, bila pandangan STA ini kemudian disandingkan dengan kritik identitas dan ilusi subjek, tentu akan semakin menarik dibincangkan, terutama dalam wacana belakangan ini. Tetapi saya tidak akan memperpanjang perihal itu, dan akan melanjutkan perihal pemikiran STA dan lingkup kebudayaan.

STA dan Kegamangan Orientasi Kebudayaan; dalam Pengamatan Seorang Saya

Setidaknya Polemik Kebudayaan dan pemikiran STA telah menunjukkan tarik-menarik orientasi (cara pandang) kita, yang secara psikis barangkali pernah di jajah dan dipengaruhi cara berpikir orientalis, dan dorongan perubahan dalam kekaburan konsepsi tentang perubahan itu sendiri. Secara dikotomik (memisah-misahkan) dihadapkan pada lema: yang lama atau yang baru. STA menyebut yang lama adalah tradisi, dan yang baru berarti modern. Meski pun di sini akan menjebak pada “kebaruan”. Seberapa mungkin mengejar yang baru, cara dan arah serta energi diperlukan untuk mengejar keterbelakangan. Barangkali perlu adanya rumusan ulang perihal standar nilai yang mesti kita anut, gunakan, dan dilakukan secara konsekuen. Meskipun itu tidak berasal mutlak dari tradisi atau terpukau dengan yang baru, sehingga sikap ini tidak sekadar reaksi belaka, sehingga tidak perlu dikatakan bahwa ada yang terbelakang atau tertinggal. Perbincangan tentang arah kebudayaan dan sikap pilihan sejak 70 tahun silam sampai hari ini belum benar-benar tercapai, setidaknya polemik kebudayaan tahun1935-1939 tak serius lagi diperbincangkan.12

Berbicara tentang seseorang dan pemikirannya tentu tak lepas dari pengaruh atau faktor yang melingkupinya, bahkan bagi Foucault, secara radikal pernah mengatakan perkembangan ilmu pengetahuan sudah secara established (terbangun atau mapan) tidak bertumpu pada tokoh pemikir yang gagasannya diikuti dan berlaku dalam masyarakat. Ketebangunan itu jalin-menjalin luas dan rumit antara berbagai kepentingan dan struktur yang rasional. Artinya, tanpa keterkaitan dengan aspek yang lain dan menyuluruh dalam sebuah sistem sosial. Perihal sistem berpikir yang menyeluruh ini di sebut “episteme.”

Oleh sebab peristiwa atau pun sejarah merupakan konstruksi hasil dari tarik-menarik kepentingan entah itu egoisme individu mau pun kepentingan kelompok tertentu, entah itu yang postif-politis-etis atau sebaliknya dan lainnya. Maka izinkan saya menengok ulang pemikiran STA di atas dan wacana yang melingkupi pada masanya, atau meminjam istilah Foucault “historicalobserver” atau pengamat sejarah.

Namun, sebelum lebih jauh saya mengingatkan saya sendiri, bahwa apa pun itu bahasanya termasuk kata, kalimat dan ungkapan bahasa yang dipakai dalam berbagai bentuk situasi dan kesempatan yang beraneka ragam dalam kehidupan sehari-hari erat kaitannya dengan sistem (episteme).13 Bila STA bertolak atau berangkat dari  keterbelakangan kita (Indonesia) yang mesti dikejar dengan mengacu pada Barat maka tentu pandangan untuk menemukan pencarian akan orientasi nilai-nilai yang lain akan segara terabaikan, terlepas dari perdebatan dengan Sanusi Pane dan kawan-kawan yang lebih bertolak dari tradisi.

Di sini STA mencoba melanjutkan masalah material sebagai pijakan untuk melakukan transformasi nilai-nilai acuan (unsur nilai estetik misalnya). Lantas, ia mencoba menawarkan gagasannya tentang renaisans nilai dengan menggunakan rasionalisme.  Sepertinya, transformasi nilai dengan sesuatu yang baru, pada masa itu, mirip dengan upaya pencarian atau pembacaan terus-menerus.14

Bila STA menggagas “yang baru” dalam masa pencarian barangkali itu wajar, tetapi bukankah ini merupakan diskontinuitas (keterputusan) dengan sesuatu yang melatarbelakanginya, bisa berupa konteksnya, tradisi atau kultur sebelumnya, sistem pengetahuan masyarakat dan bahasa. Kedua yang terakhir ini menjadi kemungkinan STA mengukuhkan gagasannya. Meskipun pemahaman apa pun itu suatu saat akan berubah pula, seperti halnya tema-tema atau pengungkapan bahasa dalam sastra akan dikatakan kuno (tepatnya konvensional dan “belum” modern).15

Pertama-tama, bagaimana kita melihat gagasan-gagasan STA setelah kita mengalami peristiwa (pengalaman selama 70 tahun belakangan ini), tanpa maksud mengevaluasi tetapi memaknainya. Bila dilihat bahwa periodesasi dalam sejarah sastra Indonesia, misalnya sejak pra-Balai Pustaka, lalu Pujangga Baru, Angkatan ’45an, Angkatan ’50an, dan seterusnya, hingga kita kenal polemik berikutnya (Lekra-Manikebu), atau perang dingin KUK-Boemi Poetra, lalu riuh-riuh selangkangan, lokalitas, dan cyber atau klaim-klaim belakangan ini untuk menunjukkan legitimasi posisi “kesusastraan”. Lantas, adakah misalnya yang membincangkan nilai-nilai estetik sebagaimana disinggung STA?

Barangkali ada relasinya dengan klise matinya kritikus sastra (apologi dan kambing hitamnya), sederhananya mana mungkin menilai suatu karya (estetik) tanpa dasar-dasar nilai tentang estetika itu sendiri. Sehingga ada yang menilai, karya-karya sastra belakangan ini ditulis tanpa konsep, atau ide dalam karya dangkal, tanpa kematangan gagasan di dalamnya.

Secara historis, barangkali kita mengamini saja Cliffort Geertz bahwa tradisi Indonesia berada disilang budaya, baik secara kontinental-geografis maupun kebudayaan, sehingga fakta kemajemukan dan heterogenitas ini membuat penyesuaian berkali-kalidan terus-menerus. “Tradisi nasional Indonesia… bukan tradisi yang merupakan kesatuan melainkan tradisi dari berbagai unsur, bukan tradisi yang sistematis, melainkan tradisi yang takteratur..” tulisnya.16 Dan, sampai hari ini belum melihat integrasi unsur-unsur yang dimaksudkan Geertz tersebut.

Terlepas Ignas Kleden17 menyebut bahwa sangat mungkin dilakukan toleransi dan interaksi untuk sintesis unsur-unsur tersebut secara damai. Tetapi buktinya unsur dari luar (asing) lebih kuat dan budaya dalam lebih rendah. Dampaknya, budaya Indonesia mengalami disintegrasi, kemudian reintegrasi. Rumusan yang belum terwujud ini kemudian didominasi oleh kepentingan politik (kuasa), entah itu pemerintah kolonial, maupun pemerintah Indonesia yang berkuasa. Sehingga kondisi demikian sangat sulit untuk melakukan perubahan secara progresif, dalam artian perubahan sosial, revolusi kemerdekaan barangkalihanya perubahan (pergeseran kekuasaan) tanpa merubah nilai-nilai sosialnya. Perkembangan sulit dilakukan kecuali upaya mempertahankan keberadaan (survival).

Saya menjaga diri agar tidak jatuh pada pesimisme, sebagaimana STA, bila tidak setiap tulisan akan memperpanjang daftar keprihatinan terhadap landasan nilai-nilai. Setidaknya dikotomi STA, lantas dinyatakan bahwa hari lampau yang pra-Indonesia telah mati-sematinya. Lalu ditanggapi Sanusi Pane, agar melihat lagi tradisi; dan Ki Hajar Dewantara untuk tidak meninggalkan realitas (sekarang). Tetapi polemik kebudayaan itu, setidaknya dalam rentang sejarah, merupakan polemik yang mendasar, tak sekadar debat-debat konfrontasi, tetapi ternyata apa sikap yang diambil, kemana bandul diayunkan?

Bila berangkat dari (bahasa) realitas, menghindari cara cara deskriptif yang akan membawa pada dikotomi kontradiksi sehingga memicu pembeda-bedaan atau keterputusan relasi antar unsur dalam kebudayaan sendiri. Pada tahap berikutnya akan menjebak pada salah satu unsur yang dominan (determinisme).18 Saya menduga STA berpijak pada hal ini, tetapi bila demikian STA sebetulnya tidak benar-benar meninggalkan tradisi, sebab sikapnya yang cenderung pada konfigurasi nilai kultural (estetik dan religi) mentalitas berangkat dari tradisi Timur (Indonesia). Sementara Barat lebih menekankan pada konfigurasi nilai disiplin keilmuan (ekonomi, politik, bahasa, psikologi, dan seterusnya). Keberangkatan kemudian, melalui cara-cara pendasaran ulang tentang hakekat kebudayaan. Sederhananya, hakekat merupakan suatu “jimat” agar tak lekang dari panas dan hujan, ia tetap bertahan meski waktu berubah-ubah dan berbagai masalah silih berganti, atau kata lainnya sering disebutnya sebagai “jati diri” atau secara psikologis dinamakan ”kepribadian” (nasional).

Pada Kongres Kebudayaan IV tahun 1991, Taufik Abdullah melaporkan secara kritis hasil perbincangan tentang perumusan kebudayaan.19 Meski Ia tak menawarkan gagasan utuh tetapi paling tidak memberikan satu pendekatan lain, disebutnya (dengan tidak yakin) kontekstual. Pendekatan ini merupakan bentuk protes  terhadap pemandulan kreativitas. Sederhananya, kebudayaan adalah soal “anda” dan “saya”, ketika masing-masing telah berbuat kreatif berarti telah bersikap sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan. Saya beranikan menarik kesimpulan bahwa acuan Taufik adalah kreativitas. Sehingga proses kebudayaan berarti dinamika pertumbuhan, perubahan, dan perlebaran wilayah sistem makna tanpa henti. Ada semacam produksi makna barudidalam masyarakat. Meskipun saya menduga akan terjadi tawar-menawar atau bahkan terjalin konspirasi dalam perubahan masyarakat.

Konsepsi dalam pandangan “kreatif” ini mirip dengan yang disampaikan oleh STA.20 Di sini STA mengacu bahwa gerak perubahan bersifat evolutif. Ia bertolak dari teori Evolusi Penciptaan Bergson (I’evolusion creatice), bahwa segala sesuatu selalu dalam perubahan, dan terus-menerus melakukan penciptaan kreasi dalam kehidupan. Bagi STA, proses ini ada kalanya bergerak progresif atau melakukan lompatan agar lebih melaju dan berkembang. Disebutnya, perlajuan ini tetap berlandaskan pada budi manusia untuk tetap menjaga harkat martabatnya sebagai manusia. Melihat pandangan ini, saya tangkap STA tidak semata-mata mengikuti arus linier gerak sejarah Bebbington21, tetapi memilih gerak ‘kemajuan’ yang menurutnya lebih berdialektik dengan nilai-nilai yang diyakininya, terutama berpangkal dari logika dan kenyataan pada masanya.

Selain itu, Taufik juga menawarkan pendekatan simbolik untuk melahirkan pemaknaan baru (tanpa meninggalkan unsur konteksnya). Realitas sebagaimana pemahaman kini di posisikan sebagai teks. Maka dengan demikian sangat mungkin akan terjadi perebutan pemaknaan. Perebutan ini dapat dipastikan bahwa “kuasa” dan relasinya akan mendominasi celah atau ruang pemaknaan tersebut.24 Sedangkan teks bagi Roland Barthes adalah sebuah jaringan yang dirujuk (diambil) dari berbagai pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya.23

Sampai di sini, saya tak ingin menjadi sok perumus atau berlebih berwenang menawarkan gagasan konseptual tentang kebudayaan. Setidaknya dengan pengamatan atau pembacaan pemikiran STA tentang konfigurasi nilai-nilai dalam kebudayaan, dapat dijelaskan titik-titik pangkal gagasan dalam rentang perubahan terkait dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi.[]

___________

Catatan Kaki:

1. Menurut Kuntowijoyo, 2003. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hlm. 192-193, terjadi integrasi sistemik antara sosial dan simbolnya. Sebagaimana dapat dilihat dari karya-karya Pujangga Baru awal dekade 1930, sementara STA merupakan salah satu pelopornya. Munculnya Pujangga Baru tak lepas dari pengaruh semangat yang mengacu pada nilai-nilai dari Barat(Eropa); rasionalisme, realisme, cita-cita kemajuan modernisme, yang dalam pandangan Kuntowijoyo itu menjadi anutan utama (Hlm.198). Barangkali hal ini berkaitan dengan diberlakukannya politik etis Belanda. Sehingga kemudian muncul persoalan kelas-kelas dalam wacana sosial, beserta perangkat ideologi yang membonceng dibelakangnya.

2. Ketika mendirikan majalah Poedjangga Baroe, STA masih menjadi redaktur Balai Pustaka, dan terbitannya Pustaka Rakyat. Konon, biaya penerbitan majalah Poedjangga Baroe diambilkan dari gaji STA di Balai Pustaka, yang milik pemerintah. Lihat Ajip Rosidi, “Penerbitan Buku Bacaan dan Buku Sastra di Indonesia” dalam Prisma edisi 4 April 1979, hlm 15-16.

3. Waktu itu STA baru berumur 26 tahun. Ia hidup di sebuah masa, sebuah situasi, yang terbentuk oleh latar kolonial. Tradisiretak, trauma yang menganga, sedang lingkungan terlalu pater nalistik (tradisi-kolonial) yang mengungkung individu. Hasrat pembebasan muncul dan berkobar, tapi dihantui perasaan kalah yang dalam. Ada semacam kebutuhan yang mendesak untuk menyatukan ide dan nilai-nilai menjadi identitas, jati diri. Bahkan semangat ‘keras’ itu terlihat sejak usia13-14 tahun. Ia mendirikan Jong Sumatra di Muaraenim.

4. Penggalan sajak “Menuju ke Laut” saya kutip sesuai dengan pandangannya yang optimis. “Gemuruh berderau kami jatuh/ terhempas berderai mutiara bertjahja/ Gegap gempita suara mengerang,/ Dahsjat bahna suara menang./ keluh dan gelak silih berganti/ Pekik dan tempik sambut menjambut.”

5. Cerpen berjudul “Thehandsomest Drowned Maninthe World”

6. Dikutip dari Slamet Sutrisno, “STA: Universalisme dan Partikularisme Kebudayaan” dalam Manusia Renaissance; Relevansi Pemikiran STA. CetakanI, 2008 [ed. Abu Hasan Asy’ari]. Jakarta: Dian Rakyat. Hlm. 352-353.

7. Ibid, hlm. 353.

8. Franz Magnis-Suseno Sj, “Sutan Takdir Alisjahbana dan Kebangsawanan Filsafat” dalam Manusia Renaissance; Relevansi Pemikiran STA. Cetakan I, 2008 [ed. Abu Hasan Asy’ari]. Jakarta: Dian Rakyat. Hlm. 116-117.

9. Slamet Sutrisno, “STA: Universalisme…” hlm. 353.

10. Magnis-Suseno, “Sutan Takdir…” Hlm. 123

11. Ibid, Hlm. 124.

12. Salah satu bahan perbincangan dalam Kajian Reboan Wijilan tentang Pencarian dan Perumusan Keindonesiaan di Infest Yogyakarta, pada 7 Agustus 2011.

13. Lihat FR. Ankersmit. 1987. Refleksi tentang Filsafat Sejarah, Gramedia Jakarta. Hlm. 309.

14. Bandingkan dengan pendapat John Lechte dalam Fifty Key Contemporary Thinkers. From structuralism to posmodernity, Allen & Uniwim, London,1994. hlm. 111. Saya kutipkan melalui Moelich Hasbullah di lamannya, “Konstruksi Pemikiran Michel Foucault tentang Sejarah” pada 24 November 2007, berikut“ …sebagaimana para analis melihat peristiwa baru dalam biografi seseorang dalam rangka pengalaman psikoanalisis. Masa lalu, pada prinsipnya, mengungkapkan makna baru dalam konteks persitiwa-peristiwa baru. Hal ini akan menghindari kemungkinan adanya hubungan kausalitas yang sederhana yang diungkapkan antara masa lalu dan masa kini. Bahaya historisis memuncul ketika disadari bahwa masa lalu tidak bisa dipahami secara murni dalam konteksnya sendiri, karenaitu, sejarah selalu adalah sejarah masa kini”

15. Foucault menyebutkan bahwa sejarah selalu merupakan geneologi dan sebuah intervensi, dengan demikian kerangka pengetahuan dan model pemahamannya pun selalu berubah (Lechte,112). Epsitemologi adalah yang mempelajari perubahan-perubahan ini sebagai “the grammarof knowledge production” dan diungkap melalui kerja sains, filsafat, seni dan literatur. Epistemologi juga adalah cara menghubungkan peristiwa-peristiwa material dengan pikiran atau ide.

16. C. Geertz, 1977, Penjaja dan Raja, Jakarta: Gramedia. Hlm. 164-165.

17. Ignas Kleden, Masalah Kemiskinan Sosial-Budaya di Indonesia, dalam Prisma edisi 8, 1987. Hlm. 19-20. setidaknya, Kleden mencontohkan dalam empat bidang (pertanian, organisasisosial, bidang politik keagamaan, dan pendidikan modern bagi para priyayi) dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk memijakkan kakinya lebih lama di Indonesia. Artinya, upaya integrasi dan/atau pun penyesuaian antara yang lama dan baru mengalami gegar, sementara keduanya tidak dapat begitu saja diabaikan atau ditinggalkan.

18. Contoh menarik diberikan Taufik Abdullah dalam Kalam edisi 2–1994. Hlm 101-102., “Sebuah Kilas Balik yang Memihak; Tentang Peta Pemikiran Kebudayaan”. Budaya dalam bacaan akademik dibagi menjadi 7 unsurnya, secara antropologis (bahasa, ekonomi, politik, religi, pengetahuan, dan seterusnya). Sementara ditiap unsurnya dibagi lagi dalam 3 aspek: material, sosial, dan kultural. Maka dari sini bila dipilih, mana yang didahulukan, maka jelas aspek kultural yang lebih mendasar dan mengacu pada “nilai” atau lingkup mental.

19. Taufik Abdullah, “Sebuah Kilas Balik yang Memihak; Tentang Peta Pemikiran Kebudayaan” dalam Kalam edisi2–1994. Hlm1

20. Gagasan Taufik sangat erat dengan gagasan STA, “Kreatifitas Dilihat dari Jurusan Filsafat Manusia” dalam Seni dan Sastera di Tengah-tengan Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan. Cetakan II, 2008. Jakarta: Dian Rakyat. Hlm. 97-102.

21. Secara umum, David Bebbington, 1979, Patternof Histories, Inter Varsity Press. Hlm. 17-20, membagi aliran pemikiran sejarah pada lima aliran: 1)Aliran siklus yaitu suatu pemikiran perkembangan sejarah yang di pengaruhi oleh pembacaan siklus alam. Sejarah bergerak ibarat siklus cuaca secara deterministik. Inilah aliran pesimistik dalam sejarah. Bangkit dan kejatuhan mengikuti gerak alam tanpa ada upaya untuk bergerak secara progresif; 2) Aliran tradisi “judeo Kristen” atau sejarah bergerak secara linier ke arah yang pasti dengan bimbingan Tuhan (divine intervention) dan ujungnya adalah turunnya Yesus Kristus ke bumi. Ini adalah filsafat sejarah optimistik melalui ketokohan milenarian di mana pada akhir sejarah akan datang turun ke bumi seseorang yang akan menyelamatkan umat manusia; 3) inti proses sejarah adalah konsep ‘kemajuan’ (ideaofprogress). Aliran ini lebih menonjolkan peran aktor sejarah yaitu manusia. Ketimbang melihat peranan Tuhan, pendukung aliran ini lebih melihat manusia sebagai agen perkembangan sejarah; 4) Aliran historisisme. Historisisme muncul sebagai reaksiatas ‘ideaofprogress’. Historisisme menolak bahwa sejara hberkembang linier dan berargumen bahwa ‘motifutama’ (centralmotif) adalah ide di mana setiap negara dan bangs amenikmati perbedaan kebudayaannya. Sejarah adalah pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Tugas sejarawan adalah memahami variasi kebudayaan dengan pendekatan empatik; 5) Sejarah Marxis dengan idenya dasarnya ‘materialisme historis. ’Bagi Marx, sejarah proses sejarah diciptakan oleh manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu ekonomi.

22. Perihal ini dapat dibaca, salah satunya, Paul Ricoeur. Theoryof Interpretation; Discourseandthe Surplusof Meaning. Texas: the Cristian University Press. Sekarang sudah di alih bahasakan oleh penerbit IRCiSoD dengan FilsafatWacana; Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. 2002. Yogyakarta. Terutama pembahasan tentang hermenutika.

23. Roland Barthes. 1977. Image-Music-Text. London: Fontana Press. Hlm. 146. Definisi ini saya kutip dari Yasraf Amir Piliang dalam Tamasya di antara keping-Keping Masa lalu; Seni pada Titik Balik Modernitas. Kalam edisi 2-1994. Hlm. 110.

Daftar Pustaka
Ankersmit, F.R., Refleksi tentang Filsafat Sejarah, Gramedia Jakarta,1987.

Asy’ari, Abu Hasan [ed.]. 2008. Manusia Renaissance; Relevansi Pemikiran STA. Jakarta: Dian Raky

Bebbinton, David, Pattern of Histories, Inter Varsity Press, 1979.

Geertz, C. 1977, Penjaja dan Raja, Jakarta: Gramedia.

Kuntowijoyo, 2003. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lechte, John. 1994. Fifty Key Contemporary Thinkers. From structuralism to posmodernity. London: Allen & Uniwim

Ricoeur, Paul. 2002. Theory of Interpretation; Discourseand the Surplusof Meaning. Texas: the Cristian
University Press. Sekarang sudah dialih bahasakan oleh penerbit IRCiSoD dengan Filsafat Wacana; Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta.

Kalam edisi 2-1994

Prisma edisi 8,1987.

Prisma edisi 4 April 1979

Tag

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Halo! Jika Anda ingin belanja buku atau ingin menanyakan sesuatu tentang penerbitan dan percetakan, silakan klik! Terimakasih.

Chat kami melalui WhatsApp