Puisi-Puisi Aslan Abidin

Aslan Abidin
Aslan Abidin

Syair Kematian Penyair

sajakku bukanlah aku.
telah sejak dahulu, aku hanya pemburu
dan peramu kata.

percuma mencariku, menelusuri
huruf dan tanda baca. meski mungkin, di
setiap jarak kata, kau merasa diintai
sosok hitam serupa aku.

sia-sia mengejarku hingga
ke ujung kalimat. aku tak ada di sana.
meski jejakku mungkin terbayang samar
di antara lajur.

memang akan kau dapati tanda
tanya, tetapi bukan aku yang bertanya.
benar akan kau temui tanda seru,
namun bukan aku yang berseru.

pencarianmu akan selalu
disela koma –membuatmu
bimbang menimbang arah, berbalik atau
terus melangkah— tetapi bukan aku
yang akan tiba menuntunmu.

kau juga akan dijeda
titik –membuatmu bertanya,
kapan perjalanan sampai— dan bukan aku
yang akan datang menjemputmu.

aku hanya pemburu kata. kata
purba yang tertinggal di pangkal masa
silam dan telah kau lupa serta kata
asing yang melesat ke ujung masa
depan dan belum kau mengerti.

aku hanya peramu kata. kata
liar terlarang dari belukar dusta atau kata
mesra tersaran dari rimba bujuk rayu,
aku susun kembali serupa wahyu.

aku tuturkan nubuat rahasia:
ihwal rencana-rencana tuhan, fatwa
iblis, godaan ustaz, mantra pengembara,
hingga bisik birahi kekasih.

serta firman yang kau salah-pahami,
yang membuatmu merasa benar sendiri
dan angkuh menista orang lain kafir.

juga sajak terakhir seorang internir
terpidana mati –dan samar kau dengar
derak leher patah dan lihat kelojotan
tubuh kejang di tiang gantungan.

tempat kau mendapati dirimu
lahir dan akhirnya menemukan aku,
terkatung di bawah keluasan langit biru:
jasad seorang perampok kata-kata.

Makassar, 2018

 

Abu George Bar Damaskus

mari tuan, aku tuangkan
minuman ke gelasmu. kosongkan dan
aku tuangkan lagi. sampai pagi,
sembari bernyanyi.

“wine dari kebun
anggur nuh di themanon, dari kebun
anggur raja salomo di baal-hamon,
wine mukizat yesus dari kana.”

malam baru saja mulai. di
damaskus, tuan tak akan dengar lagi
suara kokok ayam. fajar jauh dari tiba
dan kesedihan belum pula dalam kita
benam.

aku dana, tuan. bartender abu
george bar – masih gadis. tetapi aku
suka membanggakan diri seorang saki,
si penuang anggur ke piala para sufi.
angkat gelasmu, tuan.

toast! dengarkan suara dentingan
gelas. bukan dentuman bom. hanya
itu yang terdengar jernih di telinga.
dekatkan ke hidung, hirup aromanya.
manis, agak getir, dan pahit. wangi nira,
tebu, jintan, gandum, anggur, delima.

tidakkah sedikit menggugah
rasa ingin bertahan hidup? apakah
tuan masih dapat membedakannya
dari sergah bau kematian: mesiu serta
gas sarin, tubuh terbakar di udara?

“arak saggi dari iran, wine lebanon,
bir al-shark aleppo, atau bir buatan
madees khoury dari palestina?”
mari, tuan. rasakan

hangatnya. mengalir perlahan
dari ujung lidah ke pembuluh darah.
seperti menghanyutkan rasa perih,
menyamarkan ketakutan akan mati.
walau hanya sejenak.

sebab di atas kepala tuan, di balik
atap, bom dan mortir mungkin menukin
ke tengkuk kita.
setidaknya, meski sejenak.
di sini, tuan dapat terhenyak
membayangkan diri seorang darwis.

masygul mengutip baris-baris
syair dari gibran:
“kasihan, negeri yang meminum
anggur yang tak diperasnya sendiri.”

tuan juga dapat duduk saja
di kursi pojok. minum pelan serta
menggeleng putus asa: mengutuk
assad, putin, trump, dan pemberontak
– dalam hati.

atau menyamar sebagai
pelarian tentara amerika dari
baghdad, depresi, mabuk, dan memaki:
fuck this war! sementara musik dari
dj, hentakkan suara the bee gees:
i’ll live to see another day….

mari tuan, ayo goyangkan badan.
pertanda kita masih hidup…. stayin’
alive, stayin’ alive….

panggil aku dana, tuan. bartender di
abu goreng bar – masih gadis, tetapi
suka membanggakan diri seorang saki,
si penuang anggur ke piala para sufi.
aku menemanimu, berusaha

melupakan pedih dari parang saudara
ini. kita di tengah damaskus, tuan, kota
tua yang sedang dihancurkan.

Makassar, 2018

Kelamin Lil Alamin

pernahkah kau mengalami
nasib seperti ini? terbangun suatu pagi:

membuka jendela
menghirup udara segar, menatap bunga
mekar, dan mendengar burung berkicau
merdu.

tetapi merasa ada
sesuatu yang mengganjal. seperti ada
yang tertukar dalam dirimu: tubuh dan
kelaminmu tak sesuai dengan
jiwamu.

seperti salah pasang.
jiwa perempuan terkurung
di tubuh lelaki atau jiwa lelaki terjebak
dalam tubuh perempuan. terasa tidak
sepadan tak sejalan.

—”kau melihatku menari sebagai lelaki
dan aku menangisi jiwaku sebagai
perempuan.”
pernahkah kau mengalami
nasib seperti ini? terus-menerus bertikai
dengan tubuh dan kelamin sendiri, tetapi
malah dikutuk orang-orang sok suci?

—”kau menatapku
bernyanyi sebagai perempuan dan aku
meratapi jiwaku sebagai lelaki.”

meski terbolak-balik, derita-
bahagiamu, jalan hidup, tubuh beserta
kelaminmu adalah hak-guna dan juga
hak-milikmu sepenuhnya.

pilih dan ganti
kelaminmu sendiri.
kita tidak sedang di toko kelontong
dengan tulisan peringatan di belakang
kasir: kelamin yang telah dibeli
tidak dapat ditukar kembali.

mari, kenakan kelamin yang kita
suka, sesuaikan bentuk dan rasanya.
kelamin yang merdeka dari penjajahan,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia.

tubuh dan
kelaminmu adalah milikmu. jangan
serahkan ke politisi atau agamawan.
semoga kelak kau mengalami
nasib seperti ini: terbangun suatu pagi,
merasa ada yang tertukar dalam dirimu,
kelaminmu tak sesuai dengan jiwamu.

Makassar, 2018

—lil-alamin (bhs arab): bagi alam semesta.

Selamat Tinggal

setelah botol bir, gelas, dan hati
kosong, sepi kembali mengintai.

usai sudah kita urai luka-luka,
sesakit demi sesakit. telah pula
kita rinci duka-lara, sepedih
demi sepedih.

tak berpengharap, perpisahan
menunggu tidak sabar di depan
pintu. dingin menambah kelam
serta sepi bersiap menerkam.

cinta telah memilih kita dengan
jeratnya. mengumpankan cincin
emas berkilau untuk menggoda
memasangnya kelak ke jari kita.

tetapi dengan begitu licik, cinta
lebih dulu memasang cincinnya
mencucuk hidung kita. mengikat
kita dengan rindu dan rasa takut
kehilangan.

jadi. mari, kita sentakkan putus
segala pengekang cinta. kau lepas
dan aku bebas. tak memiliki tidak
dimiliki. kita beranjak tak berbalik.

kita punggung memunggungi.
tidak perlu bersalam dan lambai
terakhir. –langit luas atas kepala,
jalan berkelok baru depan mata.

di salah satu persinggahan, kau
mungkin akan kembali bertemu
seseorang. ia sendiri, sedih dan
terlempar dari suatu perpisahan.

seperti saat kita berjumpa dulu
setelah terpental jauh dari satu
kisah pedih perpisahan.

sebab memang sudah demikian
kerja cinta. membuat pertemuan
dari perpisahan demi perpisahan.

mungkin aku akan terkenang
satu jarak pendek antara jenjang
leher dan gerai ikal rambutmu.
sebuah ruang kecil teduh tempat
aku dulu teramat berharap dapat
susupkan wajah lunglai saat-saat

malang dan terhadang nasib sulit.
malam begitu lamban beringsut
pergi dan kenangan makin kisut
terkikis waktu. –”ajal juga susut,”
katamu. —sebelum aku minggat.

Makassar, 2018

 

Aslan Abidin, lahir di Soppeng, Sulawesi Selatan, 31 Mei 1972. Ia menulis sajak antara lain di Horison, Basis, Jurnal Puisi, Republika, Kompas, Media Indonesia, Indopost. Juga dibukukan dalam Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, 1996), Sastrawan Angkatan 2000 (Grasindo, 2000), Kitab Puisi Horison Sastra Indonesia (Horison 2002), Puisi Tak Pernah Pergi (Buku Kompas, 2003), Tak Ada Yang Mencintaimu Setulus Kematian (Logung Pustaka, 2004), Poetry and Sincerity (DKJ, 2006), Tongue in Your Ear (FKY, 2007), Whats Poetry? (Henk Publica, 2012), dan Puisi Terakhir dari Laut (BWCF, 2013), Serumpun Kata Serumpun Cerita (Disbudpar Riau, 2013), Gelombang Puisi Maritim (DKB, 2016), Antologi Puisi Indonesia (Yayasan Lontar, 2017). Buku sajak tunggalnya, Bahaya Laten Malam Pengantin (Ininnawa, 2008) diterbitkan ulang dengan judul Orkestra Pemakaman (Penerbit KPG, 2018).

Menghadiri undangan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membaca sajaknya di Taman Ismail Marsuki Jakarta dalam Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Pembacaan Sajak Penyair Delapan Kota (1998), Cakrawala Sastra Indonesia (2004), dan Indonesia International Poetry Festival (2006). Mengikuti Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Puisi 2002 di Cisarua; Ubud Writers and Readers Festival 2004 di Ubud; Festival Kesenian Yogyakarta 2007; Festival Puisi International Indonesia 2012 di Surabaya; Borobudur Writers and Cultural Festival 2013 di Magelang; dan Pertemuan Sastrawan Nusantara XVII 2013 di Pekanbaru, Festival Sastra Banggai di Luwuk-Banggai 2016, Muktamar Sastra di Situbondo 2018, dan Bangkalan Literary Festival di Bangkalan 2018.

Menyelesaikan kuliah Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin Makassar 1997 dan Ilmu Sastra di Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2011 serta sementara kuliah S3 Ilmu Linguistik di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar. Pernah bekerja sebagai redaktur di Harian Pare Pos, Tribun Timur, dan Pedoman Rakyat. Sekarang ketua Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) Makassar, dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar, dan rektor Institut Sastra Makassar (ISM) Makassar. Email aslanabidin10@gmail.com. Instagram: @aslanabidin_.

Tag

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Halo! Jika Anda ingin belanja buku atau ingin menanyakan sesuatu tentang penerbitan dan percetakan, silakan klik! Terimakasih.

Chat kami melalui WhatsApp